Kedai Tok Awang

Generasi Emas Kedua Les Bleus

Didier Deschamps berpeluang memenangi Piala Dunia dan Piala Eropa baik sebagai pemain dan pelatih pada dua edisi yang berdekatan.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
www.nicematin.com
www.nicematin.com PELATIH Tim Nasional Perancis, Didier Deschamps 

TAHUN 1998, tatkala menjadi tuan rumah Piala Dunia, Perancis sudah sangat siap. Terlepas dari mencuatnya selentingan tak sedap belakangan hari yang menyebut ada "sedikit" kongkalikong yang menguntungkan mereka, secara teknis kualitas Les Bleus –julukan tim nasional Perancis– memang berada di atas rata-rata kontestan lain. Boleh dikata, hanya tim nasional Brasil yang punya kualitas setara –dan kenyataannya kedua negara memang bersua di laga puncak.

Piala Dunia 1998 menjadi momentum pemanenan. Dua tahun sebelumnya, Euro 1996 di Inggris, mereka datang dengan skuat yang masih mengkal; sudah tidak mentah tapi belum sampai pada tahap matang.

Christophe Dugarry, Lilian Thuram, dan Fabien Barthez 24 tahun, Zinedine Zidane 23. Dua tahun berselang keempatnya tetap berada dalam skuat. Seiring itu, pelatih Aime Jacquet juga memberi tempat kepada sejumlah pemain muda bertalenta menakjubkan. Ada Thierry Henry dan David Trezeguet yang masih berusia 20, serta Patrick Vieira yang hanya setahun lebih tua.

Kombinasi pemain muda dan pemain usia emas ini disempurnakan dengan keberadaan para senior kenyang pengalaman: Laurent Blanc (32), Frank Leboeuf, Youri Djorkaeff (30), Didier Deschamps (29), dan Marcel Desailly (29).

"Di Euro 1996 Perancis cumak sampai semi final, tapi di kandang sendiri mereka menggila. Bukan sekadar lolos ke final. Mereka ke final dengan sangat bergaya," kata Pak Udo. Sejak terdeteksi terpapar Covid-19 yang membuatnya harus mengisolasi diri dan menutup sementara warung ayam bakar miliknya, baru kali ini Pak Udo bertandang ke Kedai Tok Awang. Setelah sembuh awak perlu datang ke sini untuk cari inspirasi, bilangnya pada Tok Awang, Ocik Nensi, Lek Tuman, Pak Guru Zainuddin, dan Leman Dogol.

Kehadiran Pak Udo awalnya membuat mereka bercakap-cakap seputar pandemi. Bagaimana pengalaman sakit Pak Udo dan bagaimana penanganan medis yang diterimanya. Lalu, percakapan merambat ke persoalan-persoalan lain. Mulai dari persekongkolan oknum-oknum culas di pemerintahan, teori-teori konspirasi yang melibatkan China, Rusia, Amerika dan alien dari Neptunus, sampai siapa calon presiden yang paling potensial memenangkan Pemilu 2024.

Ngalor-ngidul baru putus setelah Jontra Polta datang dan tanpa basa-basi bilang bahwa dirinya telah membuka bursa untuk Euro 2020. Jon menempatkan Perancis di posisi teratas. Pak Udo, Pak Guru Zainuddin, Lek Tuman, dan Leman Dogol sepakat.

"Saya kira Perancis sekarang sedikit banyak mirip Perancis di 1998. Boleh dikata ini generasi emas juga," kata Pak Guru.

"Mereka merata di semua lini. Dari bawah mistar gawang sampai ke depan sama solidnya," ucap Leman Dogol pula.

Didier Deschamps yang menjadi kapten di Euro 1996 dan Piala Dunia 1998 sejak 2012 didapuk sebagai bos Les Bleus menggantikan Blanc. Sejauh ini, ia telah menandai jejaknya dengan tinta emas dan berpeluang pula mencetak sejarah luar biasa. Sejarah yang barangkali akan sulit diulang oleh siapa pun di era sepak bola modern.

Iya, Deschamps membawa Perancis menjuarai Piala Dunia di tahun 2018. Ia berpeluang mencatatkan namanya sebagai satu-satunya orang yang berhasil memenangi Piala Dunia dan Piala Eropa sebagai pemain dan pelatih pada dua edisi yang berdekatan. Setelah memimpin Perancis di Piala Dunia 1998, ban kapten masih melekat di lengan Deschamps kala mereka menuntaskan Euro 2000 sebagai kampiun.

"Kurasa memang lumayan besar peluangnya. Kecuali kalok konsentrasi mereka buyar, lah, baru bisa rusak orang itu. Kayak di tahun 2002," ujar Lek Tuman.

Jontra Poltra menggeleng. "Beda kondisinya, Pak Kep. Pas 2002 itu, Zidane cedera. Padahal, roh permainan ada sama dia. Lebih parah di tahun 2010, Piala Dunia, kalok kelen ingat. Pelatih Raymond Domenech diboikot sama pemain-pemain senior. Jadi sedari awal memang tak solid dan tak sehat. Beda kali sama sekarang. Enggak ada riak-riak internal. Terlepas dari pilihan strateginya, sejauh ini Deschamps bisa menunjukkan wibawanya. Pemain segan sama dia. Kagum juga. Ini penting. Kalok pelatih sudah dipandang sepele, sehebat apapun dia jadi enggak ada guna. Kayak Mourinho, lah, contohnya. Di mana-mana melatih betakal terus sama pemain. Akibatnya, pemain jadi enggak sepenuh hati lagi. Enggak percaya diri lagi. Di Perancis sekarang, pemain selalu all out dan sangat percaya diri."

"Nah, ini berbahaya juga, Jon," sergah Pak Udo. "Terlalu percaya diri, over confidence, bisa jadi bumerang. Sudah banyak contohnya. Brasil di Piala Dunia 2014, contohnya. Percaya diri kali orang itu bisa melewati Jerman dan jadi juara. Akhirnya kena libas 7-1."

Jontra Polta menggeleng lagi. "Enggak bisa disamakan, Pak Udo. Brasil di tahun 2014 itu memang kelihatannya mentereng dan solid. Padahal enggak. Mereka sebenarnya sama kayak Argentina di Piala Dunia 1986 dan 1990. Argentina yang kelewat mengandalkan Maradona. Di Brasil, sosok itu, ya, Si Neymar. Maradona enggak tersentuh di Meksiko, dan Argentina juara, tapi di Italia 1990 rahasianya sudah ketahuan. Dia enggak bisa mengulang keajaibannya. Nah, Neymar berpeluang seperti Maradona di Meksiko. Sayangnya dia cedera. Brasil kehilangan roh. Apalagi, di saat yang sama, Thiago Silva juga enggak ada. Ya, sudah, makin keropos, lah, orang itu," katanya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved