Medan Terkini

Buku Perlanja Sira akan Diluncurkan, Mengungkap Dinamika Peradaban Karo dan Jejak Perdagangan Garam

Setelah melalui proses panjang, buku berjudul Perlanja Sira akhirnya akan diluncurkan pada April 2025 mendatang.

|
DOK/ISTIMEWA
BUKU PERLANJA SIRA - Pertemuan Penulis Buku Perlanja Sira dan Ir. Jonathan Tarigan di loby Hotel JW. Marriott Medan, Jalan Putri Hijau. Buku Perlanja Sira rencananya akan diluncurkan pada April 2025 mendatang. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Setelah melalui proses panjang, buku berjudul Perlanja Sira akhirnya akan diluncurkan pada April 2025 mendatang.

Buku ini ditulis oleh sejarawan Sumatera Utara, Drs. Suprayitno, M.Si, Ph.D., dan mengungkap dinamika peradaban suku Karo melalui interaksi hilir dan hulu di wilayah geografis eks Kerajaan Aru.

Peluncuran buku ini didukung penuh oleh Ketua Dewan Pembina Karo Foundation, Bapak Barata Brahmana, yang menyediakan dana untuk mencetak 1.000 eksemplar buku serta memfasilitasi 300 peserta dalam acara peluncuran yang akan digelar di Ballroom Hotel J.W. Marriott, Medan.

Perlanja Sira, yang secara harfiah berarti "Pemikul Garam" atau "Pedagang Garam", mengisahkan asal usul, jati diri, dan martabat suku Karo, serta kesejarahan Kerajaan Aru.

Buku setebal 150 halaman ini juga membahas interaksi sosial dan ekonomi antara wilayah hilir dan hulu di eks Kerajaan Aru, serta dinamika peradaban dan budaya yang terbentuk melalui lintasan waktu dan ruang.

Jalur Perdagangan Garam: Dari Masa Prakolonial hingga Kolonial

Sejak masa prakolonial, wilayah Pantai Timur Sumatera telah menjadi pusat perdagangan antara daerah pedalaman dan pesisir. Catatan perjalanan Anderson pada tahun 1823 menyebutkan bahwa orang pedalaman, yang disebut "karau karau", telah berdagang dengan wilayah pesisir untuk mendapatkan opium, garam, dan pakaian.

Bahkan, temuan arkeologis berupa keramik asing kuno di Kabanjahe menunjukkan bahwa hubungan dagang ini telah berlangsung sejak abad ke-14.

Pada abad ke-16, komoditas yang diperdagangkan di Pantai Timur Sumatera meliputi beras, daging, anggur, lada, sutera, kemenyan, emas, dan budak.

Sebagian besar komoditas ini berasal dari wilayah pedalaman, termasuk dataran tinggi Karo. Garam, sebagai komoditas penting, hanya bisa didapatkan di wilayah pesisir.

Orang Karo yang turun ke pesisir untuk berdagang garam disebut Perlanja Sira. Garam tidak hanya berperan sebagai bumbu masak, tetapi juga sebagai bagian dari ritual penusur sira (menurunkan garam abadi), yang digunakan untuk menafsirkan pertanda baik dan buruk dalam kehidupan sehari-hari.

Garam dan Perlawanan terhadap Kolonialisme

Garam juga menjadi isu penting dalam perlawanan suku Karo terhadap pemerintah kolonial Belanda. Ketika Belanda menerapkan monopoli garam pada tahun 1882, suku Karo menentang kebijakan tersebut karena mengancam kehidupan mereka.

Perlawanan ini memuncak dalam Perang Sunggal (1872-1895), di mana para
Simbisa Karo memanfaatkan jalur Perlanja Sira untuk mengobarkan perang gerilya melawan Belanda.

Selain sebagai jalur perdagangan dan perlawanan, jalur Perlanja Sira juga dimanfaatkan oleh misionaris Belanda dari organisasi Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) untuk menyebarkan agama Kristen di kalangan suku Karo.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved