NASIB India Kini, Sudah Diterjang Tsunami Covid-19, Malah Wilayahnya di Timur Ladakh Dikuasai China

Sementara pasukan India dan Tiongkok telah mudur dari sektor Pangong Tso pada bulan Februari lalu dan telah menciptakan kedamaian.

Editor: AbdiTumanggor
Kolase Tribun-Medan.com/ISTIMEWA
India babak belur dihantam tsunami covid-19 (kiri). Sementara militer Tiongkok tengah memperkuat kembali di perbatasan wilayahnya dengan India. 

Namun mengingat populasinya yang besar, angka penyelesaian vaksinasi satu dosis (8%) masih relatif rendah dan tidak dapat mencegah penyebaran virus dari satu tempat ke tempat lain.

Pada bulan Maret tahun ini, India menghapus perintah pengecualian sosial dan tindakan pencegahan lainnya.

Banyak festival tradisional dan pertemuan politik diadakan.

Menurut Zhang, New Delhi tidak memiliki tekad untuk memperburuk situasi.

Menurutnya, hanya tindakan medis yang ketat dan kebijakan drastis, dengan kerja sama masyarakat, yang dapat membantu India mengatasi krisis medis saat ini.

Hingga kini, negara sahabat India yang sudah memberikan dukungan bantuan adalah Inggris. 

Inggris telah mengirim peralatan medis dan para dokternya. SELANJUTNYA Baca juga: Kondisi Terkini di India, Mengerikan Seperti Perang, Tangisan Dokter Tak Sanggup Menghadapi Covid-19

Sumber Tautan Artikel Intisari:Pernah Alami Kondisi Karut-Marut Akibat Covid-19 Seperti di India, Pakar China Ini Angkat Suara Soroti Kondisi di India dan Berikan Saran Ini Jika Mau Kasusnya Cepat Selesai

Walaupun sudah dibeberkan WHO, namun hingga saat ini asal-usul virus Corona masih menjadi perdebatan.

Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melakukan penyelidikan selama setahun asal-usul virus Corona sejak wabah Covid-19 merebak pertama kali.

Penyidikan itu menyimpulkan virus kemungkinan besar muncul dari hewan seperti kelelawar.

Pakar yakin jika hewan menularkan virus itu ke inang perantara, seperti cerpelai, trenggiling, musang atau anjing rakun, yang kemudian menularkannya ke manusia.

Penyidikan juga temukan Covid-19 sudah menyebar berhari-hari sebelum muncul di Pasar Seafood Huanan di Wuhan, tapi kondisi gang indoor yang ramai membuat virus mudah menyebar.

Melansir Express, pemerintah China rupanya sadar akan itu.

Hal itu disampaikan oleh anggota senior Pusat Studi Strategi Internasional Richard McGregor pada kesempatan acara Four Corner berjudul 'Secrets behind Coronavirus'.

Ia mengatakan: "titik kuncinya dalam laga ini adalah mereka kehilangan 2 minggu, mungkin 3 minggu, ketika virus di titik baru lahir, saat mereka masih bisa melacaknya dan seharusnya virus 'diberangus saat itu.

"Saat sekelompok dokter memulai membagikan informasi yang mereka miliki tentang virus baru aneh di WeChat, mereka melakukan apa yang diharapkan oleh orang-orang dilakukan profesional.

"Namun tentu saja, ada hal berbahaya yang dilakukan di China.

"Kurasa ada sedikit keraguan jika pejabat lokal di Wuhan memang menahan informasi, para dokter yang membicarakannya diminta secara langsung untuk tetap diam."

Kondisi Kota Wuhan 2020 lalu sebelum pandemi global
Kondisi Kota Wuhan 2020 lalu sebelum pandemi global (AFP/HECTOR RETAMAL)

China rupanya dilaporkan menangkap siapapun "penyebar rumor" secara online.

Termasuk di antaranya adalah Li Wenliang, yang pertama kali menyerukan peringatan ke mantan-mantan teman sekelasnya dalam grup WeChat pribadi.

Mantan pengajar politik di Tsinghua University, Dr Wu Qiang, mengatakan kepada penyidik jika Partai Komunis China sadar akan situasi itu dan pilih diam.

Ia mengatakan: "aku tidak punya keraguan jika pemerintah lokal melaporkan situasi itu ke pemerintah pusat.

"Sehingga pemerintah lokal tidak bertanggung jawab kepada warga saat itu.

"Namun pemerintah pusat mengadopsi kebijakan menyembunyikan kebenaran dari publik, memulai untuk mengendalikan epidemi secara internal.

"Kontradiksi ini mencegah mereka untuk menangani penyebaran epidemi dengan benar.

"Meskipun pengendalian internal dilakukan, informasi hilang dari mata publik menyebabkan wabah menyebar cepat."

Wu mengklaim ia tidak sendirian dan ada pemberontakan yang tumbuh di negara tersebut.

Ia tambahkan di tahun 2020: "lebih dari 900 juta warga China, yang memiliki ponsel, telah sangat tidak puas dengan virus di bulan lalu.

"Dari pengamatanku sendiri, tingkat ketidakpuasan ini meningkat dalam 80 tahun terakhir.

"Mereka tidak puas dengan ketidakefektidan pemerintah lokal menangani pandemi dan bantuan bencana yang dilihat orang-orang Wuhan dari penguncian kota, kelumpuhan intitusi medis setempat, dan risiko besar yang mereka hadapi.

Pada 11 Februari 2020, dokter Li meninggal dunia setelah terjangkit virus Corona.

Polisi Wuhan meminta maaf secara resmi kepada keluarga yang kehilangan atas "ketidakmampuan penanganan situasi" dan menarik surat teguran bagi yang menyebarkan rumor.

Namun Dr Wu mengklaim situasi itu mengejutkan warga China, yang kini menuntut pemimpin mereka.

Ia menambahkan: "intelek publik dan publik sama-sama sadar jika Dr Li mewakili hati nurani China.

"Ia ditekan dari awal karena mengatakan kebenaran dan dapat menyelamatkan nyawa puluhan ribu orang.

Namun ini semua disembunyikan karena tekanan otoritas atas kebebasan berpendapat.

"Aku yakin publik mengekspresikan ketidakpuasannya dengan pemerintah lewat berduka atasnya."

Video: Laboratorium di Wuhan Menjaga 1.500 Virus Paling Mematikan

Tanggapan Pakar Tiongkok Ini Pertama Kali Muncul Sejak Terjadinya Perang Antara India vs China di Perbatasan Himalaya

Sebelumnya, terjadi konflik China vs India di perbatasan Himalaya.

Bahakan, saat itu Pasukan China dituding menggunakan senjata gelombang mikro untuk "memasak tentara India hidup-hidup" dalam konflik tersebut.

Pakar studi internasional Jin Canrong menyatakan, senjata elektromagnetik itu bakal membakar daging musuh, memanaskan puncak gunung, hingga membuat musuh muntah.

Jin menerangkan, senjata itu memanaskan molekul air dengan cara seperti peralatan dapur dan menargetkan air di bawah kulit.

Dengan cara itu, dia meningkatkan rasa sakit yang bakal diderita target, dengan penggunaannya bisa dilakukan dari jarak hampir satu kilometer.

Jin kemudian memuji pasukan China yang "secara cantik" menggunakan gelombang mikro untuk mengalahkan India, tanpa harus melanggar penggunaan senjata.

The Times memberitakan, senjata itu ditempatkan pada akhir Agustus, beberapa pekan setelah militer dua negara terlibat baku pukul di Ladakh.

Insiden yang menewaskan 20 orang tentara India itu nyaris membuat dua negara terlibat perang lagi, setelah yang terjadi terjadi 53 tahun silam.

Kepada para mahasiswanya di Beijing, Jin mengatakan 15 menit setelah senjata elektromagnetik itu ditempatkan, musuhnya langsung sakit dan muntah.

"Mereka tidak bisa berdiri, jadi mereka memilih melarikan diri. Itulah cara kita berhasil merebut wilayah mereka," koar Jin.

Dia melanjutkan dikutip Daily Mail Selasa (17/11/2020) lalu, Beijing menggunakannya karena mereka dihadapkan pada pasukan khusus asal Tibet yang berpihak ke India.

Senjata api dilarang berdasarkan perjanjian, meski pada September sempat ada tembakan peringatan di mana kedua kubu saling menyalahkan.

Sementara AS juga mengembangkan senjata itu, "Negeri Panda" diyakini menjadi negara pertama yang mengarahkannya ke musuh secara langsung.

Dikenal sebagai WB-1, senjata itu pertama kali dipamerkan pada 2014, dan diyakini dikerahkan untuk menyokong angkatan laut China.

Terdapat dugaan bahwa senjata itu dipakai untuk menyerang diplomat AS di China dan Kuba, dalam serangkaian insiden pada 2016. Adapun "sinar laser" AS, dikenal sebagai Sistem Pengusir Aktif, muncul pada 2007 dan ditaruh di Afghanistan.

Namun tak pernah dipakai melawan musuh. Klaim yang dipaparkan Jin muncul di tengah upaya China dan "Negeri Bollywood" meredakan ketegangan di wilayah sengketa di Ladakh.

Dua negara pemilik senjata nuklir tersebut mengerahkan ribuan personel sejak baku pukul menggunakan peralatan ala abad pertengahan terjadi pada Juni. 

Baca juga: Dokter di India: Epidemi Covid-19 Sangat Mengerikan, India Bisa Menjadi Neraka

Baca juga: KACAU Kondisi di India Akibat Covid-19, Ambulans Bobrok Digunakan, Jenazah Pasien Covid-19 Pun Jatuh

Mengejutkan, Negara-negara di Asia Tenggara yang Bersitegang dengan China di Laut Selatan, Juga Sudah Mulai Terancam Seperti India Diserang Covid-19 Gelombang Kedua

Selain Kasus Covid-19 di India yang cukup memperihatinkan, hingga membuat banyak negara di dunia khawatir jika menyebar.

Yang mengejutkannya, negara-negara di Asia Tenggara juga baru mengalami lonjakan kasus Covid-19 seperti yang terjadi di Filipina.

Dilaporkan bahwa banyak pasien sudah mulai melakukan antrian di koridor, sehingga dikhawatirkan jika ini terus berlanjut, Filipina bisa berakhir seperti India.

Tak hanya Filipina saja, negara Asia Tenggara lain ada yang dilaporkan juga mengalami lonjakan cukup tajam seperti Kamboja.

Menurut 24h.com.vn, pada Jumat (30/4/21), semakin banyak wilayah di ibu kota Phnom Penh, yang dinyatakan sebagai zona merah.

Bahkan kekhawatiran ini membuat orang-orang cemas, tentang konsumsi makanan yang tidak mencukupi sampai pandemi Covid-19 mereda.

Laksamana Phnom Penh Khuong Sreng menandatangani pada 28 April instruksi untuk menghentikan semua bisnis.

Termasuk penjualan makanan, di "zona merah" untuk memperlambat penyebaran virus.

Kementerian Perdagangan Kamboja telah meluncurkan pasar online melalui situs web shop.moc.gov.kh, mengirimkan 8 truk makanan keliling dengan Green Trade Company.

Juga mendirikan 25 kios makanan di 11 lokasi zona merah. Tujuannya untuk memastikan pasokan kebutuhan pokok komoditas seperti mie instan, nasi, ikan kaleng, kecap ikan dan kecap.

Seorang penduduk di "zona merah" yang terdampak oleh Covid-1 pada 29 April mengatakan kepada Khmer Times bahwa beberapa bisnis makanan masih "sembunyi-sembunyi".

Ia menambahkan, ia mulai kesulitan membeli susu, salah satu kebutuhan pokok untuk bayinya yang berusia 1 tahun.

Sementara sebagian besar bisnis tutup dan perjalanan terbatas, wanita tanpa nama dan suaminya tidak memiliki uang tunai lagi karena mereka tidak dapat mengakses ATM untuk menarik uang.

Khususnya, bahkan dalam blokade, Kamboja masih mencatat peningkatan jumlah penularan.

Sejauh ini, negara tersebut telah melaporkan total 92 kematian dan 12.641 infeksi, di mana 880 terjadi pada 29 April, rekor peningkatan setelah 24 jam.

Selain di Kamboja lonjakan juga terjadi di sejumlah negara di Asia Tenggara.

Misalnya, di Indonesia Jumat (30/4/2021) mengumumkan 5.833 infeksi baru dan 218 kematian, dengan total lebih dari 1,6 juta dan 45.334 kasus.

Di hari yang sama, Laos mencatat 68 kasus lagi, naik total 672 kasus, di antaranya tidak ada kematian.

Di Malaysia, jumlah orang yang terinfeksi dan tewas oleh Covid-19 meningkat menjadi total 404.925 dan 11.492 orang, termasuk 3.332 infeksi baru dan 15 kematian pada 29 April.

Di hari yang sama, Myanmar mengumumkan 10 kasus baru dengan total 142.800 kasus. Negara tersebut sejauh ini mencatat 3.209 kematian.

Dengan 8.275 kasus dan 114 kematian baru diumumkan pada 29 April, Filipina memiliki lebih dari 1 juta infeksi dan 17.145 kematian hingga saat ini.

Angka di Thailand masing-masing adalah 63.570 dan 188, termasuk 1.871 kasus dan 10 kematian yang diumumkan pada 29 April.

(*/tribun-medan.com)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "China Dituding Pakai Senjata Gelombang Mikro untuk "Masak Pasukan India Hidup-hidup"",

Artikel sebagian telah tayang di Intisari:

Berjudul: Orang Dalam Bocorkan Situasi Asli di China, Banyak Orang Tak Percaya dengan Pemerintah China, Karena Terbukti Sembunyikan Kebenaran Soal Covid-19 Ini Dari Warga Negaranya dan Dunia 

Berjudul: Ada Kesempatan dalam Kesempitan, Sadar India Babak Belur Dihajar Covid-19, Militer China Malah Manfaatkan Situasi Ini Untuk Kuasai Wilayah yang Sudah Lama Disengketakan Ini

Berjudul: Tak Hanya Filipina yang Terancam Seperti India, Negara Asia Tenggara Ini Juga dalam Kondisi Mengkhawatirkan Akibat Pandemi Covid-19, Ratusan Orang Terinfeksi dalam 24 Jam

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved