Film

Setelah Michelle Yeoh Menang Oscar

Perkembangan beberapa tahun belakangan semestinya cukup untuk mengubah cara pandang Barat terhadap sineas dan film Asia. Ternyata tidak juga.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
AFP/KEVIN WINTER
TERBAIK - Artis berkebangsaan Malaysia, Michelle Yeoh, berpidato usai menerima Oscar sebagai Aktris Terbaik lewat film "Everything Everywhere All at Once" dalam Academy Award ke 95 yang digelar di Dolby Theatre, Hollywood, California, Senin (13/3). 

Tahun 2020, Parasite memecah kebuntuan itu. Parasite menang di kategori Film Berbahasa Asing Terbaik sekaligus menggondol Oscar untuk Film Terbaik.

Satu scene dalam film 'Parasite' yang memenangkan Oscar untuk kategori film terbaik di tahun 2020.
Satu scene dalam film 'Parasite' yang memenangkan Oscar untuk kategori film terbaik di tahun 2020. (www.filmaffinity.com)

Setahun berselang, Akademi Oscar mengubah kategori Film Berbahasa Asing menjadi Best International Feature Film atau Film Panjang (produksi) Internasional Terbaik. Minari, besutan sutradara Lee Isaac Chung yang berbahasa campuran Inggris dan Korea (Isaac Chung berdarang Korea tapi lahir di Denver, Amerika), tidak dimasukkan di kategori ini. Minari bertarung di kategori Best Movie, dan kalah dari Nomadland yang disutradarai Chleo Zhang tadi.

Perkembangan beberapa tahun belakangan semestinya cukup untuk mengubah cara pandang Barat terhadap sineas dan film Asia. Semestinya tidak ada lagi cara pandang kolonialis yang kelewat tinggi menilai diri sendiri. Namun ternyata tidak juga. Sineas Asia dan film-film mereka masih tetap dilihat sebagai “sesuatu yang datang dari dunia ketiga”.

Sampai kapan? Tidak tahu. Hari ini, Senin, 13 Maret 2023, Asia mencetak sejarah lagi. Bahkan kali ini mengerucut lebih tajam, Asia Tenggara, wilayah yang jarang dibicarakan di panggung film dunia. Hanya dua film Asia Tenggara yang pernah masuk nominasi Film Berbahasa Asing Terbaik yaitu The Scent of Green Papaya (1993) dari Vietnam, dan The Missing Picture (2013) dari Kamboja. Keduanya tidak menang.

Namun Senin itu, di gelaran Academy Award ke 95, Asia Tenggara benar-benar menjadi bintang utama. Ke Huy Quan, atau Jonathan Ke Quan, memenangkan kategori Best Supporting Actors atau Aktor (Pemeran Pria) Pendukung Terbaik untuk perannya di film Everything Everywhere All at Once yang total menyabet tujuh penghargaan dari total 11 nominasi.

Aktor Ke Huy Quan menunjuk seseorang usai memberikan pidato kemenangannya sebagai Aktor Pendukung Terbaik di Academy Award ke 95 yang digelar di Dolby Theatre, Hollywood, California, Senin (13/3).
Aktor Ke Huy Quan menunjuk seseorang usai memberikan pidato kemenangannya sebagai Aktor Pendukung Terbaik di Academy Award ke 95 yang digelar di Dolby Theatre, Hollywood, California, Senin (13/3). (AFP/KEVIN WINTER)

Ke Huy Quan, 51 tahun, lahir Saigon, Vietnam Selatan. Saat ia berumur 8 tahun, perang memaksa keluarganya mengungsi ke dua negara berbeda, Hong Kong dan Malaysia. Bersama Ayah dan tiga saudaranya, Ke Huy Quan mengungsi ke Hong Kong, sedangkan ibu dan lima saudaranya yang lain menyingkir ke Malaysia. Tahun 1979, keluarga ini bersatu setelah diungsikan (dalam program refugee resettlement) ke Amerika Serikat.

Asia Tenggara kedua adalah Michelle Yeoh yang meraih oscar untuk kategori Best Actres. Serupa Ke Huy Quan, ia juga bermain di film Everything Everywhere All at Once.

Scene dalam film Everything Everywhere All at Once yang menyabet Oscar untuk film terbaik dan sejumlah kategori lainnya
Scene dalam film Everything Everywhere All at Once yang menyabet Oscar untuk film terbaik dan sejumlah kategori lainnya (www.countryliving.com)

 

Michelle Yeoh dilahirkan dengan nama Yeoh Choo Kheng, 6 Agustus 1962, di Ipoh, Perak, Malaysia. Pencapaian-pencapaiannya di bidang akting dan aktivitas berkesenian lainnya, terutama pascamemenangi gelaran Miss World Malaysia tahun 1983, membuat Pemerintah Malaysia memberinya gelar kenegaraan yang tinggi, Yang Berbahagia Tan Sri Dato’ Seri. Patung Oscar barangkali akan membuat deretan gelarnya bertambah.

Vietnam dan Malaysia boleh berbangga. Asia Tenggara, dan Asia, sedikit banyak berbangga. Namun pertanyaan tadi rasa-rasanya masih belum bisa terjawab. Sampai kapan Barat akan tetap melihat perfilman Asia; sineas, artis, dan produksi filmnya, dengan cara pandang kolonialis?

Atau bagaimana kalau titik tolaknya dibalik? Kenapa kita harus repot-repot memikirkan mereka? Peduli setan dengan cara pandang itu.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved