Ibu-ibu Asal Sumut Curhat kepada Ketua KPAI di Jakarta, Suami dan Anak jadi Korban Kekerasan

Mereka menangis ketika mencurahkan isi hati (curhat) kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah

Editor: Jefri Susetio
istimewa
Sejumlah ibu-ibu masyarakat adat menangis ketika mencurahkan isi hati (curhat) kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah. 

TRIBUNMEDAN.COM, JAKARTA - Beberapa ibu-ibu tidak kuat menahan kesedihan lalu air mata tampak meleleh di wajah. Suaranya terbata-bata. Mereka menangis ketika mencurahkan isi hati (curhat) kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah, di kantor KPAI kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta, Senin (2/9/2024) sore.

Seorang ibu berkata, “Saya juga ikut diseret. Diborgol, dan dipukul. Sadisnya, anak saya yang masih berusia 10 tahun, juga ikut mengalami kekerasan, Bu,” 

Kemudian orang tidak dikenal memborgol warga dan memukuli, menendang dagu dan bagian kepala. Beberapa masyarakat adat Sihaporas mengalami luka robek di kepala, dan lebam di wajah. Dua ekor anjing peliharaan warga pun mati, diduga diracun pihak tertentu.

Baca juga: Respons KPU Sumut terkait Potensi Gugatan PDIP setelah 2 Bacalon Bupatinya Ditolak

 

Menurutnya, tindakan kekerasan seperti ini, berakibat, ia tidak berani tinggal di rumahnya sendiri. 

Di antara ibu-ibu adalah Mersi Silalahi. Ia menceritakan kasus yang dialami Thomson Ambarita, suaminya.  

Peristiwanya, bulan lalu, Senin (22/7/2024) dini hari di perladangan di kawasan Danau Toba, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.  

Ketika tengah terlelap pada Senin (22/7/2024) dini hari, masyarakat adat Sihaporas mengaku dikagetkan kedatangan puluhan orang yang tidak mereka kenal. Lima orang warga kemudian dibawa paksa dari kampung mereka.

Baru beberapa jam kemudian mereka mengetahui, kelima orang tersebut ternyata ditangkap oleh Polres Simalungun. Kelimanya adalah Jonny Ambarita, Thomson Ambarita, Giovani Ambarita, Prando Tamba, dan Dosmar Ambarita. 

“Mengapa kami diperlakukan seperti teroris. Polisi menangkap suami saya pada jam 3 pagi, tanpa surat panggilan. Dipukuli, disetrum lsitrik. Dan ada anak-anak di situ, menyaksikan bapaknya dipukuli, tentu terluka kan hatinya,” kata Mersi. 

Mersi menceritakan, suaminya, sudah dua kali mengalami penangkapan padahal memperjuangkan tanah adat leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, yang sudah 11 generasi atau lebih dari 220 tahun diusahai secara turun-temurun. 

Sebelumnya, September  2019, Thomson suaminya, bersama Jonny Ambarita, juga mendekam di penjara karena kriminalisasi oleh  PT TPL. 

Persoalan mereka sebenarnya mengenai tanah, namun pekerja TPL selalu memprovokasi sehingga pecah konflik horizontal antar-manusia. Ketika pihak perusahaan mengadu ke polisi, maka anggota masyarakat ditangkap. 

Sedangkan dari pihak perusahaan tidak tersentuh. Kasus 2029 dipicu pekerja (T TPL bernama Bahara Sibuea. Dan kejadian 2022 serta 2024 diawali tindakan penghasutan terus-menerus oleh pekerja PT TPL Sardi Samuel Sinaga dan kawan-kawan. 

Sebelumnya, Kapolres Simalungun AKBP Choky Sentosa Meliala, mengatakan warga Sihaporas ditangkap terkait kasus dugaan perusakan dan pengeroyokan yang dilaporkan oleh pekerja mitra PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Seorang ibu lainnya, Marta Manurung, mewakili Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dari Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. Marta menyampaikan kisah penculikan keluarganya, Sorbatua Siallagan, kakek 65 tahun, pada 22 Maret 2024.  

Sorbatua Siallagan, selaku tetua adat Komunitas keturunan Ompu Umbak Siallagan diculik oleh orang tidak dikenal, ketika ia sedang berbelanja pupuk pertanian. 

Setelah beberapa jam keluarga menelusuri keberadaannya, diketahui Sorbatua berada di Polda Sumatera Utara. 

Pada  14 Agustus 2024 Sorbatua Siallagan divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun. Ia didakwa menguasai tanah PT TPL, dan membakar hutan.

Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PHW AMAN) Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran yang ikut mendampingi warga membenarkan, masyarakat menangis saat mengadu.

“Memang betul, korban menyampaikan dengan menangis, saat mengadu kepada Ketua KPAI,” kata Jhontoni Tarihoran, Selasa (3/9/2024). 

Jhontoni mengatakan, para ibu menangis karena merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Sebab begitu banyak rintangan yang mereka alami saat mempertahkanak hak atas wilayah adat.

Lalu ada juga kekerasan yang dialami orangtuan dan anak-anaknya. Ini tentu mengakibatkan ketakutan atau trauma bagi anak-anak.

“Kita yang mendengar juga sangat sedih. Bukan saja karena mereka menangis, tapi mendengar cerita mereka tentang situasi dan kekerasan yang terjadi rasanya sangat menyedihkan dan membuat kita marah. Walaupun saya tidak meneteskan air mata, mendengar cerita itu sangat sedih,” ujar Jhontoni.  

Ia berharap, aduan dan keluhan masyarakat kepada KPAI, kiranya menjadi bahan pertimbangan bagi  KPAI untuk segera mengambil peran dalam situasi konflik berlarut-larut di masyarakat adat Sihaporas.

Sebab perjuangan mereka bukan hanya tentang tanah adat, tetapi saat ini juga menolak kekerasan dan penghilangan hak anak. Memang berjuang untuk tanah adat, untuk wilayah adat yang tetap lestari yang akan diwariskan sebagai masa depan termasuk masa depan anak-anak.

Sebab  ada juga problema serius yang dihadapi anak-anak. Ada anak menjadi korban kekerasan, yang melihat situasi saat ayahnya ditangkap polisi. 

Jhontoni berujar, “Dan ada juga, anak-anak yang kehilangan ayah karena bapaknya terpenjara. Atau ada anak-anak yang menjadi berjarak dengan bapaknya. Kita bisa bayangkan, anak sekolah, yang semula diantar-jemput bapak ke sekolah, tapi karena ayahnya ditangkap polisi, maka kasihan anak-anaknya tidak mendapat pendampingan saat menjalani pendidikan.” 

Ia meminta agar masyarakat adat yang memperjuangkan tanah leluhur segera dibebaskan. Dan tanah adat sesegera mungkin diakui pemerintah dan diserahkan kepada komunitas masyarakat adat.
 

Tanah Adat Diakui Penjajah Belanda

Sejumlah ibu-ibu dari kawasan Danau Toba, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, keluarga korban kriminalisasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) bertolak ke Jakarta.

Mereka mengadu kepada sejumlah kementerian/lembaga negara dan keagamaan, untuk mencari keadilan atas tanah adat warisan leluhur selama 11 generasi, selama beratus tahun. 

Selain mendatangi KPAI, mereka juga mengadu ke Komnas HAM, kemudian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Dan mereka akan tetap berada di Jakarta untuk menuntut keadilan.

Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) mengatakan, tanah nenek moyaknya sudah ditempati sejak kurang lebih 220 tahun silam. 

Menurut Mangitua, mereka mengelola tanah adat leluhur. Tanah Sihaporas bahkan, telah diakui penjajah Belanda. Terbukti dengan terbitnya peta Enclave 1916 (29 tahun sebelum Indonesia merdeka). 

Mereka bukan penggarap tanah. Terdapat 6 orang tetua desa Sihaporas juga menjadi pejuang Kemerdekaan RI. Ayahnya, Yahya Ambarita mendapat piagam legiun Veteran RI dari Menteri Pertahanan LB Moerdani tahun 1989.  

Masih menurut Mangitua, pengolahan tanah Sihaporas memang dilakukan secara adat. Setiap kegiatan, mulai membuka lahan sampai panen, dilakukan dan diwarnai tradisi adat yang kental. 

Misalnya, membuka lahan disebut ‘manoto’, menggelar doa untuk meminta berkat dan permisi kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Mahakuasa), juga semacam pemberitahuan kepada alam semesta, bahwa akan dimulai menebang pohon.

Ketika hendak bercocok tanam padi darat (huma), dilakukan tradisi ‘manjuluk’.  Saat padi bunting, dilaksanakan tradisi ‘manganjab’, yaitu ritual bersama-sama di perhumaan. Dilaksanakan doa mohon kesuburan dan keberhasilan panen. 

Acara menganjap juga diwarnai tradisi ‘marsibak’, mengolah bahan makanan berbahan jagung, dicampur dedaunan untuk permentasi. 

Rangkaian selanjutnya, ‘robu juma’ (pantang berladang) selama tiga hari, ‘robu harangan’ (pantang ke hutan) tiga hari, dan pada hari ke-7 dilakukan manangsang robu (buka pantang) yang diisi kegiatan doa, lanjut berburu ke hutan.

Saat panen, dikenal dilakukan ‘sipahalima’. Pemotongan bulir padi, didahului mengumpulkan tujuh gulungan buliran padi, lalu disimpan di bubungan gubuk. Setelah selesai panen, diadakan pesta dan doa bersama.

Selain itu, warga juga hidup dengan tradisi ritual doa adat. Terdapat tujuh macam doa, mulai skala besar yang diikuti musik tradisional gondang, sembelih persembahan atau sesaji, hingga penggunaan air suci yag bersumber dari balik batu.

Penggunaan ‘rudang’ atau bahan-bahan bebugaan dari perldanagn dan hutan. Tradisi terbesar adalah ‘Patarias Debata Mulajadi Nabolon’, yakni pesta adat denagn durasi non-stop tiga hari dua malam, menggunakan alat musik gondang Toba.

Mendengar keterangan ibu-ibu, para keluarga korban kriminalisasi PT TPL,  Ketua KPAI Ai Maryati Solihah  menyayangkan kejadian kekerasan oleh jajaran Polres Simalungun terhadap anak-anak. 

“Peristiwa yang mengakibatkan terlibatnya anak jadi korban kekerasan sangat kita sesalkan.

KPAI akan segera menindaklanjuti. Sebagai langkah awal, akan mendata anak-anak di kampung terdampak.

Lalu, membuat langkah-langkah untuk pemulihan segala hak anak termasuk, pemulihan mental akibat peristiwa (kekerasan dan traumatis) yang dialami,” ujar Ai. 

Baca juga: Kodim Medan dan Polrestabes Medan Berkolaborasi Gagalkan Pengiriman 5 Kilo Ganja, 6 Orang Diamankan

 

Para pejuang tanah adat dari Simalungun, selama berada di Jakarta antara lain didampingi Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PHW AMAN) Wilayah Tano Batak.

Kemudian solidaritas Organisasi Masyarakat Sipil di Jakarta yaitu, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia (PBHI).

Dan, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) , HuMa, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), PUSAKA. 

Penjelasan TPL 

Direksi PT Toba Pulp Lestari (TPL) secara tegas membantah menculik lima warga Desa Sipahoras, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun.

Hal ini disampaikan, Komisaris Independent TPL Thomson Siagian saat memberikan keterangan pers di Uniland Plaza, Medan, Rabu (24/7/2024).

"Secara tegas kami menyatakan tidak ada menculik warga. Tidak ada TPL menculik. Informasi yang beredar di media sosial yang menyebutkan puluhan orang TPL menculik warga adalah hoaks alias berita bohong," ujarnya saat memberikan keterangan didampingi Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Toba Pulp Lestari, Anwar Lawden.

Diketahui bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merilis TPL diduga melakukan penculikan terhadap lima warga masyarakat Adat Sipahoras pada Senin (22/7/2024) dinihari.

Adapun aksi penculikan itu terjadi sekira pukul 03.00 WIB tatkala warga sedang tidur. Puluhan orang masuk ke dalam rumah dan membangunkan warga dengan cara memukul kaki mereka.

Adapun lima warga yang disebut-sebut diculik itu Jonny Ambarita, Thomson Ambarita, Prado Tamba, Gio Ambarita, dan Kwin Ambarita.

Belakangan Polres Simalungun membantah isu penculikan. Artinya, lima warga itu bukan diculik tetapi ditangkap polisi karena kasus pengeroyokan yang dilaporkan pada 19 Juli 2022 dan 14 Mei 2024.

Adapun korban penganiayaan itu bernama Samuel Sinaga. Atas dasar laporan polisi itu kemudian dilakukan penangkapan terhadap para terduga pelaku.

"Kami menegaskan informasi yang menyebutkan TPL mengerahkan 50 orang dengan mengendarai dua unit mobil security dan truck colt diesel sama sekali tidak benar. Itu informasi menyesatkan," kata Thomson Siagian.

Sebagai perusahaan yang menjadi objek vital negara, lanjut dia, TPL taat azas dan tidak pernah melanggar hukum. Karena itu, ia mengimbau seluruh pihak untuk taat hukum.

"Dalam menjalankan aktivitas operasional kami professional dan sesuai dengan undang-undang. Dan, peraturan yang berlaku merujuk izin perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH)" ujarnya.

Buka Dialog dengan Masyarakat Adat

Komisaris Independent TPL Thomson Siagian menyampaikan, perusahaan sangat menghormati masyarakat adat di seluruh wilayah operasional TPL. Dan, berkomitmen untuk mengedepankan dialog untuk mencari solusi damai.

"Kami terus berupaya melakukan dialog dengan berbagai pihak untuk mencari solusi terbaik melalui pola kemitraan yang menguntungkan semua pihak," katanya.

Ia berharap pemerintah bisa menjamin keberlangsungan izin investasi, izin kehutanan dan izin operasional perseroan.

Dan, bisa membantu mediasi dalam menyelesaikan konflik agar menemukan solusi di antara kedua pihak.

"Harus ada juga penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana," ungkapnnya.

(*)

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved