Ternyata Ada 120 Ribu Hektare Tanah Terlantar, Kementerian ATR/BPN: Banyak Juga Permasalahannya
juga ada tanah tidak berfungsi, seperti HGU yang dibiarkan lama. Ini juga nantinya dilakukan penertiban oleh negara dan selanjutnya direstribusi ke ma
TRIBUN-MEDAN.com - Ternyata ada sekitar 120.000 hektare tanah terlantar di Indonesia. Dari jumlah seluas itu, tanah terlantar juga dimanfaatkan untuk reforma agraria.
Demikian disampaikan Sekretaris Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN M Shafik Ananta, Rabu (9/6/2021).
"Tetapi banyak dimanfaatkan untuk reforma dan sebagainya. Karena tanah terlantar banyak juga permasalahan di dalamnya," kata Shafik saat hadir mensosialisasikan Peraturan Pelaksana dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Medan.
Lebih lanjut, Shafik menjelaskan, Kementerian ATR/BPN masih punya stok tanah terlantar dari database yang dimiliki sekitar 950.000 hektare.
"Kondisi tanah terlantar ini terbanyak ada di luar Pulau Jawa. Saya kurang ingat persisnya ada di mana saja," katanya.
Shafik tak memungkiri ada konflik soal tanah terlantar di Sumatera Utara. Katanya, ada perubahan aturan terhadap masalah ini.
"Di dalam PP 20 Tahun 2021 juga ada aturan tentang tanah terlantar. Tanah hak milik yang terlantar selama 20 tahun juga menjadi obyek. Walaupun nanti penertibannya bisa dilakukan kemudian," katanya.
Selain tanah terlantar, imbuh Shafik, juga ada tanah tidak berfungsi, seperti HGU yang dibiarkan lama. Ini juga nantinya dilakukan penertiban oleh negara dan selanjutnya diredistribusi ke masyarakat.
"Juga salah satu cara untuk menyelesaikan masalah yang bersentuhan dengan masyarakat. Mudah-mudahan peraturan ini bisa memperbaiki masalah konflik pertanahan di Indonesia.
Adapun tujuan disosialisasikan terbitnya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertujuan mempermudah perizinan menjadi lebih singkat.
"Termasuk mempermudah UMKM, sehingga dengan peraturan ini memberikan kemudahan-kemudahan luar biasa bagi masyarakat," ujarnya.
Shafik menambahkan, pihaknya merasa perlu menyusun Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NPSK) bidang pengendalian dan penertiban tanah dan ruang untuk disebarluaskan ke masyarakat.
Katanya, seluruh stakeholder di 34 provinsi yang terbagi dalam 10 klaster, dan Provinsi Sumatera Utara menjadi klaster pertama bersama Aceh dan Sumatera Barat.
"Harapan kami melalui kegiatan sosialiasi ini para stakeholder dapat semakin aktif dalam mewujudkan kualitas ruang dan tanah yang terjaga demi kesejahteraan umum dan berkeadilan sosial," ujarnya.
Masalah Batas Wilayah
Masalah batas wilayah di Sumatera Utara agaknya belum juga bisa diselesaikan, terutama batas wilayah Kabupaten Deliserdang dan Kota Medan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/b64e44d5-485f-4874-8566-07ff0d345044.jpg)