Ramadan 2025

Mengenal Masjid Jamik Sultan Sinar, Masjid Tertua yang Ada di Deli Serdang

Masjid Jamik Sultan Sinar menjadi masjid paling tertua di wilayah Kabupaten Deli Serdang.

|
Penulis: Indra Gunawan | Editor: Randy P.F Hutagaol
TRIBUN MEDAN/INDRA GUNAWAN
MASJID TERTUA: Seorang anak membersihkan teras Masjid Jamik Sultan Sinar yang menjadi masjid tertua di Kabupaten Deli Serdang, Jumat (7/3/2025). Masjid ini dibangun oleh Masjid ini dibangun oleh Sultan Serdang ke II Tuanku Thaf Sinar pada tahun 1825. 

"Kubahnya dulu semua ya papan, sekarang sampingnya itu sudah kita buat seng. Karena temakan usia ya diganti. Awalnya, dulu dindingnya ya sekitar 1,5 meter dan atasnya (atap) kosong. Oleh mendiang kakek saya dibuat kawat jaring tapi setiap sholat subuh selalu ada kepala tikus karena dibawa sama burung hantu," ucap OK Hasanuddin. 

Supaya burung hantu tidak lagi masuk, ditambahkan lah saat itu kawat.  

Seiring waktu, kawat pun kemudian lapuk dan barulah kemudian dibuat dindingnya batu bata sekitar tahun 1966 sampai 1967.

Untuk bagian lantai, dulu awalnya hanya lah tanah.

"Bawahnya ini ada infak dari Kesultanan Serdang sekitar tahun 2000. Kalau Pemerintah Tahun 1972 dari Golkar pun dulu ada, kalau nggak dibantu ya bisa ambruk sengnya. Karena kalau mengharapkan dari masyarakat, sulit. Dulu kan menanam padi hanya setahun sekali. Dari Pemerintah Kabupaten, beberapa kali dimasukkan proposal nggak pernah ada (kucuran dana)," kata OK Hasanuddin. 

Masjid Jamik Sultan Sinar ini kini berdiri di antara penduduk yang beragama non Muslim.

Di Desa Serdang, dari 660 Kepala Keluarga yang ada hanya sekitar 179 KK di antaranya yang beragama Islam.

Penduduk beragama Islam itu berada di dusun IX dan X.

Khusus untuk yang dusun IX hanya ada 30 Kepala Keluarga.

Ini yang membuat paling banyak tiga shaf setiap harinya umat muslim sholat di masjid ini.

Hal ini lantaran khusus untuk warga dusun X sudah punya masjid sendiri. 

Dari cerita OK Hasanuddin, asal muasal penduduk asli di wilayah ini adalah Banjar, Jawa dan Melayu.

Namun karena sering mengalami banjir di tahun 1938 sampai 1948 penduduk asli pun berpindahan ke Lubuk Pakam, Batang Kuis hingga Tembung, Medan dan Perbaungan.

Disebut kakeknya tidak berpindah saat itu karena punya rumah dengan bangunan tinggi, masih terhindar dari banjir.

"Jadi ke jalan tinggal pakai sampan saja. Kalau yang non Muslim masuk ke sini sekitar 1958. Saat itu asisten Wedana di Lubuk Pakam sempat meminta supaya penduduk asli kampung besar balik (kembali) tapi tidak ada yang mau karena sudah nyaman di tempat masing-masing," kata OK Hasanuddin, pria yang lahir tahun 1955 ini.

 

(dra/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved