Medan Terkini

Kisah Buruh Hantu di Perkebunan Kelapa Sawit, Kegelisahan yang Jadi Hal Lumrah

Butiran sawit yang terlepas dari tandan buahnya dikutip satu persatu, oleh tangan TR (35) di perkebunan sawit PT London Sumatra Indonesia Tbk.

|
TRIBUN MEDAN/HUSNA FADILLA TARIGAN
Seorang buruh perkebunan kelapa sawit terlihat tengah melakukan aktivitas harian, mengutip brondolan yang berserakan di tiap batang pohon. (Tribun Medan/Husna Fadilla) 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Butiran sawit yang terlepas dari tandan buahnya dikutip satu persatu, oleh tangan TR (35) di perkebunan sawit PT London Sumatra Indonesia Tbk.

Tribun Medan menyusuri salah satu perkebunannya yang ada di Kabupaten Langkat, melihat keseharian TR yang dimulai pukul 04.00 dini hari. 

Disamping harus memastikan anak-anak sekolah dan sarapan dengan baik, ia juga harus ikut ke perkebunan sawit. Bukan sebagai buruh, status TR hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga biasa.

Keharusan TR ikut ke perkebunan sawit hanya menjadi "bayangan suami" untuk membantu pekerjaannya, atau yang sering disebut sebagai buruh hantu (Burhan).

Hal ini dilakukan TR bukan tanpa alasan, beban kerja yang diemban sang suami mengharuskan ia membantu.

"Ya bantuin kutip brondolan (buah sawit yang terpisah dari tandannya) sama motong pelepahnya. Kalau tidak mana siap sampai tengah hari," ujar TR.

Selain harus menyelesaikan target di delapan jam kerja tersebut, para buruh juga mengejar premi (bonus harian) yang mirisnya tidak begitu besar.

Setiap hari para buruh yang bertugas untuk memanen sawit, harus menurunkan setidaknya 40 tandan sawit. 

Seorang buruh perkebunan kelapa sawit terlihat tengah melakukan aktivitas harian, mengutip brondolan yang berserakan di tiap batang pohon. (Tribun Medan/Husna Fadilla)
Seorang buruh perkebunan kelapa sawit terlihat tengah melakukan aktivitas harian, mengutip brondolan yang berserakan di tiap batang pohon. (Tribun Medan/Husna Fadilla) (TRIBUN MEDAN/HUSNA FADILLA TARIGAN)

Dengan waktu kerja selama 8 jam, tugas mereka bukan hanya menjatuhkan tandanan sawit dari pohonnya. Tetapi juga dituntut untuk memastikan pelepah sawit terlihat rapi, dan tak satu pun brondolan berserak dibawah pohonnya. Serta mengumpulkannya menjadi satu titik penjemputan di tiap sektor yang mereka tangani.

Oleh sebab itu, tak jarang para pekerja mau tidak mau mengajak keluarga dirumah untuk membantu. Dengan harapan pula, kerja mereka bisa lebih dari 40 tandan sawit, yang nantinya akan dibayar Rp 450 rupiah per tandan, atau yang disebut mendapatkan premi.

Suami TR dengan gesit menurunkan tandan sawit dari pohon berusia 40 tahun dengan ketinggian 15-17 meter tersebut. Disisi lain, TR juga harus menyamakan kecepatan dalam memungut brondolan yang berserakan dari tandan sawit di tiap pohonnya

Untuk brondolan yang mereka kumpulkan, akan dibayar sebesar Rp 450 per kilo. Dalam sehari setidaknya TR mampu mengumpulkan sekitar 100-200 kilo.

Selain TR, ada juga A (34) yang harus bekerja di perkebunan kelapa sawit hanya untuk menjadi buruh bayangan suaminya.

Bahkan A tak hanya sekedar mengutip brondolan, terkadang ia juga turut membantu mengumpulkan tandanan sawit menjadi satu. Dimana tandan buah sawit yang telah dijatuhkan dari pohonnya, kemudian ditumpuk menjadi satu lokasi pada tiap sektor lahan atau perbaris.

"Nggak hanya brondolan, kadang saya juga harus langsir (sawit ditumpuk menjadi satu titik dari tiap batang pohon)," ungkap A.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved