Surat untuk Bobby Nasution, Wali Kota Medan
Anda memenangkan pemilihan, tetapi lapisan demi lapisan yang kemudian secara cepat terbentuk di sekitar Anda, telah membuat Anda berjarak dari rakyat.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Pak Wali,
Ada satu cerita yang pernah saya dengar –dan kemudian saya baca– waktu masih SD dulu. Siapa tahu Anda pernah mendengar atau membacanya juga. Cerita ini tentang Nasruddin Affandi, seorang mullah; cerdik pandai dan pemuka agama [orang terpandang], yang setelah datang susah payah ke istana menemui Sultan Timurlenk justru minta diberi hukuman.
Disebut dalam cerita bahwa sesungguhnya Sultan adalah pemimpin bijaksana yang peduli dan cinta pada rakyat. Ia ingin rakyatnya hidup makmur, sejahtera, dan berbahagia. Ia tidak ingin mendengar ada rakyatnya yang menangis karena kelaparan atau menahan sakit lantaran tak mampu pergi berobat.
Namun sayang seribu kali sayang, niat mulia Sultan terkerangkeng oleh lingkungannya sendiri. Orang-orang di sekitarnya. Lapisan-lapisan birokrasinya. Mulai dari orang-orang yang benar-benar penting, setengah penting, tidak terlalu penting, sampai kepada orang-orang yang sama sekali tak penting tapi justru sok merasa paling penting.
Orang-orang ini sebegitu rupa merancang dan menciptakan sekat-sekat yang membuat Sultan benar-benar menjadi seorang sultan. Sosok eksklusif, tinggi, mulia, dan tak tersentuh.
Satu ambiguitas yang mengenaskan. Di satu sisi Sultan ingin dekat dengan rakyat, di sisi yang lain, pada saat bersamaan, malah makin terjauhkan.
Paling mengenaskan, Sultan tidak sadar betapa antara dirinya dan rakyat memang sudah ada bentangan jarak. Rakyat yang awalnya cinta berubah jadi tak suka. Rakyat yang sejak mula memang tidak suka atas satu dua sebab perkara bertambah dalam membencinya.
Nasruddin Affandi (sering juga disebut Nasruddin Hoja atau Nasreddin Hoca) melihat Sultan masih bisa diselamatkan. Maka dia pun datang ke istana, dan seperti sudah ia duga, upayanya menemui Sultan memang tidak mudah. Dia harus melewati lapisan demi lapisan birokrasi yang membentangkan jaraknya dengan Sultan. Mulai dari orang-orang yang sama sekali tidak penting tapi sok merasa paling penting, orang-orang yang tidak terlalu penting, orang-orang setengah penting sampai kepada orang-orang yang benar-benar penting.
Nasruddin geleng-geleng kepala. Bahkan dirinya yang seorang mullah saja mesti bersusah payah begini rupa untuk bisa menemui Sultan. Bagaimana rakyat, orang-orang biasa yang tidak punya embel-embel apa-apa?
Pak Wali,
Jika Anda pernah mendengar atau membaca kisah ini, maka tentu Anda tahu bagaimana akhirnya. Agar dapat menemui Sultan, Nasruddin mengelabui semua orang di lapisan birokrasi yang ditemuinya. Dia bilang, dirinya datang untuk menagih perkataan Sultan yang pernah menjanjikan memberinya hadiah. Pada semua orang di lapisan-lapisan tersebut, Nasrudin mengatakan jika Sultan menunaikan janjinya, maka ia berjanji pula memberi mereka bagian masing-masing 10 persen.
Singkat cerita, Nasruddin sampai di hadapan Sultan dan tanpa basa-basi menagih janji. Sultan meluluskan, dan balik bertanya, gerangan hadiah apa yang diinginkannya. Nasruddin meminta hukuman 1000 kali cambukan.
Sultan awalnya heran, tetapi akhirnya paham setelah Nasruddin menyerahkan daftar panjang penerima 10 persen dari hadiahnya.
Demikianlah cerita itu, Pak Wali. Saya bukan Nasruddin Affandi dan saya tidak akan minta hukuman 1000 kali cambukan kepada Anda. Saya cuma ingin memberitahu, siapa tahu Anda sebenar-benarnya memang belum tahu, betapa sebagai wali kota, Anda saat ini terposisikan kurang lebih mirip dengan sultan dalam cerita tadi.
Kita pernah berbincang-bincang berapa kali sebelum Anda bertarung dalam satu pemilihan tampuk pimpinan kota yang serba panas tempo hari. Dan Anda sangat lepas. Santai; mengobrol seru, tertawa-tawa. Sikap khas anak muda. Waktu itu Anda masih belum menjadi siapa-siapa kecuali menantu presiden, tidak berpengalaman dalam politik, dan hampir semua orang mencibir Anda sekedar melakukan aji mumpung.
Namun dari perbincangan-perbincangan itu, saya tahu Anda tidaklah kosong seperti dicurigai banyak orang. Sama sekali tidak. Anda punya banyak gagasan, punya pemikiran-pemikiran bagus (dan masuk akal), untuk memajukan kota ini. Seperti sang sultan dalam cerita tadi, Anda juga ingin rakyat kota ini makmur, sejahtera, dan berbahagia. Anda tidak ingin ada rakyat yang menangis karena lapar atau menahan sakit lantaran tak mampu pergi berobat.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/bobby-2.jpg)