KontraS Kecam Tindakan Semena-mena Polisi Terhadap Demonstran di Medan
"Padahal sama sekali belum melakukan pelanggaran hukum. Cara demikian sama saja artinya dengan upaya pembungkaman gerakan rakyat," bebernya.
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Peringatan Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei kemarin, di Kota Medan diwarnai aksi unjuk rasa.
Dalam aksi Mayday tersebut, tidak hanya menuntut hak buruh, momentum ini juga dijadikan ajang untuk menolak UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Pada aksi MayDay tersebut, sebanyak 14 mahasiswa yang merupakan peserta aksi ditangkap pihak kepolisian.
KontraS Sumut yang menyikapi hal tersebut, memberikan catatan kritis terhadap cara pengendalian massa yang dilakukan oleh Kepolisian.
Staf Advokasi KontraS Sumut Ali Isnandar mengatakan, dari dua titik aksi demonstrasi yakni oleh Aliansi
Kemarahan Buruh dan Rakyat Sumatera Utara (Akbar Sumut) maupun oleh Rakyat Melawan Hancurkan Tirani (Rame Huni), pengendalian massa oleh kepolisan masih menggunakan cara yang jauh dari spirit Hak Asasi Manusia.
Lanjutnya, sorotan terhadap praktek penangkapan dengan dalih pengamanan yang dilakukan kepolisian terhadap massa aksi, karena penangkapan dianggapmenjadi cara ampuh untuk membubarkan aksi demonstrasi yang sesungguhnya dilindungi oleh undang-undang.
"Dengan kata lain, tangkap dulu, aksi bubar, baru periksa massa aksi dan cari celah hukumnya. Kita amati, pola-pola seperti ini makin populer dilakukan kepolisian sejak dua tahun terakhir," sebutnya, Selasa (4/5/2021).
Masih dikatakan Ali, pola tersebut kembali terlihat pada proses penangkapan 14 orang mahasiswa yang tergabung dalam Rame Huni.
"Saat sedang longmarch, seorang massa aksi yang sedang mengikat sepatu ditangkap oleh kepolisian. Sehingga kejadian itu memancing respon massa aksi lain untuk menyelamatkan rekannya," katanya.
Lanjut Ali 14 orang ikut diamankan. Mereka ditangkap dengan maksud pengamanan.
"Padahal sama sekali belum melakukan pelanggaran hukum. Cara demikian sama saja artinya dengan upaya pembungkaman gerakan rakyat," bebernya.
Sekalipun kepolisian punya aturan internal semacam Perkap 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan, Perkap 8 Tahun 2009 tentang Prinsip dan Standar Implementasi HAM dalam kerja-kerja kepolisian, lanjut Ali, hingga Perkap 16 Tahun 2006 Tentang Pengendalian Massa, tetap saja dilapangan prakteknya masih jauh dari harapan.
"Model pengamanan semacam itu diperparah dengan penggunaan kekuatan berlebihan. Dari keterangan yang kami himpun, 2 orang massa aksi dilepaskan dengan kondisi luka, diduga kuat mendapat praktek kekerasan. Ini kan keterlaluan," ucapnya.
Oleh karena itu, terkait dugaan kekerasan, Ali mendorong para korban untuk segera melaporkan hal tersebut.
Lanjutnya, secara kelembagaan, KontraS maupun organisasi masyarakat sipil lain siap mendampingi para korban kekerasan untuk mencari keadilan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/akumulasi-kemarahan-buruh-dan-rakyat-akbar-sumut-orasi.jpg)