Tribun Wiki

Tradisi Berburu Kepala di Nias pada Masa Lampau yang Dijadikan Tumbal Hingga Mas Kawin

Pada masa lampau, masyarakat di Nias punya tradisi berburu kepala untuk keperluan ritual hingga dijadikan mas kawin

Editor: Array A Argus
INTERNET
Ilustrasi berburu kepala pada suku Nias 

TRIBUN-MEDAN.COM,NIAS- Masyarakat suku Nias pada masa lampau punya tradisi yang menyeramkan layaknya pada suku Dayak.

Di masa lalu, masyarakat suku Nias punya tradisi berburu kepala atau Mangayau atau Manga'i Binu.

Dilansir dari booklet laman Repositori Kemendikbud berjudul Emali: Tradisi Berburu Kepala di Nias Selatan disebutkan, bahwa tradisi mengerikan ini sudah berlangsung sejak pertengahan abad ke 19.

Pada masa itu, ada seorang jawara atau pendekar bernama Awu Wukha.

Baca juga: Tradisi Famato Harimao Bagi Suku Nias, Arak Patung Hewan Buas dan Dibuang ke Jurang

Semasa hidupnya, Awu Wukha ini selalu menang dalam bertarung.

Ia tercatat sudah belasan kali memenggal kepala laki-laki dari desa lain.

Karena kepiawaiannya dalam bertarung dan banyaknya korban, Awu Wukha kemudian menjadi seorang bangsawan.

Ia pun kemudian menitipkan pesan kepada anak-anaknya, agar ketika dirinya mati nanti, maka mereka harus menyiapkan Binu (tumbal).

Awu Wukha minta disiapkan lima Binu dengan harapan budak tersebut bisa melayaninya disaat ia mati.

Namun begitu, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan bahwa suku Nias pernah memakan daging manusia (Kanibal).

Baca juga: Tradisi Magido Bantu Suku Mandailing, Bukti Gotong Royong dan Eratnya Silaturahmi

Ritual dan Upacara Adat

Seiring perkembangan, tradisi berburu kepala atau Mangayau ini kemudian berkembang untuk berbagai keperluan.

Karena pada masa lampau masyarakat suku Nias masih menganut keyakinan animisme dan paganisme, mereka pun berburu kepala untuk keperluan ritual dan acara adat.

Bahkan, disebutkan pula tradisi berburu kepala ini dijadikan syarat mas kawin bagi seorang lelaki yang ingin menikah.

Baca juga: Tradisi Takko Binoto pada Suku Mandailing yang Berhubungan dengan Adat dalam Perkawinan

Dalam perjalanannya, binu (tumbal) ini juga dipakai ketika membangun rumah atau saat hendak mendirikan megalit (batu besar).

Biasanya, ketika mendirikan rumah, maka tengkorak seorang laki-laki ditanam di sebelah bawah tiang rumah di ujung kanan, dan tengkorak seorang perempuan ditanam di sebelah bawah tiang rumah di ujung kiri.

Sementara ketika akan membangun megalit, maka satu tengkorak harus ditanam di bagian bawah.

Status Sosial

Tradisi berburu kepala pada suku Nias di masa lampau juga erat kaitannya dengan masalah status sosial.

Semakin sering dan banyaknya seseorang memenggal kepala manusia, maka hal itu akan bedampak pada status sosialnya.

Orang tersebut akan ditakuti dan disegani oleh masyarakat suku desa lain di Nias.

Dalam booklet laman Repositori Kemendikbud disebutkan, bahwa mereka yang melakukan perburuan kepala ini disebut emali.

Musim perburuan kepala disebut sebagai Inoto Emali.

Baca juga: Tradisi Marsidudu pada Suku Mandailing Bagi Ibu yang Baru Melahirkan

Musim perburuan kepala ini ditandai dengan kemunculan kupu-kupu kuning, yang diyakini terjadi antara bulan Maret hingga April.

Ketika musim perburuan kepala tiba, maka para emali akan mendatangi desa tetangganya untuk melakukan perburuan.

Biasanya, para emali masuk secara diam-diam ke desa tetangga untuk melakukan pemotongan kepala.

Saat musim Inoto Emali tiba, tiap desa akan menyiagakan pasukan penjaga kampung yang disebut Fatuwuso.

Fatuwuso akan berkeliling melihat apakah ada orang luar yang diam-diam masuk ke kampung atau desa mereka.

Baca juga: Tradisi Markobar pada Suku Mandailing yang Masih Terjaga Hingga saat Ini

Namun, ada juga tradisi berburu kepala ini dengan cara pemberitahuan.

Pemberitahuan perang akan disampaikan oleh si'ila kepada si'iila di desa lain.

Dalam pemberitahuan itu, desa penantang memberikan mata pisau kecil (ekhe) dibungkus kain, yang merupakan simbol tantangan ke desa tetangganya.

Setelah pesan diterima, maka desa terkait akan bersiap melakukan perang.

Baca juga: Tradisi Ngelegi Bayang-bayang pada Suku Karo yang Mulai Pudar

Dalam perang itu, akan dilakukan perburuan kepala.

Namun, tradisi pemenggalan kepala dan mutilasi biasanya dilakukan di tempat yang tidak diketahui orang lain.

Karena tradisi ini sangat menyeramkan, kebiasaan tersebut pun sudah punah seiring masuknya ajaran agama ke Nias.(ray/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter  

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved