Delegasi Sumut Sambangi Tiongkok
Harmoni Hijau dari Zengzhou: Jejak Islam dan Toleransi di Ujung Selatan Cina
Komunitas Muslim tidak hanya hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat non-Muslim, tetapi juga diterima dan difasilitasi oleh negara.
Oleh: Dr Abrar M Dawud Faza SFil MA
Wakil Rektor II UIN Sumatera Utara
DI tengah riuhnya isu ketegangan antarumat beragama di berbagai belahan dunia, sebuah kisah damai datang dari negeri tirai bambu, tepatnya dari distrik Zengzhou di Provinsi Henan, Cina.
Di wilayah ini, komunitas Muslim tidak hanya hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat non-Muslim, tetapi juga diterima dan difasilitasi oleh negara dalam menjalankan identitas keagamaannya.
Zengzhou merupakan salah satu distrik yang terletak di wilayah pesisir selatan Cina. Provinsi Henan sendiri dikenal sebagai pulau tropis yang eksotis, dengan sejarah panjang sebagai pelabuhan perdagangan dan persinggahan pelaut dari berbagai penjuru dunia.
Baca juga: Senyum Muslim Hui dan Pesona Masjid Berusia 700 Tahun di Zhengzhou
Di sinilah jejak Islam pertama kali menapak, dibawa oleh para pedagang Muslim dari Arab dan Persia pada abad ke-13 hingga ke-14, sebagai bagian dari jaringan dagang maritim yang melewati Laut Cina Selatan.
Seiring waktu, para pedagang ini tidak hanya berdagang, tetapi juga membangun komunitas yang menetap. Mereka menikah dengan penduduk lokal, mendirikan masjid, dan membentuk komunitas Muslim yang dikenal sebagai suku Hui serta kelompok etnis lain yang memeluk Islam.
Salah satu peninggalan bersejarah mereka adalah Masjid Zengzhou (Zengzhou Qingzhen Si / 增州清真寺), yang hingga kini masih berdiri dan menjadi pusat ibadah serta pembelajaran agama Islam.
Baca juga: Rektor UINSU Prof Nurhayati: Muslim Hui di Zhengzhou Tiongkok Luar Biasa
Menariknya, masyarakat Muslim di Zengzhou tidak menjalani kehidupan dalam segregasi. Mereka berbaur dengan masyarakat setempat, menjalankan nilai-nilai Islam dalam bingkai kebangsaan yang kuat.
Di sekitar kawasan masjid dan permukiman Muslim, tampak bendera nasional Cina dikibarkan dengan bangga, seolah menegaskan bahwa identitas keislaman dan nasionalisme dapat hidup berdampingan tanpa saling meniadakan.
Hal ini diperkuat dengan hadirnya museum komunitas Muslim di wilayah tersebut. Museum ini menyajikan dokumentasi sejarah panjang keberadaan Islam di Zengzhou, termasuk foto-foto tokoh Muslim yang pernah menjadi pejabat pemerintah, anggota dewan, bahkan pemimpin daerah.
Ini adalah bukti konkret bahwa umat Islam di sana tidak hanya diterima, tetapi juga dipercaya dan diberi ruang untuk berkontribusi dalam pembangunan sosial-politik.
Sikap negara terhadap komunitas Muslim juga tidak bersifat represif. Justru pemerintah daerah memberikan dukungan administratif dan pendidikan, termasuk pengiriman pelajar Muslim ke lembaga pendidikan Islam di luar negeri, seperti ke Al-Azhar di Mesir.
Bahkan, terdapat kuota khusus bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji, yang dikelola secara resmi oleh pemerintah.
Yang tak kalah menarik adalah pengakuan budaya terhadap Islam. Tradisi-tradisi keagamaan Muslim tidak dianggap sebagai praktik asing, melainkan sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal.
Dalam perspektif masyarakat Zengzhou, praktik keislaman merupakan bentuk warisan nenek moyang yang dilestarikan, bukan sekadar identitas agama semata.
Di aspek ekonomi pun, nuansa ini tampak sangat kental. Di luar kompleks Muslim, banyak toko-toko halal yang beroperasi secara terbuka dan menyatu dengan masyarakat umum.
Biasanya, toko ini diberi warna hijau sebagai penanda informal bahwa mereka menjual makanan halal. Ini bukan hanya strategi bisnis, tetapi juga ekspresi identitas budaya dan religius yang diakui bersama.
Kehadiran toko-toko tersebut tidak menimbulkan segregasi sosial. Justru sebaliknya, mereka menjadi bagian dari tatanan ekonomi lokal yang inklusif. Masyarakat Muslim dan non-Muslim bertransaksi dengan saling menghormati pilihan masing-masing, tanpa prasangka atau diskriminasi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama bukanlah hal mustahil, bahkan di negara seperti Cina yang memiliki sejarah kompleks terkait kebijakan agama.
Zengzhou menjadi contoh bahwa integrasi sosial bisa berjalan berdampingan dengan pelestarian tradisi agama, selama ada keterbukaan dan dukungan dari semua pihak.
Lebih dari itu, masyarakat Muslim di Zengzhou menunjukkan bahwa identitas keagamaan tidak harus mengarah pada eksklusivisme. Mereka tetap menjunjung tinggi ajaran Islam, tetapi juga aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nasionalisme dan keberagamaan tidak diposisikan sebagai dua kutub yang bertentangan, melainkan sebagai dua nilai yang saling memperkuat.
Apa yang ditunjukkan oleh masyarakat Zengzhou seharusnya menjadi referensi inspiratif bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang sedang terus berikhtiar menjaga kerukunan umat beragama.
Bahwa yang dibutuhkan bukan hanya toleransi pasif, tetapi pengakuan aktif terhadap keberagaman sebagai bagian dari identitas kolektif.
Zengzhou, dengan segala keterbatasannya sebagai distrik kecil di ujung selatan Cina, justru menunjukkan kematangan dalam menyikapi pluralitas. Islam tumbuh di sana bukan sebagai minoritas yang ditekan, melainkan sebagai tradisi yang hidup—dijaga, dihormati, dan dirawat dalam atmosfer kebangsaan yang sehat. Sebuah harmoni hijau yang semestinya tidak hanya dipandang, tapi juga diteladani. (*)
| Penggunaan Kendaraan Listrik dalam Perspektif Kesehatan dan Lingkungan di Tiongkok |
|
|---|
| Muslimah Tiongkok Menginspirasi, Padukan Nilai-nilai Islam dengan Budaya Lokal |
|
|---|
| Suara Senyap Islam di Xinjiang |
|
|---|
| Muslim Tiongkok Cinta Kepada Negara Atas Dasar Agama |
|
|---|
| Beijing dan Dongsi: Simbol Pluralisme Agama di Negeri Tirai Bambu |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Muslim-Hui-dan-Warek-UINSU.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.