TRIBUN WIKI

Poin yang Disoroti dalam Revisi UU TNI, Ini yang Mesti Diketahui Publik

Ada beberapa poin yang menjadi sorotan dalam Revisi UU TNI. Beberapa poin tersebut menyangkut kewenangan lebih TNI selain operasi perang.

Editor: Array A Argus
AFP/MUHAMMAD RIFKI/Tribunnews
Sejumlah anggota TNI berbaris saat upacara pelepasan penugasan prajurit TNI ke perbatasan Indonesia-Papua Nugini, di dermaga Angkatan Laut, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (9/11/2021). (Foto ini sudah tayang di Tribunnews Jumat, 26 November 2021 16:04 WIB) 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Sepekan terakhir Revisi Undang-Undang (UU) No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi topik serius yang dibahas oleh masyarakat.

Selain dinilai terkesan buru-buru untuk disahkan, pembahasan RUU TNI ini diadakan secara tertutup.

Bahkan, sempat beredar foto dan video adanya pengawalan ketat proses pembahasan RUU TNI yang digelar di Hotel Fairmount, Jakarta.

Seperti diketahui, bahwa pembasahan RUU TNI ini diadakan pada Jumat (14/3/2025) hingga Sabtu (15/3/2025).

Baca juga: Utut Adianto PDIP Kesal Rapat RUU TNI di Hotel Digeruduk: UU Kejaksaan di Hotel, Kok Gak Kritik?

Anggota DPR RI berniat menyelesaikan pembahasan RUU TNI ini sebelum masa reses DPR.

Bahkan, Menteri Pertahanan (Menhan), Sjafrie Sjamsoeddin bilang, bahwa pembahasan RUU TNI ini bisa selesai pada bulan Ramadhan. 

"Dengan harapan, ini bisa selesai pada bulan Ramadhan. Kami harapkan ini selesai sebelum reses para anggota DPR," ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Rabu (12/3/2025).

Dalam rapat itu, Menhan menyebut ada sejumlah aturan yang bakal diubah dalam revisi UU TNI.

Namun, perubahan aturan tersebut belakangan menuai kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan.

GERUDUK RAPAT - Dua warga sipil geruduk rapat tertutup antara Komisi I DPR dan pemerintah untuk membahas RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Sabtu (15/3/2025). Warga sipil yang mengatasnamakan Koalisi Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan membentangkan spanduk penolakan RUU TNI.
GERUDUK RAPAT - Dua warga sipil geruduk rapat tertutup antara Komisi I DPR dan pemerintah untuk membahas RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Sabtu (15/3/2025). Warga sipil yang mengatasnamakan Koalisi Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan membentangkan spanduk penolakan RUU TNI. (tribunnews.com/rezadeni)

Pengamat: Berpotensi Mengembalikan Dwifungsi ABRI

Pengamat hukum tata negara sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI.

"Ya Revisi UU TNI ini sangat berpotensi menghidupkan Dwifungsi ABRI," ujar Bivitri saat dimintai tanggapan Kompas.com, Minggu (16/3/2025).

Dwifungsi ABRI dianggap bisa muncul lagi setelah UU TNI direvisi, karena aturan tersebut akan membolehkan prajurit aktif mengisi jabatan sipil di 16 kementerian dan lembaga negara.

Revisi itu juga menambah usia masa dinas prajurit hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, 60 tahun bagi perwira, serta 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.

Bivitri menuturkan, penambahan aturan dalam revisi UU TNI bisa saja dilakukan jika diperlukan.

Namun, perubahan ini perlu dilihat apakah mengarah ke karakter pemerintahan yang militeristik.

Baca juga: SOSOK Politikus PDIP Utut Adianto Ketua Panja Revisi UU TNI Pimpin Rapat di Hotel Bintang 5

Penambahan aturan yang membolehkan prajurit aktif menduduki jabatan-jabatan sipil dalam kementerian atau lembaga negara dinilainya bisa mengembalikan dwifungsi ABRI.

"Dwifungsi tentara itu artinya ketika tentara tidak hanya di sektor pertahanan, tapi juga di sektor politik dan bisnis," terangnya.

TNI berpotensi mengalami dwifungsi militer jika terlibat politik praktis dan tidak mengemban tugas-tugas utamanya sebagai instansi pertahanan Indonesia.

Padahal, menurut Bivitri, Pasal 30 UUD 1945 telah mengatur TNI menjadi alat negara yang hanya berwenang pada bidang pertahanan.

TNI bertugas menangani persoalan pertahanan dari luar perbatasan Indonesia.

Sementara Kepolisian RI (Polri) berwenang pada bidang keamanan dengan mengatur urusan di dalam negeri.

Anggota TNI
Anggota TNI (ilustrasi/Ist/Tribunjambi/tribunTimur)

"Pasal 30 maknanya memang TNI harus kembali ke barak (sebagai) alat negara di bidang pertahanan. TNI harus hanya mengurusi pertahanan, tidak ada urusan politik, bisnis dan lain-lainnya," jelas Bivitri.

Dia menambahkan, TNI sebagai alat pertahanan harusnya fokus mengurusi Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) untuk pertahanan negara.

Pasal 30 bermakna prajurit TNI tidak boleh memasuki ranah keamanan, bisnis, politik, serta urusan-urusan di dalam negeri.

Jika TNI masuk ranah selain pertahanan, instansi tersebut akan memiliki tugas lainnya sehingga dapat dikatakan memiliki fungsi ganda atau dikenal dengan dwifungsi.

Isi RUU TNI

Sejumlah pihak telah menyatakan kekhawatiran atau ketakutan akan dampak dari revisi UU TNI.

Salah satunya, terkait munculnya kembali Dwifungsi ABRI. Sebab, aturan tersebut akan membolehkan prajurit aktif mengisi jabatan sipil di 16 kementerian dan lembaga negara.

Revisi itu juga menambah usia masa dinas prajurit hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, 60 tahun bagi perwira, serta 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.

Untuk lebih lengkapnya, berikut adalah poin-poin penting revisi UU TNI yang perlu dipahami:

1. Memperluas jabatan sipil TNI

Menurut Pasal 47 ayat (2) UU TNI, anggota TNI aktif hanya boleh menjabat di 10 kementerian dan lembaga sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun.

Kementerian/lembaga tersebut, antara lain:

  1. Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara
  2. Pertahanan Negara
  3. Sekretaris Militer Presiden
  4. Intelijen Negara
  5. Sandi Negara
  6. Lembaga Ketahanan Nasional
  7. Dewan Pertahanan
  8. Nasional Search and Rescue (SAR)
  9. Nasional Narkotika Nasional
  10. Mahkamah Agung (MA).

Namun, dalam rapat revisi UU TNI, pemerintah dan DPR sepakat untuk menambah enam kementerian/lembaga yang bisa dijabat oleh perwira TNI aktif, yaitu:

  1. Kementerian Kelautan dan Perikanan
  2. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
  3. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
  4. Badan Keamanan Laut
  5. Kejaksaan Agung
  6. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

2. Menambah batas usia pensiun

Perubahan yang disusulkan dalam revisi UU TNI berikutnya adalah penambahan batas usia pensiun prajurit TNI.

Pasal 43 UU TNI sebelumnya mengatur usia batas usia pensiun untuk perwira adalah 58 tahun, sedangkan tamtama dan bintara adalah 53 tahun.

Akan tetapi, rencananya batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama akan ditambah menjadi 55 tahun.

Sementara, usia pensiun bagi perwira menjadi 58 hingga 62 tahun, sesuai pangkat atau sesuai kebijakan presiden khusus perwira bintang empat.

3. Kedudukan TNI berubah

Dalam Pasal 3 UU TNI yang masih berlaku tertulis, TNI berkedudukan di bawah presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer.

Kemudian, TNI juga berkedudukan di bawah koordinasi Departemen Pertahanan dalam kebijakan dan strategi pertahaan serta dukungan administrasi.

Namun, pemerintah hendak mengubah kedudukan TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.

4. Kewenangan dan tugas bertambah

Diberitakan Kompas.com, Minggu, anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin mengungkapkan, dalam RUU TNI tugas prajurit akan bertambah untuk melakukan operasi non-perang.

Dia menerangkan, awalnya TNI memiliki 14 tugas operasi militer selain perang (OMSP), tetapi kini ditambah menjadi 17.

Adapun 14 tugas tersebut, antara lain:

  1. Mengatasi gerakan separatis bersenjata
  2. Mengatasi pemberontakan bersenjata
  3. Mengatasi aksi terorisme
  4. Mengamankan wilayah perbatasan
  5. Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis
  6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai kebijakan politik luar negeri
  7. Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya
  8. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai sistem pertahanan semesta
  9. Membantu tugas pemerintahan di daerah
  10. Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat
  11. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing di Indonesia
  12. Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan
  13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue)
  14. Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Belum disebutkan secara rinci apa saja penambahan OMSP terbaru, tetapi Hasanuddin mengatakan, di antaranya adalah mengatasi masalah narkoba dan terkait dengan operasi siber.

"Tapi yang jelas TNI tidak ikut dalam penegakan hukumnya," ujarnya.

Di sisi lain, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya Saputra, menilai terdapat banyak hal-hal bermasalah pada revisi UU TNI yang dibahas pemerintah dan panitia kerja (panja) DPR RI.

"DPR harusnya melakukan telaah lebih jauh. Proses (pembuatan) cukup cepat membuat ruang publik memberikan aspirasi dan masukan jadi sangat minim," tuturnya.

Menurutnya, Kontras bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mencatat, terdapat beberapa kekhawatiran yang ada pada revisi UU TNI. Itu termasuk profesionalisme kerja TNI terancam, kembalinya dwifungsi ABRI, hingga potensi kekerasan dari TNI.

Bahaya dwifungsi TNI

Bivitri menambahkan, potensi kembalinya dwifungsi TNI menimbulkan ketakutan masa Orde Baru akan kembali muncul di Indonesia.

Tak hanya itu, dwifungsi TNI berpotensi menimbulkan dampak buruk ketika para prajurit TNI bertindak dan berorganisasi bersama warga sipil dengan menerapkan kekerasan.

"Tentara profesional memang mesti bagus sekali soal defense. Salah satunya dengan power, bukan kekerasan," katanya.

Namun, dia menilai, sebagai alat pertahanan negara, TNI terbiasa memiliki kebiasaan bertindak dengan ketegasan, kekuatan, kecepatan, dan kekerasan yang berasal dari perintah satu komando atasan.

Cara pandang dan tindakan keras TNI dinilai sangat berbeda dari karakter negara demokratis seperti Indonesia. Negara demokratis memfokuskan kebijakan sesuai kebutuhan masyarakat.  

Bivitri menambahkan, masyarakat negara demokratis ingin semua hal bersifat transparan. Sementara, TNI ingin hal-hal penting dirahasiakan agar tidak diketahui musuh.

Selain itu, negara demokratis mengharapkan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, ia menilai, TNI punya karakter tidak partisipatif dan bahkan tidak menerima kritikan dari pihak lain.

Menurut dia, TNI yang masuk ke pemerintahan demokratis akan menjadi tidak memedulikan pendapat warga. Padahal, negara demokrasi berfokus pada demos atau berarti rakyat.

Karakter berkebalikan antara TNI dan negara demokratis dinilai berisiko menimbulkan bahaya terjadinya masalah jika sampai bidang militer masuk ke pemerintahan melalui revisi UU TNI.

Menurut Bivitri, prajurit TNI harus berkarakter keras karena bertugas mempertahankan negara lewat peperangan. Namun, karakter itu tidak bisa diterapkan ke pemerintahan Indonesia.

"Ketika karakter seperti itu dibawa ke pemerintahan, itu yang akan membuat persoalan, jadinya negara tidak akan menjadi demokratis, tapi jadinya otoriter," tegasnya.

Fungsi TNI melemah

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya Saputra menyatakan, revisi UU TNI juga berpotensi melemahkan fungsi TNI.

"Agenda revisi UU TNI justru akan melemahkan profesionalisme militer itu sendiri dan sangat berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI," ujar Dimas saat dihubungi Kompas.com, Minggu (16/3/2025).

Menurut dia, perluasan penempatan TNI aktif ke jabatan sipil berisiko memunculkan masalah pengecualian warga dari jabatan sipil, penguatan dominasi militer di ranah sipil, dan pembuatan kebijakan, serta loyalitas ganda.

Dia juga menilai, terdapat banyak masalah pada pasal-pasal revisi UU TNI yang berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia.

Dimas mengungkapkan, TNI yang membantu mengamankan objek digital dan proyek stategis nasional pun kerap melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia ke warga.

Saat TNI bertindak kekerasan, warga pun tidak memiliki opsi mengikuti perundingan untuk memahami implementasi kebijakan pemerintah.

Jika revisi UU TNI disetujui, tindakan kekerasan tersebut dinilainya berpotensi menjadi legal karena disahkan dalam aturan negara.

"Ini akan semakin mengikis nilai-nilai demokrasi yang seharusnya berpijak pada prinsip supremasi sipil," imbuh Dimas.

Selain itu, jabatan sipil yang bisa diisi TNI berisiko mengganggu proses kelayakan atau meritokrasi kementerian dan lembaga negara, sekaligus merugikan para aparatur sipil negara.(tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved