Ngototnya Puan Maharani Protes Pencopotan Hakim MK yang Anulir UU Cipta Kerja

Hal itu diungkap Ketua DPR Puan Maharani seusai Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2022/2023 di Kompleks Parlemen

HO
Puan Maharani 

Padahal, keberadaan MK memang untuk menguji konstitusionalitas produk hukum, termasuk produk hukum yang lahir dari DPR sebelum disahkan sebagai UU.

Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul mengatakan Aswanto mengecewakan DPR, padahal Aswanto dipilih DPR.

"Tentu mengecewakan dong. Ya bagaimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," ujar Bambang.

"Dasarnya Anda tidak komitmen. Enggak komit dengan kita. Ya mohon maaflah ketika kita punya hak, dipakailah," imbuh politisi PDI-P tersebut.

Bambang Wuryanto tampaknya salah memahami peran hakim, dimana hakim bertindak independen tanpa tekanan dalam menjalankan putusan.

DPR Kritik mantan hakim MK

Terkait argumen DPR yang mencopot hakim konstitusi Aswanto secara mendadak itu, sejumlah mantan hakim konstitusi pun mendatangi gedung MK akhir pekan lalu.

Salah satu yang hadir adalah mantan hakim konstitusi Jimly Asshiddiqie.

Jimly turut mengkritik dalih DPR mencopot Aswanto itu.

Dia menegaskan, meski DPR memilih hakim konstitusi, bukan berarti hakim itu harus menuruti segala kemauan DPR.

Ia mengingatkan, Undang-Undang MK mengatur bahwa hakim MK hanya "diajukan" oleh DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung.

"Diajukan oleh, jadi bukan diajukan dari, itu selalu saya gambaran. Apa beda oleh dan dari, oleh itu cuma merekrut, jadi bukan dari dalam (internal DPR)," kata Jimly di Gedung MK, Jakarta, Sabtu (1/10/2022).

"Sehingga tidak bisa dipersepsi orang yang dipilih oleh DPR itu orgnya DPR seperti tercermin dalam statement dari Komisi III," ujar Jimly.

Jimly mengakui, sejak pertama kali berdiri, MK memang sudah membuat banyak pihak marah karena membatalkan sejumlah undang-undang.

Namun, ia menegaskan, negara demokrasi yang sejati memang perlu memiliki lembaga seperti MK guna melindungi kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuatan politik untuk membuat undang-undang.

"Di sana (DPR) itu majority rule, di sini (MK) minority rights, ini tempat untuk melindungi minoritas. Minoritas itu bukan hanya agama, etnis, bukan begitu, minoritas kekuatan politik," kata Jimly.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved