Berita Kota Medan
Masyarakat Dairi Geruduk Kantor Konsulat Jenderal Tiongkok, Mendesak Hentikan Proyek Pertambangan
Puluhan massa yang tergabung dalam Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) bersama perwakilan warga Dairi
Penulis: Abdan Syakuro |
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Puluhan massa yang tergabung dalam Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) bersama perwakilan warga Dairi menggelar aksi didepan Konsulat Jenderal (Konjen) Tiongkok Jalan Walikota Nomor 9, Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan, Rabu (24/8/2022) siang.
Aksi ini sebagai bentuk solidaritas untuk warga Dairi dimana PT. Dairi Prima Mineral (DPM) berencana membangun tambang bawah tanah untuk mengekstraksi biji seng, timah dan perak secara komersil didaerah pegunungan Sumatera Utara, Indonesia. Seng akan menjadi fokus utama tambang mereka nantinya.
Aksi serentak ini dilakukan dibeberapa titik seperti di Konjen Tiongkok yang ada di Kota Medan, Kantor Kedutaan Besar Rakyat Tiongkok Jakarta, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jakarta, Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Dairi.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta akhirnya memutuskan Sengketa Informasi Publik (SIP) antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) Republik Indonesia (RI) dengan warga Dairi Sumatera Utara yang dilaksanakan secara Electronic Court (E-Court) pada Selasa (5/7/2022) lalu.
Sebelumnya Komisi Informasi Pusat (KIP) dalam Putusan Nomor: 039/VIII/KIP-PS-A-/2019, Kamis (20/1/2022) lalu, telah mengabulkan sengketa informasi yang diajukan warga Dairi dan menyatakan bahwa salinan copy SK Kontrak Karya Hasil Renegosiasi Terbaru 2017 Pertambangan PT. Dairi Prima Mineral (DPM) dan salinan copy SK Kontrak Karya Nomor: 272.K/30/D/DJB/2018 Status Operasi Produksi Terbaru Pertambangan PT. Pertambangan, PT. Dairi Prima Mineral (DPM) merupakan dokumen terbuka.
Koordinator Studi dan Advokasi Bakumsu Juniaty Aritonang menuturkan kedatangan mereka bersama dengan perwakilan warga Dairi ke Konjen Tiongkok ingin menyampaikan hasil laporan Compliance Advisor Ombudsman (CAO) terkait dengan laporan yang sudah dilayangkan warga Dairi sejak tahun 2019.
"Laporan tersebut mengatakan bahwa sebenarnya risiko bencana yang akan terjadi di Kabupaten Dairi itu sangat ekstrem, sangat masif akan terjadi kalo tetap dibangun bendungan tailing yang ada di Lokotan, Lumban Sihite, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara," ujar Juniaty.
Juniaty mengatakan tujuan mereka datang kemari karena ini adalah investasi Cina, penanaman modal asing yang notabene 51 persen sahamnya dimiliki oleh Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. (NFC) sendiri, Konjen Tiongkok adalah perwakilan yang ada di Indonesia.
"Kami datang kesini sebenarnya melihat sebagai Konjen Tiongkok perwakilan yang ada di Indonesia, harus dong mereka mengevaluasi dan melihat investasi yang mereka lakukan di Indonesia. Banyak persoalan yang terjadi sebenarnya di masyarakat Kabupaten Dairi tapi kenapa meraka tutup mata. Karena salah satunya hasil investigasi bahwasanya tidak layak ini dilakukan pertambangan didaerah risiko bencana jadi kami mau menyampaikan itu kepada Konjen Tiongkok," ujar Juniaty.
Ia mengatakan sudah ada kajian terhadap Adendum AMDAL PT. DPM oleh Tenaga Ahli Teknis.
"Nah sebenarnya sebelum ada laporan CAO ini, ada dua ahli independen juga sudah melakukan investigasinya, yang mengatakan hal yang sama, bahwa Kabupaten Dairi bisa terbenam, bisa terjadi risiko bencana yang maha dahsyat kalo bendungan tetap dibangun didaerah tersebut," ujar Juniaty.
Juniaty mengatakan Kabupaten Dairi adalah daerah rawan bencana dan patahan gempa, sehingga memang sangat tidak layak untuk dibangun bendungan tailing.
"Nah kenapa dikatakan juga begitu, karena berdasarkan Adendum 2015 bahkan 2021 yang sudah dilakukan perubahan oleh PT. DPM ternyata tidak ada melakukan semacam riset atau kajian yang mendalam terkait dengan geologi dan penanggulangan bencana," ujar Juniaty.
Ia mengatakan Tenaga Ahli Teknis menemukan bahwa Adendum PT. DPM tidak memperhitungkan risiko ini menurut standar Internasional.
"Nah, itu yang membuat Tenaga Ahli Independen melihat bahwa kalo itu memang betul-betul ada kajian risiko tersebut itu masih bisa diterima dan dilihat tapi ini nyatanya tidak ada. Bagaimana mungkin bendungan tailing itu dibangun disitu kalo sama sekali daerahnya tidak layak untuk dilakukan membangun bendungan tersebut," ujar Juniaty.