Opini Online
Menyulam Harapan Pendidikan Sumut: Dari Ketimpangan Menuju Kesetaraan
Visi Sumatera Utara, menekankan pentingnya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, berdaya saing, dan berbasis pemerataan.
Oleh: Dr. Aryanto Tinambunan, MSi
PENDIDIKAN adalah tangga utama untuk naik kelas dalam kehidupan. Namun, tidak semua anak di Sumatera Utara memiliki pijakan yang sama pada anak tangga itu. Data Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sumatera Utara 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik membuka realitas mencemaskan: masih banyak ketimpangan pendidikan yang belum tersentuh oleh kebijakan yang berpihak.
Visi Sumatera Utara, menekankan pentingnya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, berdaya saing, dan berbasis pemerataan.
Namun, bila visi itu ingin hidup dalam kebijakan nyata, maka pendidikan harus ditempatkan sebagai panglima pembangunan daerah, bukan sekadar pelengkap administratif atau pendamping pembangunan fisik.
Ketimpangan Nyata dan Terukur
Ketimpangan paling mencolok terlihat dalam akses pendidikan tinggi. Di Kota Medan, 20,75 persen penduduk usia 15 tahun ke atas telah menamatkan pendidikan tinggi. Bandingkan dengan Kabupaten Nias, di mana hanya 9,95 persn yang memiliki ijazah sarjana, dan lebih dari 29,22 persen bahkan belum pernah menamatkan pendidikan dasar secara formal. Di Mandailing Natal, partisipasi pendidikan tinggi hanya 7,68 persen. Ini adalah bukti bahwa wilayah luar kota dan kepulauan tertinggal dalam akses kesempatan belajar.
Tingkat partisipasi sekolah penduduk usia 7–23 tahun di Sumatera Utara pun memperlihatkan pola serupa. Kabupaten Toba mencatat angka 86,25 persen, sementara Kabupaten Asahan hanya 70,45 persen. Artinya, hampir 3 dari 10 anak di wilayah tersebut tidak lagi bersekolah. Ini adalah kehilangan potensi generasi yang tak ternilai harganya.
Pada fase paling awal pendidikan, kesenjangan juga sudah terasa. Partisipasi pendidikan anak usia dini (PAUD) di Medan mencapai 86,38 persen, tetapi di Nias Selatan hanya 36,53 persen. Kualitas layanan pun tidak setara; sebagian besar PAUD di daerah tertinggal bersifat non-formal, tanpa kurikulum yang baku atau pengajar terlatih. Keterlambatan akses pendidikan di usia emas ini akan berpengaruh besar pada masa depan anak-anak.
Mengapa Ketimpangan Ini Harus Segera Ditangani
Ketimpangan pendidikan bukan hanya masalah sosial, tetapi juga penghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Menurut World Bank (2023), tambahan satu tahun pendidikan rata-rata dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 0,37 persen. Maka bisa dibayangkan dampaknya bila anak-anak di kawasan tertinggal seperti Nias, Labuhanbatu Selatan, atau Mandailing Natal tertinggal 2–3 tahun dari anak-anak di Medan.
Tak berhenti di situ. Ketimpangan pendidikan berkorelasi erat dengan tingginya angka kemiskinan, perkawinan usia anak, dan pengangguran muda. Di Labuhanbatu, misalnya, tingkat pengangguran usia muda (15–24 tahun) mencapai 17,1 persen, hampir dua kali lipat dibanding Kota Medan. Pendidikan bukan hanya hak, tapi juga kunci pembangunan manusia yang utuh dan mandiri.
Mengantisipasi Bonus Demografi di Sumut
Sumatera Utara diproyeksikan mengalami puncak bonus demografi pada 2030-an, di mana proporsi usia produktif mencapai lebih dari 65 persen. Ini adalah peluang emas yang hanya akan berdampak bila kualitas pendidikan generasi muda dipastikan merata. Tanpa investasi pendidikan yang merata, bonus demografi justru bisa berubah menjadi bencana sosial—membanjirnya angkatan kerja tanpa keterampilan.
Dalam konteks ini, Pemerintah Provinsi harus berpikir strategis. Investasi pendidikan tidak bisa lagi dilihat sebagai biaya tahunan dalam RAPBD, tetapi sebagai fondasi ketahanan sosial dan daya saing ekonomi jangka panjang. Daerah seperti Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, hingga Nias harus menjadi prioritas intervensi karena potensi SDM-nya sangat besar, namun belum tersentuh optimalisasi.
Solusi Konkret: Dari Data ke Kebijakan
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Catatan-Aryanto-Tinambunan-soal-Gambir.jpg)