Kedai Tok Awang

Menguji Kekuatan Sepasang Gerendel Tua

Italia dan Austria bertemu 35 kali sejak tahun 1912. Italia menang 18, Austria 11. Masalahnya, di 11 laga terakhir Austria tak bisa menang lagi

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
AFP PHOTO/Ettore Ferrari
DUET - Pemain Tim Nasional Italia Giorgio Chiellini (kiri) merayakan gol yang dicetaknya bersama rekan duetnya di jantung pertahanan, Leonardo Bonucci, pada laga melawan Swiss di Stadion Olimpiade Roma, 16 Juni 2021 

  • Euro 2020
  • Italia vs Austria

WALAU merampungkan babak kualifikasi secara meyakinkan, bahkan boleh dibilang sangat meyakinkan: sepuluh kali main sepuluh kali menang dengan selisih gol plus (+) 33, Italia tidak menjadi favorit utama. Para peramal bola masih ragu-ragu menempatkan mereka di jajaran tiga terdepan –bersama Perancis dan Belgia.

Alasannya beragam. Pertama, Italia tak memiliki lawan sepadan di grup kualifikasi. Hanya Yunani yang dinilai "agak" kuat. Paling tidak punya sejarah di kejuaraan ini. Yunani pernah juara –meski dinilai beruntung dan setelah itu terus melorot. Lainnya Finlandia, Bosnia-Herzegovina, Armenia, dan Liechtenstein.

Kedua, Italia datang dengan skuat yang tidak memiliki bintang level premium. Bintang, memang, tetapi rata-rata air belaka. Pendek kata, tak ada superstar yang betul-betul superstar, berbanderol selangit, seperti –katakanlah– Cristiano Ronaldo di Portugal, Paul Pogba dan Kylan Mbappe di Perancis, Eden Hazard di Belgia, atau Harry Kane di Inggris. Kalau pun ada yang bisa dibilang mendekati cuma Gianluigi Donnaruma. Setidaknya dia pernah ramai diperbincangkan saat agen pemain super Mino Raiola menyebutnya diminati sekaligus 11 klub top Eropa, termasuk di antaranya Barcelona, Real Madrid dan Manchester United.

"Ada lagi yang sebenarnya paling bikin orang ragu. Pemain-pemain belakang mereka tua. Terutama bek tengahnya," kata Jontra Polta.

Leonardo Bonucci 34 tahun, Giorgio Chiellini jalan 37. Siapa, memang, yang tak menjadikan perkara usia ini sebagai tolok ukur keraguan. Bahkan bagi para suporter Gli Azzuri –julukan Tim Nasional Italia– mungkin sekaligus jadi alasan kegelisahan. Bagaimana sepasang gerendel tua ini bertahan dari gempuran pemain-pemain muda yang cepat dan ganas di putaran final?

Nyatanya, sampai Italia menuntaskan laga-laga mereka di babak grup; menghadapi Turki, Swiss, dan Wales, soliditas mereka masih terjaga. Pelatih Kepala Italia Roberto Mancini hanya mengistirahatkan Chiellini di laga ketiga kontra Wales. Posisinya digantikan Alesandro Bastoni. Pada paruh kedua, menit 46, dia juga menarik Bonucci, memasukkan Francesco Acerbi. Duet Juventus digantikan duet Inter Milan dan Lazio.Selama 180 menit bersama Chiellini dan Bonucci (total 226 menit jika ditambah duet Bonucci-Bastoni yang dilanjutkan duet Bastoni-Acerbi sampai laga selesai), gawang Italia tetap steril.

"Tujuh gol tanpa kebobolan. Terbaik di antara semua tim di Euro 2020 ini," kata Jontra Polta lagi. "Bahkan Perancis yang paling difavoritkan pun cengap-cengap. Apalagi Inggris dan Spanyol. Cumak Belanda, lah, yang sama paten. Itu pun kebobolan jugak gawang orang itu dua kali."

"Jadi menurut ketua sekarang yang paling pas dipegang Italia dan Belanda?" tanya Leman Dogol seraya mengaduk-aduk kopi yang baru diantarkan Ocik Nensi.

Jontra Polta menggeleng. "Itu terserah kau, Man. Awak cumak kasih gambaran-gambaran, harus netral, enggak boleh awak mengarah-ngarahkan."

"Kalok lawan Austria kayaknya masih tetap boleh, lah, Italia ini, ya, Ketua?" tanya Mak Idam. "Memang pas main lawan Ukraina agak ganas kutengok. Tapi rasanya belum cukup untuk bikin Bonucci dan Chiellini nungap kayak Si Hummels keteteran ngejar-ngejar Mbappe."

Kalimat Mak Idam disambut Zainuddin. "Sebenarnya ada penjelasan yang logis kenapa Bonucci dan Chiellini, setidaknya sampai Italia lawan Swiss, enggak kelihatan terlalu ngos-ngosan. Kuncinya di Mancini. Persisnya, strategi Mancini yang menurut saya pas dalam meramu Cattenacio dengan sepak bola cepat yang dibawanya dari Inggris," katanya. Zainuddin sedang bermain catur dengan Wak Razoki. Pertandingan mereka ditonton Sudung dan Ane Selwa –tentu saja selain menonton, sesekali, mereka memberikan usulan langkah kepada keduanya.

"Setuju, Pak Guru," ucap Ane Selwa menyambung. "Italia tetap ada Cattenacio-nya. Enggak hilang, tapi gaya main Bonucci dan Chiellini beda dari gaya Baresi dan Costacurta."

Cattenacio "ramuan" khas sepak bola Italia --walau pada dasarnya justru lahir Austria. Sistem pertahanan gerendel yang dibentuk oleh lima bek: bek kanan dan kiri bersama tiga bek tengah. Seorang di antara bek tengah ini berdiri lebih ke belakang, berperan sebagai "orang bebas"; libero, menyapu bola yang lepas dari dua bek tengah di depannya.

Perombakan Cattenacio dimulai di AC Milan pada pertengahan 1980-an. Lima bek dalam formasi 5-3-2 digeser menjadi 4-4-2. Posisi libero, meski tetap ada, menjadi lebih samar. Dan pelan tapi pasti, "revolusi" ini memperoleh hasil dengan kejayaan kuartet bek yang kemudian sohor disebut The Greatest Back Four: Mauro Tassotti, Franco Baressi, Alesandro Costacurta, dan Paolo Maldini. Bersama mereka, Milan hampir-hampir tidak terkalahkan.

"Sekarang ini, kan, apa-apa disebut dream team. Kalau bagi saya, yang pantas disebut dream team itu, ya, cuma dua. Tim basket Amerika Serikat di Olimpiade Barcelona, dan AC Milan ini. Skuat tahun 1988 sampai 1990," kata Wak Razoki seraya melangkahkan gajah putih yang dipegangnya ke sektor kosong di sisi kiri pertahanan Tok Awang. Langkah yang potensial mengancam sekaligus benteng dan menteri hitam.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved