Sumut Terkini
Tim Ekspedisi Tinjau Aliran Banjir Bandang Parapat, Begini Hasil Temuannya
Sejumlah pihak yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat menelusuri lokasi aliran banjir bandang Parapat.
Penulis: Maurits Pardosi | Editor: Randy P.F Hutagaol
TRIBUN-MEDAN.com, BALIGE - Sejumlah pihak yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat menelusuri lokasi aliran banjir bandang Parapat.
Tim Ekspedisi terdiri dari akademisi, rohaniawan, serta aktivis lingkungan dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak.
Pendeta Jurito Sirait, Dr. Dimpos Manalu dari akademisi, perwakilan KSPPM Parapat dan AMAN Tano Batak antara lain: Rocky Pasaribu, Iwan Samosir, Bona, Darma, Susi Halawa, Delima Padang, Lambok, Iwan Pakpahan, Yanwar, Lontas, Maruli, Aris, Delima Silalahi, Benni, Anugerah, dan Dewi Sirait melaksanakan perjalanan menyusuri aliran banjir bandang Parapat.
Koordinator Study dan Advokasi KSPPM Rocky Pasaribu menjelaskan apa yang mereka temukan dalam penelusuran tersebut.
"Alih fungsi hutan besar-besaran serta menurunnya daya dukung dan daya tampung hutan di bentang alam Simarbalatuk - Sitahoan - Sibatuloting, merupakan penyebab banjir bandang di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara," tulisnya dalam keterangan tertulis yang diperoleh tribun-medan.com pada hari ini, Senin (24/3/2025).
Pada Sabtu (22/3/2025), Tim Ekspedisi ini melakukan penelusuran langsung alur atau jejak (tracing) longsor dari Bangun Dolok hingga harangan atau Hutan Simarbalatuk - Sitahoan. Ekspedisi ini bertujuan mengobservasi secara langsung penyebab banjir bandang yang melanda Kota Parapat pada 16 Maret 2025 lalu.
"Tim memulai perjalanan dari harangan Bangun Dolok, mengikuti aliran Sungai Batu Gaga, yang membanjir-bandangi Kota Parapat. Selama perjalanan, tim menemukan adanya aktivitas perladangan oleh masyarakat setempat," terangnya.
"Namun, sistem perladangan tersebut bersifat agroforestri, yang didominasi tanaman keras seperti kopi, cengkeh, coklat, durian, salak, yang masih berdampingan dengan pohon-pohon alam," sambungnya.
Di kebun-kebun dan perladangan itu, pihaknya melihat sejumlah sopo (gubuk) dan binatang peliharaan.
Dari hulu Sungai Batu Gaga, tim melanjutkan perjalanan menuju Harangan Simarbalatuk.
"Di lokasi ini, tepat di ketinggian sekitar 1.100-1.200 mdpl, tim sudah menemukan alur longsor yang memuncak di ketinggian 1.500 mdpl. Panjang longsor sekitar 300 hingga 400 meter, lebar 4 hingga 5 meter, dan kedalaman 3 hingga 4 meter," tuturnya.
Ia jelaskan, material longsor terdiri dari batu besar, sedang, dan kecil yang bercampur dengan sebagian tanah liat dan lapisan tanah gembur.
Di sepanjang alur longsor juga melintang sejumlah kayu besar dan kecil, yang dalam jangka panjang dikuatirkan akan membentuk kolam-kolam air, yang dapat menimbulkan banjir-bandang berikutnya.
"Berdasarkan pengukuran menggunakan Avenza Maps, lokasi longsor ini berada pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, sekitar 2,16 kilometer dari jembatan Sungai Batu Gaga hingga tempat meluapnya air sungai pada 16 Maret lalu," terangnya.
"Sepanjang perjalanan dari hulu Sungai Batu Gaga hingga titik longsor di Simarbalatuk, tim tidak menemukan adanya aliran sungai di area longsor. Dengan kata lain, alur longsor ini tidak mengikuti aliran sungai atau anak sungai. Ia merupakan aliran baru, yang pada akhirnya menyatu di Sungai Gaga," terangnya.
"Kondisi hutan di sekitar titik longsor masih terjaga cukup baik. Ekosistemnya tampak alamiah. Kami tak jarang menemukan pohon-pohon besar, yang menunjukkan bahwa kawasan ini belum banyak dijamah manusia," sambungnya.
"Namun, tim mencatat bahwa titik awal longsor hanya berjarak sekitar 2,33 km dari konsesi perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL)," lanjutnya.
Selanjutnya, ia utarakan hasil analisis penyebab banjir bandang tersebut.
"Berdasarkan hasil ekspedisi dan temuan di lapangan, tim berkesimpulan bahwa banjir bandang yang terjadi di Parapat dipicu oleh longsor yang terjadi di Dolok Simarbalatuk," sambungnya.
"Jarak yang relatif dekat antara titik longsor dan jembatan Sungai Batu Gaga memperkuat dugaan bahwa material longsor terbawa arus sungai hingga menyebabkan banjir bandang," ungkapnya.
Ia sebutkan pertanyaan yang muncul di publik adalah soal penyebab utama longsor di Simarbalatuk.
"Walau hutan di areal longsoran bisa dikatakan terjaga dengan baik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa tutupan hutan di bentang alam (landscape) Dolok Simarbalatuk - Sitahoan semakin berkurang dari waktu ke waktu," tuturnya.
"Hasil ekspedisi ini berkesesuaian dan saling mendukung dengan hasil riset yang dilakukan oleh KSPPM, AMAN Tano Batak, Auriga Nusantara, dan JAMSU tiga hari sebelum ekspedisi dilakukan," sambungnya.
Hasil riset keempat lembaga tersebut mengungkapkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, sejak tahun 2000 hingga 2023 telah terjadi penurunan signifikan luas hutan alam seluas 6.503 hektar di lima kecamatan sekitar Parapat, antara lain Girsang Sipangan Bolon, Hatonduhan, Pematang Sidamanik, Dolok Panribuan, dan Jorlang Hataran.
"Pada periode yang sama terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus seluas 6.503 hektar. Analisis ini membuktikan bahwa perubahan tutupan hutan di wilayah 5 kecamatan ini terjadi dan sebagian besarnya berubah menjadi kebun eukaliptus PT Toba Pulp Lestari," lanjutnya.
"Dengan demikian, longsor di Dolok Simarbalatuk disebabkan semakin berkurangnya daya dukung lingkungan di kawasan tersebut," terangnya.
Ia jelaskan, daya dukung lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 22, adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya.
"Daya dukung lingkungan menurun karena - namun tak terbatas oleh - kombinasi dari penggundulan hutan (deforestasi), hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim," lanjutnya.
Menurutnya, alih fungsi hutan selama 20 tahun terakhir, dari hutan alam menjadi tanaman monokultur, juga berdampak terhadap menurunnya daya dukung bentang alam Sitahoan-Sibatuloting.
Curah hujan yang tinggi seperti yang terjadi sebelum banjir bandang pada 16 Maret 2025 lalu menguatkan, bahwa daya tampung bentang alam tersebut pun sudah kian menurun.
Selanjutnya, ia juga menyoal dampak dan potensi bencana susulan.
"Bencana yang terjadi pada 16 Maret 2025 lalu, bukanlah peristiwa pertama. Parapat sekitarnya telah berulang kali mengalami banjir bandang sebelumnya, seperti terjadi pada 2021 lalu, yang menunjukkan bahwa ada permasalahan sistemik dalam pengelolaan ekosistemnya," terangnya.
"Situasi ini menjadi bukti bahwa ekosistem di sekitar Parapat, dan Danau Toba secara keseluruhan, berada dalam kondisi kritis," ungkapnya.
Ia jelaskan, jika deforestasi dan konversi lahan terus dibiarkan tanpa kendali, maka bencana serupa dapat semakin sering terjadi dan menimbulkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat dan perekonomian wilayah.
"Tim ekspedisi juga mengawatirkan terjadinya banjir bandang susulan akibat material longsor, berupa pepohonan tumbang, batu, dan tanah yang masih tersangkut di area longsor, yang perlu segera ditangani," tuturnya.
Menurutnya, pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah bencana di masa depan.
Pertama, membersihkan material longsor yang masih tersangkut di sepanjang titik longsor. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengirim tim ke lokasi guna mengevakuasi dan membersihkan area terdampak sebelum musim hujan berikutnya datang.
Kedua, pemerintah harus tegas memastikan moratorium penebangan hutan alam dan mengevaluasi kembali aktivitas perusahaan yang berkontribusi terhadap degradasi hutan di kawasan ini.
Ketiga, pemerintah harus memimpin upaya restorasi ekosistem dengan menanam kembali kawasan hutan yang sudah kritis. Pemerintah harus bekerja sama dengan komunitas lokal dalam upaya penghijauan guna meningkatkan daya dukung ekologis kawasan ini.
"Reboisasi dengan jenis tanaman tertentu yang dapat menopang kestabilan tanah harus menjadi prioritas agar daerah-daerah rawan longsor bisa kembali memiliki daya serap air yang tinggi," terangnya.
Keempat, pada jangka panjang, kebijakan pengelolaan hutan harus diperketat.
"Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga kelestarian hutan dan memastikan bahwa tidak ada lagi izin eksploitasi yang mengancam keseimbangan ekosistem di sekitar Parapat dan Danau Toba," tuturnya.
Keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pembangunan, agar bencana seperti ini tidak terulang kembali," sambungnya.
Menurutnya, tanpa intervensi serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan, bencana ekologis seperti yang terjadi di Parapat akan terus berulang.
"Krisis ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi konsekuensi dari eksploitasi hutan yang tidak terkendali," terangnya.
"Saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada lingkungan dan masyarakat dengan tindakan nyata, bukan sekadar wacana," pungkasnya.
(cr3/tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
| Bertemu Tetua Adat Selama 2 Jam, Bobby Sepakat TPL Ditutup: Surat Rekomendasi Paling Lama Seminggu |
|
|---|
| Tahun 2026, Dinas PRKP Siantar Pakai Eks-Rumah Singgah Covid-19 Sebagai Kantor Baru |
|
|---|
| Akademisi Asia Tenggara Bedah Geopolitik Presiden Prabowo dalam Seminar Internasional di UINSU |
|
|---|
| Polres Tanah Karo Terbitkan Informasi DPO Pelaku yang Terlibat Dalam Pembunuhan Warga Nias |
|
|---|
| Warga Miskin di Deli Serdang Bingung Setelah Disuruh Mundur jadi PKH |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Sejumlah-pihak-yang-tergabung-dalam-Tim-Ekspedisi-Banjir-Bandang-Parapat.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.