Piala Dunia di Kedai Tok Awang
Hola, Enrique, Maroko Bukan Kaleng-kaleng
Spanyol kontra Maroko. Portugal lawan Swiss. Apakah akan ada kejutan lagi? Atau Piala Dunia memang benar-benar telah kembali ke stelan pabrik?
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Dua kekalahan Maroko terjadi babak kualifikasi Piala Dunia 1962 (kala itu masih memakai sistem inter-confederation play off). Pada 12 November 1961 di Casablanca, Maroko kalah 0-1, sedangkan 23 November 1961 di Madrid mereka kalah 2-3.
Pertandingan teranyar dipanggungkan di Piala Dunia Rusia 2018. Saat itu, tergabung di Grup B, Maroko dan Spanyol bermain imbang 2-2. Spanyol kemudian melangkah ke babak selanjutnya sebagai juara grup, adapun Maroko tersingkir dengan status juru kunci.
Kedua tim bertemu lagi sekarang, dalam situasi yang sudah berbeda. Khususnya menyangkut Maroko. Mereka lebih siap, dan dalam beberapa hal, lebih kuat ketimbang empat tahun lalu.
“Aku sepakat dengan yang dibilang Leman tadi,” kata Lek Tuman. Kali ini, memegang buah putih dengan pembukaan Gambit, dia agak lebih leluasa menekan pertahanan Mak Idam. Di sebelahnya, Tok Awang, sebagai penonton sekaligus sekondan, tersenyum puas.
“Maroko memang bukan kaleng-kaleng. Mungkin saja akan tetap Spanyol yang menang, tapi paling enggak, beda dari Brasil melawan Korea semalam. Maksudku kalok pun menang enggak semudah itu. Bisa jadi malah kayak Kroasia. Cengap-cengap dulu, terus menang penalti. Pokoknya ketat, lah,” sebutnya.
Pertandingan yang ketat, yang sengit, juga diprediksi terjadi antara Portugal dan Swiss. Sekilas pintas, katakanlah jika hanya berpatok pada “nama”, maka terang Portugal lebih diunggulkan.
Padahal statistik bicara lain. Portugal versus Swiss sudah terjadi 26 kali, dan sejauh ini, Swiss justru unggul. Mereka menang 11 kali, sedangkan Portugal sembilan kali. Adapun enam laga lainnya berkesudahan imbang.
Skuat Swiss tidak segemerlap Portugal. Pemain-pemain mereka memang masuk juga dalam kategori papan atas. Hanya saja, bukan sebangsa bintang yang kerap mendapatkan porsi berita di media massa. Bintang-bintang yang –katakanlah berlevel– underrated.
Sebutlah seperti Granit Xhaka, Xherdan Shaqiri, Ricardo Rodriguez, Haris Seferovic, atau yang sedikit lebih muda semacam Ruben Vargas, Remo Freuler, atau Breel Embolo.
Namun justru dengan kondisi seperti inilah Swiss jadi solid. Mereka bermain secara kolektif. Sebaliknya Portugal, sebagaimana yang menjadi kecenderungan sejak satu dekade terakhir, masih sangat Ronaldosentris.
Tiap-tiap konsep permainan, rencana demi rencana, selalu dimuarakan pada Ronaldo.
“Inilah bedanya Ronaldo, Messi, dan Neymar. Ronaldo dan Messi itu relatif sama aja. Begitu di Portugal, begitu juga di Argentina. Kalok di Brasil beda. Neymar tidak jadi pusat segalanya. Jadi kalok pun dia mentok, rencana berjalan nggak sesuai rencana, pemain-pemain lain masih bisa bergerak, masih bisa berkreasi untuk jalankan rencana cadangan,” kata Leman Dogol.
“Iya, iya, iya, memang enggak banyak berubah kutengok,” ujar Tok Awang tiba-tiba menimpali. “Dulu memang enggak masalah. Ronaldo masih kuat gendong kawan-kawannya. Sekarang sudah tua dia, nggak kuat lagi.”
Seketika, dari balik steling, melejit suara Ocik Nensi. “Sama, lah, kayak Ayang Beib, ya. Gak kuat lagi ngegendong. Udah lepis, lemah pisik. Sekalinya mau cobak-cobak, langsung kena pinggang.” (t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/spain2.jpg)