TRIBUNWIKI

Tari Gunda-Gundala Suku Karo, Dipercaya Bisa Memanggil Hujan

Para pemain Gundala, umumnya menggunakan topeng dari kayu berukuran cukup besar, serta baju khusus berwarna putih dan beberapa aksesoris lainnya.

Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN MEDAN / HO
Penampilan tarian topeng Gundala-Gundala khas Karo di kegiatan kebudayaan beberapa waktu lalu. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN- Suku Karo memiliki beragam tradisi, salah satunya ada di kesenian tradisional.

Seperti Tari Gundala-gundala yang merupakan salah satu kesenian tradisional dari Suku Karo.

Tari Gundala-gundala dipercaya bisa mendatangkan hujan.

Dahulu, tari Gundala-Gundala yang identik dengan topeng berukuran besar ini, ditampilkan untuk memanggil hujan saat musim kemarau atau disebut Ndilo Wari Udan.

Para pemain Gundala, umumnya menggunakan topeng dari kayu berukuran cukup besar, serta baju khusus berwarna putih dan beberapa aksesoris lainnya.

Penampilan Tari Kontemporer yang dikolaborasikan dengan Tari Gundala-gundala oleh komunitas Sedalanen Etnik, dalam suatu acara pengunjung Plaza Medan Fair, Jalan Gatot Subroto Nomor 30, Medan Petisah.
Penampilan Tari Kontemporer yang dikolaborasikan dengan Tari Gundala-gundala oleh komunitas Sedalanen Etnik, dalam suatu acara pengunjung Plaza Medan Fair, Jalan Gatot Subroto Nomor 30, Medan Petisah. (TRIBUN MEDAN/GITA  )

Namun, saat ini tari Gundala-Gundala kerap dimainkan di beberapa acara hiburan ataupun pentas seni.

Bagi Masyarakat Karo sendiri, Tari Gundala-Gundala memiliki nilai budaya dan spritual. Pasalnya, adanya Tari Gundala-Gundala karena adanya kisah atau legenda yang menyedihkan.

Ada beberapa versi asal mula adanya tari Gundala-gundala, namun ada satu kisah yang dipercaya pernah terjadi yang menjadi awal mula terbentuknya tari Gundala-Gundala, yakni tentang seekor burung bernama Gurda-Gurdi.

Dikisahkan, awak terbentuknya Tari Gundala-gundala berawal dari seorang raja bernama Sibayak bersama permainsurinya yang memiliki putri yang cantik jelita. 

Suatu ketika sang raja bertemu dengan mahluk gaib yang ternyata adalah jelmaan dari seorang pertapa sakti berbentuk burung raksasa bernama Gurda-Gurdi. 

Singkat cerita burung tersebut pun dibawa Raja pulang ke istana dan menjadi penjaga sang putri. Gurda-Gurdi ini dilegendakan memiliki kekuatan ajaib untuk melindungi sang putri dari segala mara bahaya dan ancaman musuh.

Suatu ketika sang putri asik bercanda dengan Gurda-Gurdi hingga ia menyentuh paruh sang burung raksasa.

Merasa tidak senang, Gurda-Gurdi menunjukkan sikap tidak sopan kepada putri hingga panglima raja yang melihat kejadian tersebut berusaha menenangkan Gurda-Gurdi dengan cara mengelus paruh burung tersebut.

Rumah Siwaluh Jabu dan Gundala-gundala adalah dua warisan budaya tak benda yang dapat ditemukan pada masyarakat Karo. Kedua warisan budaya tak benda ini masih dapat ditemukan di tengah masyarakat Karo.
 
 
Rumah Siwaluh Jabu dan Gundala-gundala adalah dua warisan budaya tak benda yang dapat ditemukan pada masyarakat Karo. Kedua warisan budaya tak benda ini masih dapat ditemukan di tengah masyarakat Karo.     (HO)

Akan tetapi Gurda-Gurdi semakin marah, dan terlibat peekelahian segit dengan  sang panglima. 

Menyaksikan perkelahian tersebut, Raja Sibayak memahami bahwa panglima sudah diambang kekalahan. Ia kemudian menyuruh para pengawal memberi bantuan dari jarak jauh. Gurda-Gurdi terkena pukulan keras hingga meninggal.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved