Berita Nasional

RISET Dampak PPN 12 Persen, Pengeluaran Membengkak, Pola Konsumsi Kaum Mendang-mending Berubah

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, akan membuat pengeluaran masyarakat membengkak. 

Editor: Juang Naibaho
Juni KRISWANTO / AFP
Masyarakat memegang poster saat mengikuti aksi protes terhadap keputusan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang berlaku mulai awal tahun 2025, di depan Istana Kepresidenan Jakarta pada 19 Desember 2024. 

TRIBUN-MEDAN.com - Kebijakan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, akan membuat pengeluaran masyarakat membengkak. 

Berdasarkan riset Center of Economic and Law Studies (Celios), pengeluaran kelompok miskin mengalami kenaikan sebesar Rp 101.880 per bulan.

Kelompok rentan miskin atau kaum mendang-mending juga terdampak kenaikan PPN sehingga pengeluaran mereka bertambah Rp 153.871 per bulan.

Untuk diketahui, kaum mendang-mending didefinisikan sebagai kelompok rentan miskin. Istilah tersebut sering digunakan untuk menyebut sekelompok orang yang suka membanding-bandingkan barang. 

Jumlah kaum mendang-mending di Indonesia mencapai 137,5 juta orang pada 2024. Jumlah ini mencakup setengah dari total penduduk Indonesia sebanyak 286,1 juta orang. 

Celios juga memperkirakan, kelompok menengah mengalami penambahan pengeluaran setiap bulan sebanyak Rp 354.293.

Jika ditotal dalam setahun, pengeluaran kelompok miskin bertambah Rp 1,2 juta, kelompok rentan miskin Rp 1,8 juta, dan kelompok menengah Rp 4,2 juta.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, perhitungan soal pengeluaran masyarakat yang membengkak memperhitungkan selisih tarif PPN, inflasi, dan proporsi pengeluaran.

Celios menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diolah dengan pemodelan PPN naik dari 11 persen ke 12 persen dan asumsi inflasi 4,1 persen.

“Kita pakai data Susenas sehingga mendapatkan angka itu,” ujar Bhima, Jumat (20/12/2024), dikutip dari Kompas.com.

Bhima menjelaskan, ada sejumlah dampak yang ditimbulkan ketika kelompok miskin, rentan miskin, dan menengah mengalami kenaikan pengeluaran akibat PPN 12 persen.

Khusus kelompok miskin, mereka akan mengurangi kemampuan memenuhi kebutuhan non-esensial, seperti pendidikan dan kesehatan.

Dampak lainnya adalah menurunkan tabungan dan kualitas konsumsi sehari-hari.

PPN 12 persen juga dikhawatirkan memberikan beban berat karena penghasilan kelompok miskin terbatas dan tergantung pada barang kebutuhan pokok.

Sementara itu, kenaikan PPN berpotensi membuat kelompok rentan miskin jatuh miskin tanpa jaring pengaman sosial. 

Kemampuan kelompok tersebut untuk menabung, berinvestasi, dan konsumsi barang dan jasa penting, seperti pendidikan dan asuransi kesehatan, juga diperkirakan berkurang.

Dalam risetnya, Celios turut memasukkan sederet dampak yang dialami kelompok menengah apabila PPN 12 persen benar-benar diterapkan mulai tahun depan.

Pertama, terjadi pengurangan daya beli, terutama barang non-esensial seperti hiburan, perjalanan, dan barang mewah. Industri domestik, seperti pariwisata dan ritel, diprediksi terpengaruh karena kelompok menengah menjadi lebih berhati-hati ketika menggunakan uangnya.

Selain itu, kelompok menengah juga akan mengalami penurunan kualitas hidup dan merosot menjadi kelompok miskin. 

Manfaat Pajak Belum Tentu Dirasakan Masyarakat

Kenaikan PPN menjadi 12 persen ternyata tidak serta merta menjamin uang pajak akan kembali kepada masyarakat.

Sebaliknya, sebagian besar uang pajak yang dihimpun dari kenaikan PPN akan digunakan untuk membayar bunga utang pemerintah.

“Dalam anggaran negara, proporsi besar dari penerimaan pajak justru dialokasikan untuk pembayaran bunga utang, yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun,” tulis Celios dalam temuannya. 

Berdasarkan Nota Keuangan APBN 2025 dan keterangan Kementerian Keuangan, utang yang akan jatuh tempo pada 2025 diproyeksi mencapai Rp 800,33 triliun. Dari jumlah tersebut, pembayaran bunga utang mencapai Rp 552 triliun.

Itu tandanya, meski penerimaan negara dari sektor pajak meningkat, sebagian besar uang tersebut dialihkan untuk memenuhi kewajiban utang, bukan untuk pembiayaan langsung program-program untuk kesejahteraan rakyat.

Jikalau ada manfaat di balik kenaikan PPN bagi masyarakat, keuntungannya sangat terbatas.

Pola Konsumsi Berubah
Pola konsumsi kaum mendang-mending diprediksi berubah akibat kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. 

Bhima Yudhistira mengatakan, salah satu dampak kenaikan PPN 12 persen bagi kaum mendang-mending adalah mereka cenderung mengutamakan kebutuhan primer atau pokok, ketimbang sekunder dan tersier.

Kaum mendang-mending diprediksi condong membelanjakan uangnya ke pasar tradisional atau warung untuk kebutuhan sehari-hari guna menghindari pungutan pajak 12 persen jika membeli barang di minimarket atau supermarket.

“Kelompok rentan miskin ini tambahan pengeluarannya (akibat PPN 12 persen) Rp 153.000 per bulan. Sementara kelas menengah akan mengalami kenaikan pengeluaran Rp 354.000 per bulan,” kata Bhima. 

Bhima menambahkan, kenaikan PPN menjadi 12 persen juga memengaruhui keinginan kaum mendang-mending untuk liburan jarak jauh. 

Jika sebelum PPN 12 persen mereka bisa pergi ke sejumlah destinasi wisata di luar kota, hal ini kemungkinan berkurang ketika tarif pajak yang baru diterapkan. 

Kaum mendang-mending diprediksi lebih banyak staycation atau berwisata di sekitar tempat tinggalnya karena harus mempertimbangkan kenaikan harga BBM dan tiket pesawat atau moda transportasi lain bila bepergian ke luar kota. 

Selain itu, mereka juga diperkirakan mengganti pola liburan dari pergi ke luar kota menjadi bersantai di rumah sambil mendengarkan Spotify atau YouTube.

“Untuk menghemat belanja rekreasi dan liburan mereka. Bahkan di rumah aja,” jelas Bhima.

“Jadi waktu libur panjang mereka gunakan untuk istirahat di rumah untuk melakukan aktivitas di rumah berkumpul dengan keluarga dibandingkan melakukan perjalanan jauh,” tambahnya. 

Bhima menilai, perubahan pola konsumsi kaum mendang-mending jika PPN naik menjadi 12 persen akan menjadi bumerang bagi pemerintah. 

Sebabnya, sektor pariwisata pasti terdampak perubahan tersebut karena kaum mendang-mending memilih untuk fokus belanja kebutuhan pokok daripada liburan jarak jauh.

Di sisi lain, jumlah kaum mendang-mending mencapai separuh dari total penduduk Indonesia saat ini. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, pendapatan negara dari pajak hiburan tentu akan merosot. 

Selain itu, pendapatan asli daerah (PAD) di wilayah-wilayah yang menjadi destinasi wisata, seperti Bali dan Nusa Tenggara, akan berkurang. 

Di samping faktor kaum mendang-mending, sektor pariwisata turut terdampak keputusan perusahaan yang mempertimbangkan ulang melakukan ekspo, seminar, atau rapat karena khawatir anggaran membengkak.

“Bumerang, karena pendapatan pajak dari pajak hiburan, pajak PPh badan, PPh UMKM final merosot,” imbuh Bhima. 

Ia menambahkan, kenaikan PPN menjadi 12 persen ikut memengaruhi sisi inflasi terhadap barang, seperti makanan. 

Meski pemerintah mengecualikan makanan dari pungutan PPN 12 persen, Bhima mengatakan, tetap saja BBM dan kendaraan yang mengangkut bahan makanan dikenakan tarif pajak ini. 

“PPN itu sifatnya regresif, mau miskin kaya kena,” ujarnya. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved