Film

Setelah Michelle Yeoh Menang Oscar

Perkembangan beberapa tahun belakangan semestinya cukup untuk mengubah cara pandang Barat terhadap sineas dan film Asia. Ternyata tidak juga.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
AFP/KEVIN WINTER
TERBAIK - Artis berkebangsaan Malaysia, Michelle Yeoh, berpidato usai menerima Oscar sebagai Aktris Terbaik lewat film "Everything Everywhere All at Once" dalam Academy Award ke 95 yang digelar di Dolby Theatre, Hollywood, California, Senin (13/3). 

Sejak ‘Parasite’ memenangkan patung emas Oscar di Academy Award 2020, titik pandang terhadap film-film Asia bergeser (hampir) sepenuhnya ke Korea Selatan.

Tidak salah, lantaran film-film Korea relatif memang “maut-maut”. Bahkan, jika boleh jujur, film yang lebih bagus dari ‘Parasite’ juga banyak. Termasuk yang muncul sebelum ‘Parasite’, Semisal On the Occasion of Remembering the Turning Gate (2002), Oldboy (2003), dan 3-Iron (2004). Atau film lain besutan Bong Joon-ho (sutradara ‘Parasite’) yang rilis tahun 2003, ‘Memories of Murder’.

Bagaimana di luar Korea? Sesungguhnya sama mautnya. Bertahun-tahun sebelum ‘Parasite’, Jepang, Hong Kong, Taiwan, atau India, memproduksi film-film yang bagus, sangat bagus, dan bahkan amat sangat bagus.

Dari Jepang daftarnya bisa panjang sekali. Untuk menyebutnya beberapa saja ada Ikiru (1952), Seven Samurai (1954), Rashomon (1950), Harakiri (1962), atau yang “berusia sedikit lebih muda”, Graveyard of Honor (1975), Sonatine (1993), Tokyo Fist (1995), Love Exposure (2008), Departures (2008), dan masih banyak lagi yang lain.

Hong Kong, tentu saja. Dari satu sutradara saja, Wong Kar-wai, ada Chungking Express (1994), Happy Together (1997), dan In the Mood for Love (2000). Kemudian sebutlah Infernal Affairs (2002), yang empat tahun berselang diadaptasi Martin Scorsese menjadi The Departed yang memenangkan Oscar untuk film terbaik. Infernal Affairs sendiri merajai Hong Kong Film Awards, meraih tujuh Golden Horse dari total 16 nominasi, termasuk sutradara terbaik untuk Andrew Lau dan Alan Mak, serta aktor terbaik untuk Tony Leung.

Scene dalam film Infernal Affair yang dibintangi Andi Lau (depan) dan Tony Leung.
Scene dalam film Infernal Affair yang dibintangi Andi Lau (depan) dan Tony Leung. (www.criterion.com)

Taiwan, di luar ‘Crouching Tiger, Hidden Dragon’ yang menggetarkan panggung Oscar di tahun 2001 tapi akhirnya “harus kalah” dari ‘Gladiator’, menyumbangkan film-film dahsyat semacam A Brighter Summer Day (1991), Rebels of the Neon God (1992), dan Yi Yi (2000).

India? Daftarnya barangkali akan sama panjang dengan Jepang. Trilogi Apur Sansar, atau The World of Apu, film berbahasa Bengali produksi tahun 1959, misalnya. Atau Salaam Bombay! (1988), Lagaan (2001), dua seri Gangs of Wasseypur (2012), atau drama “sederhana” tapi kuat seperti Queen (2012) dan The Lunchbox (2013).

Belum lagi bicara Iran. Sungguh, film-film Iran punya kekuatan tersendiri dalam bercerita. Mereka jarang bergenit-genit untuk bicara tentang pemikiran-pemikiran besar. Gambar mereka juga tidak pernah rumit. Sebaliknya, relatif biasa, tapi di balik yang kelihatan biasa ini menyimpan tohokan-tohokan yang justru luar biasa.

Tiga film Abbas Kiarostami, Where Is the Friend's House? (1987), Close Up (1990) dan Taste of Cherry (1997), bisa dikedepankan sebagai contoh. Atau –sudah barang tentu– film-film yang mendapatkan “perhatian global” seperti Children of Heaven (1997), Turtles Can Fly (2004), dan A Separation (2011).

Adegan dalam film A Separation produksi Iran yang memenangkan Oscar kategori Film Berbahasa Asing Terbaik pada tahun 2012
Adegan dalam film A Separation produksi Iran yang memenangkan Oscar kategori Film Berbahasa Asing Terbaik pada tahun 2012 (www.filmcomment.com)

Sampai di sini, tentu muncul pertanyaan, apa gunanya film-film di atas di sebut? Sekadar pamer bahwa film Asia juga tak kalah bagus dibanding produksi Barat (Eropa dan Hollywood)?

Kurang lebih demikian. Ini memang bukan semata tentang film. Ini juga ideologi, perihal cara pandang, persisnya, cara pandang Barat terhadap film-film yang bukan barat. Cara pandang yang –dengan sangat terbuka– selalu meremehkan.

“Barangkali ini bisa memberikan harapan,” kata Chloe Zhao, sineas berkebangsaan China, usai memenangkan Oscar untuk kategori sutradara terbaik lewat filmnya, Nomadland (2020). Sebelumnya, Zhao juga menang di Golden Globe.

Kemenangan Chloe pada dasarnya makin menegaskan fakta bahwa Asia tidak dapat dipandang sebelah mata. Akira Kurosawa berpuluh tahun lalu menggetarkan Barat. Juga nama-nama seperti Satyajit Ray, Kar-Wai Wong, Asghar Farhadi, Abbas Kiarostami, Takeshi Kitano, Majid Majidi, Park Chan-wook, atau Zhang Yimou.

Namun berpuluh-puluh tahun pula sejak Kurosawa, para sineas Asia dan film-film mereka tetap dilihat sebagai “sesuatu yang datang dari dunia ketiga”. Ibarat bermain tinju melawan juara bertahan yang berpengaruh (katakanlah seperti Flyod Maywater Jr), maka kemenangan hanya bisa diraih dengan cara memukul KO. Harus menang telak. Kalau cuma unggul angka tipis, siap-siaplah untuk kalah.

Sejak Rashomon di tahun 1950 [mendapat penghargaan khusus], hanya tiga film Asia yang berhasil menang di kategori Best Foreign Language Film atau Film Berbahasa Asing Terbaik yakni Crouching Tiger, Hidden Dragon, A Separation, dan The Salesman (2016). Dari ketiga film ini, hanya Crouching Tiger, Hidden Dragon yang “diberi kesempatan” bersaing di kategori utama, Best Movie.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved