Komisi Kerawam KWI Dorong Umat Katolik Pilih Sekolah Kedinasan, Biaya Ditanggung Negara

Pertemuan Nasional Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang berlangsung di Jakarta, Selasa (10/5/2025) hingga Jumat

Tribunnews.com/domu d. ambarita
FOTO BERSAMA: Ketua Umum Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi Kerawam KWI) Mgr Yohanes Harun Yuwono  foto bersama dengan tamu undangan pertemuan nasional Komisi Kerawam se-Indonesia di gedung KWI, Jakarta, Selasa (10/6/2025 malam). Mgr Harun yang juga Uskup Agung Palembang didampingi Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawan KWI Romo  Yohanes K. Jeharut.  (Tribunnews.com/domu d. ambarita) 

TRIBUN-MEDAN.Com, JAKARTA - Seratusan orang mengikuti Pertemuan Nasional Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang berlangsung di Jakarta, Selasa (10/5/2025) hingga Jumat (13/6/2025).

Mereka adalah perwakilan Komisi Kerawam dari 38 Keuskupan di Indonesia, unsur organisasi berbasis agama Katolik  seperti Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PP PMKRI), Wanita Katolik RI (WKRI), Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dan Vox Point, serta individu berbagai profesi.

Pertemuan nasional tiga tahunan ini diselenggarakan bertepatan dengan masa tahun ajaran baru dunia pendidikan. Pelaksanaan pertemuan nasional Kerawam tahun 2025 pun memilih tema Awam Katolik Berjalan Bersama Gereja dan Bangsa Mempersiapkan Kader-kader Berkualitas. 

Wujud nyata kaderisasi berkualitas antara lain, Komisi Kerawam KWI mendorong pelajar atau calon mahasiswa dari kalangan umat Katolik agar menempuh pendidikan pada sekolah dan perguruan tinggi ikatan dinas. Cara ini sangat penting, sebab selama proses pendidikan, semua biayanya difasilitasi dan ditanggung negara.   

“Sesuai dengan tema itu, fokus acara pertemuan ini adalah mempersiapkan kader-kader Katolik melalui sekolah dan perguruan tinggi kedinasan,” ujar Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam (Kerawan) KWI Romo Yohanes K. Jeharut pada pembukaan  Pertemuan Nasional Kerawam KWI di Gedung KWI Jalan Cut mutia, Jakarta, Selasa (10/6/2025) malam.

Romo Hans, sapaan Romo  Yohanes K. Jeharut, menegaskan, “Kita ingin kader dan anak-anak Katolik juga memanfaatkan fasilitas yang disediakan negara. Jadi Komisi Kerawam agar menempuh pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi ikatan dinas.”
  
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jutaan orang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau sederajat bersaing masuk perguruan tinggi negeri setiap tahun. Namun tidak banyak yang dapat diterima sebagai mahasiswa baru. Sedangkan untuk kuliah di perguruan swasta, orangtua terkendala masalah kecukupan keuangan. Dampaknya, banyak yang tidak melanjut kuliah.

Badan Pusat Statistik mengunakan data berdasarkan penghitungan yang dilakukan hingga Agustus 2023, sebanyak 3,5 juta lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia tidak melanjutkan untuk bersekolah lagi, bekerja atau mendapat pelatihan. 

Menurut  BPS, banyak lulusan SMA tidak melanjutkan sekolah, bekerja atau mendapat pelatihan dengan istilah not in employment, education, and training/NEET. Anak muda, usia 15 sampai dengan 24 tahun,  lulusan SMA, SMK, SMP hingga SD banyak yang NEET. "SMU (SMA), 3.569.904 orang," demikian dilansir Kompas.com,  Minggu (26/5/2024). 

Kemudian, lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang tergolong NEET mencapai 2,29 juta orang. Lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1,84 juta orang, dan Sekolah Dasar (SD) jumlahnya 1,63 juta. Keseluruhan, jumlah anak muda berusia 15 sampai dengan 24 tahun yang tergolong NEET ada 9,9 juta atau setara 22,25 persen dari 44,7 juta anak muda golongan Gen Z. 

Anak muda yang paling banyak NEET berada di daerah perkotaan, yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah anak muda yang tergolong NEET yakni perempuan mencapai 5,73 juta orang atau setara 26,54 persen dan laki-laki 4,17 juta orang atau 18,21 persen.

Ada banyak pilihan perguruan tinggi yang dikelola pemerintah menerapkan sistem kedinasan. Misalnya, Politeknik Keuangan Negara (PKN)/STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Universitas Pertahaan, Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN). 

Kemudian, Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Politeknik Imigrasi (Poltekim), Politeknik Transportasi Darat Indonesia (PTDI), Politeknik Perkeretaapian Indonesia (PPI), Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di bawah Kemenhub, Politeknik Penerbangan Indonesia (PPI) asuhan Kemenhub, Politeknik Statistika STIS (Polstat STIS),  Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (STMKG).

PUKUL GONG: Ketua Umum Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi Kerawam KWI) Mgr Yohanes Harun Yuwono  memukul gong tanda pembukaan pertemuan nasional Komisi Kerawam se-Indonesia di gedung KWI, Jakarta, Selasa (10/6/2025 malam). Mgr Harun yang juga Uskup Agung Palembang didampingi Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawan KWI Romo Yohanes K. Jeharut, dan Direktur Jenderal (Dirjen) Bimas Katolik Kementerian Agama Suparman. (Tribunnews.com/domu d. ambarita)
PUKUL GONG: Ketua Umum Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi Kerawam KWI) Mgr Yohanes Harun Yuwono  memukul gong tanda pembukaan pertemuan nasional Komisi Kerawam se-Indonesia di gedung KWI, Jakarta, Selasa (10/6/2025 malam). Mgr Harun yang juga Uskup Agung Palembang didampingi Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawan KWI Romo Yohanes K. Jeharut, dan Direktur Jenderal (Dirjen) Bimas Katolik Kementerian Agama Suparman. (Tribunnews.com/domu d. ambarita)



Di tempat serupa, Ketua Komisi Kerawam KWI sekaligus Uskup Agung Palembang Mgr Yohanes Harun Yuwono juga berbicara mengenai cara menciptakan kader-kader yang berkualitas. Mgr (Mosignor baca monsinyur) Harun kemudian bercerita hasil pengamatannya mengenai perilaku warga, saat berkunjung ke beberapa kota negara tetangga, Vietnam dan Korea.

“Saya baru pulang dari Vietnam. Secara umum, rambu lalu-lintas di perempatan jalan, seperti lampu merah, tidak berfungsi. Akibatnya lalu-lintas kacau. “Walaupun lalu-lintas kacau, warga tidak saling memaki. Lalu-lintas tidak tertata, tapi tidak ada teriakan-teriakan kasar, juga tidak ada semburan ludah dari seorang kepada warga lainnya. Saya juga dari Korea, tidak tampak pemandangan sampah berserakan,” ujar Mgr Harun, dalam kata sambutannya tanpa membaca teks pidato.

“Saya tidak menemukan sampah berserakan. Tidak ada preman di mana-mana. Saya heran, negara yang baru saja merdeka, 1975, tapi mereka bisa menata keadaban publik dan masyarakat. Waktu saya tanya mengapa (perilaku) masyarakat baik, jawaban mereka, ‘Kami memang  ada preman, tapi kami tertib. Daripada kami berurusan dengan pemerintah (keamanan)’?” kata Mgr Harun. 

Sumber: Tribunnews
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved