Catatan Sepak Bola
Kuburan Massal Kanjuruhan: Suporter Kampungan, Polisi Kurang Pikir, Tragedi Sepak Bola
Dengan kata lain, rusuh pasti, tidak rusuh terbilang keajaiban. Pertanyaannya, seberapa rusuh?
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ilham Fazrir Harahap
TRIBUN-MEDAN.com - Pertandingan Arema kontra Persebaya berkesudahan dengan dugaan yang meleset jauh.
Dugaan apa? Kerusuhan!
Iya, sebagai bebuyutan yang barangkali akan tetap gontok-gontokan sampai kiamat kurang dua hari (hari terakhir menjelang kiamat mereka gunakan untuk berpikir dan menimbang-nimbang apakah di akhirat nanti masih akan melanjutkan seteru atau tidak), kerusuhan adalah keniscayaan.
Dengan kata lain, rusuh pasti, tidak rusuh terbilang keajaiban. Pertanyaannya, seberapa rusuh?
Kita tahu, kerusuhan yang pada akhirnya memang terjadi langsung menempatkan laga ini di posisi dua dalam daftar tragedi sepak bola paling menyesakkan sepanjang sejarah peradaban.
Korban tewas, sejauh ini, telah melewati angka 150 orang --versi warganet (yang mengaku menonton langsung pertandingan itu di Stadion Kanjuruhan Malang) sebagaimana beredar di Twitter sudah mencapai angka 200.
Baca juga: AREMA FC VS PERSEBAYA, Laga Paling Mematikan Kedua Dalam Sejarah Dunia Ratusan Orang Jadi Korban
Hanya kalah dari tragedi kerusuhan pada pertandingan babak kualifikasi Olimpiade antara Peru kontra Argentina di Estadio National, Lima, 24 Mei 1964. Kala itu 328 kehilangan nyawa.
Dua tragedi ini sangat mirip. Dipicu oleh ulah suporter kampungan, suporter-suporter yang meninggalkan otaknya di rumah hingga nyaris selalu gagal untuk menerima apabila timnya mengalami kekalahan, yang kemudian ditangani dengan cara-cara bodoh bin dungu oleh polisi.
Di Lima, tragedi bermula dari masuknya satu orang suporter tuan rumah (garis bawahi: hanya satu orang!) ke lapangan untuk memprotes keputusan wasit. Polisi-polisi yang bertugas mengejar suporter sontoloyo itu, meringkusnya, lalu memukulinya sampai babak belur.
Melihat perlakuan polisi suporter lain marah. Beberapa orang lain ikut masuk, lalu bertambah jadi belasan, lalu puluhan. Wasit menghentikan pertandingan dan seluruh pemain meninggalkan lapangan yang makin hubar-habir.
Polisi membalas serangan hingga membuat suporter kocar-kacir. Mereka yang tak bersenjata, cuma bermodalkan emosi, langsung terkapar dihajar pentungan. Sebagian lari kembali ke tribun. Polisi tidak berhenti. Mereka mengejar ke tribun dan menghajar siapapun.
Baca juga: [FULL] Kapolda Jatim Buka Suara Tragedi di Kanjuruhan, Irjen Pol Nico Afinta: Sudah Sesuai Prosedur!
Kepanikan melanda. Para suporter lari menuju pintu keluar, yang celakanya, di masing-masing sektor hanya ada satu dan berukuran sempit pula. Desak-desakan terjadi. Sebagian jatuh terinjak-injak. Sebagian sesak nafas.
Rumah sakit gagal bertindak cepat karena jumlah pasien begitu banyak, dan masuk nyaris berbarengan, sementara petugas medis dan terutama peralatan tidak memadai.
Di Malang, tindakan polisi (dan petugas keamanan lain) lebih katrok.
Lebih kurang pikir. Selain menggempur suporter-suporter yang masuk lapangan dengan pentungan karet dan rotan, mereka juga menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Iya, gas air mata! Barang yang dilarang FIFA untuk digunakan sebagai alat penanganan kerusuhan di dalam stadion.
Namun mengapa tetap digunakan? Siapa yang memerintahkan?
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Suporter-Arema-FC-bikin-rusuh.jpg)