Puasa di Negeri Orang
Dua Tahun Jalani Ramadhan di Berlin, Vyola Maldini Rindu Dengar Suara Azan Masjid
Disebutkan Viola, untuk tahun ini durasi puasa lebih sedikit dibandingkan tahun lalu yaitu 15-16 jam lantaran sudah memasuki musim gugur.
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Momen Ramadhan (Ramadan) bersama keluarga begitu dirindukan oleh Vyola Maldini, warga Medan yang harus menjalani Ramadan untuk menyelesaikan studi dalam program Business Informatics di Technische Universität Berlin, Jerman.
Memasuki tahun kedua Ramadan jauh dari keluarga, Vyola bercerita jika dirinya sempat mengalami culture shock saat menjalani Ramadan di lingkungan minoritas muslim.
Selain adanya perbedaan durasi waktu puasa, momen kebersamaan dengan keluarga saat Ramadan harus ia tahan untuk dapat menyelesaikan studinya.
Disebutkan Viola, untuk tahun ini durasi puasa lebih sedikit dibandingkan tahun lalu yaitu 15-16 jam lantaran sudah memasuki musim gugur.
"Tahun lalu pertama kali puasa jauh dari keluarga, ada beberapa hal yang cukup membutuhkan adaptasi, seperti bangun sahur dan masak sendiri, yang dulu nya kalau puasa di rumah, selalu dibantu oleh keluarga saya. Terlebih-lebih juga karena puasa tahun lalu jatuh nya di musim panas, yang berdampak pada durasi puasa yang cukup berbeda jauh dibanding ketika di Indonesia sekitar 17-18 jam," ungkap Viola kepada Tribun Medan.
Tak hanya itu, ia juga begitu rindu mendengar suara azan ketika di Indonesia yang tak dapat ia rasakan ketika di Berlin, Jerman.
"Momen Ramadan di Indonesia yang paling saya rindukan adalah momen saat menunggu seruan azan tanda saatnya untuk berbuka puasa. Ini juga salah satu perbedaan menjalankan puasa Ramadan di Indonesia dan Berlin, kalau di sini suara kumandang azan sayangnya tidak diperbolehkan, jadi kalau mau berbuka harus tau sendiri waktu nya kapan," tuturnya.
Dalam menjalani Ramadan di negeri berjuluk Der Panzer ini, Vyola bercerita jika kota Berlin menjadi kota yang memiliki penduduk muslim terbanyak di Jerman, diantarnya Turki, Iran, Lebanon, Syria.
"Kalau di Berlin sendiri sebenernya yang beragama islam banyak kalau dibandingkan dengan kota-kota lain yang ada di Jerman, karena banyak nya imigran yang berasal dari negara-negara muslim, Turki contoh nya," ujar Vyola.
"Tapi kalau dari pengamatan saya sendiri, sepertinya sih masih banyak warga Jerman yang tidak sadar tentang puasa dan bulan Ramadan itu sendiri, jadi untuk membahas tentang toleransi agak sulit," lanjutnya.
Namun begitu, hal tersebut tak mengurangi nikmatnya menjalani Ramadan bagi Vyola. Bahkan, dirinya begitu semangat untuk menjalani tarawih di masjid yang ternyata dikelola oleh orang Indonesia dengan menempuh menaiki bis.
"Kebetulan kalau mesjid dari tempat tinggal saya Alhamdulillah tidak terlalu jauh, bisa ditempuh pakai bus sekitar 15-20 menit. Sebenarnya di Berlin mesjid ada banyak, tapi mesjid yang dikelola oleh umat muslim dari Indonesia hanya ada satu," tuturnya.
"Alhamdulillah tarawih berjama’ah tahun ini sudah diizinkan lagi, tidak seperti puasa tahun lalu yang masih tidak diperbolehkan, walaupun dengan beberapa syarat seperti harus membawa sajadah sendiri dan menggunakan masker FFP2. Untuk kendala berpuasa, sejauh ini alhamdulillah belum ada," kata Vyola.
Menjalani puasa di Berlin, Vyola juga mengobati rasa rindu dengan ngabuburit memasak menu bukaan, diantaranya takjil bubur sum-sum ataupun menu lainnya.
"kalau ngabuburit biasanya palingan masak untuk berbuka sih kak. Biasa nya kalau sempat dan kepengen hanya yang mudah-mudah aja, contoh nya bubur sum-sum atau gorengan. Makanan khas Jerman saya ga punya sayangnya, kalau bicara tentang makanan di Jerman, ga ada nih makanan yang benar-benar khas," ucapnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Vyola-Maldini-warga-Medan-yang-harus-menjalani-Ramadan.jpg)