LEGENDA Raja All England dari Indonesia, Rudy Hartono Sang Jawara Delapan Kali di Ajang Prestisius
Untuk All England sendiri, ia menjadi juara sebanyak 8 kali. Hebatnya, 7 di antara 8 juara itu diraihnya secara berturut-turut.
“Saya fokus pada satu turnamen tingkat dunia yang bakal dikenang,” tuturnya.
Apalagi ia sadar, usia emas seorang atlet bulutangkis rata-rata berkisar sepuluh tahun, sehingga ia harus merebut gelar juara sedari muda agar bisa tercatat dalam sejarah. Tekad itulah yang membuatnya mampu mengalahkan Tan Aik Huan (Malaysia) di final tunggal putra dengan 15-12 dan 15-9.
Sejak itu, gelar juara Tunggal Putra All England seolah menjadi milik Rudy, dengan keberhasilannya di tahun 1968, 1969, 1970, 1971, 1972, 1973, 1974, dan 1976. Tahun 1975, Rudy kalah dari Svend Pri (Denmark), serta tahun 1978 kalah dari juniornya di Pelatnya, Liem Swie King.
Kalau mau dirunut, Rudy merupakan satu-satunya pemain yang selalu tampil di final All England selama sepuluh tahun (kecuali 1977).
Membangun mental juara
Sebagai anak kecil, wajar jika Rudy sesekali merasa jenuh dengan rutinitas latihan fisik yang dijalani setiap pagi. Awalnya ia bahkan merasakan tekanan dari ayahnya, disertai ancaman hukuman jika melalaikan kewajiban. “Bukan hukuman berat, hanya misalnya dihukum tidak boleh bermain,” tutur penyuka olahraga sepakbola dan renang ini.
Baru belakangan ia paham, kedisiplinan itulah yang menghasilkan ketekunan dan kualitas.
Langkah berikutnya, ayahnya juga menuntut suatu target pencapaian. Dalam kurun waktu tertentu, harus ada peningkatan hasil dibandingkan dengan sebelumnya. Misalnya harus mampu berlari sekian kilometer dalam kecepatan tertentu.
Ayahnya memberi kepercayaan kepada Rudy untuk menajalaninya sendiri tanpa pengawasan, hingga melahirkan tanggung jawab. Pola inilah yang membentuknya bermental juara atau dalam pengertian Rudy, “tidak boleh kalah.”
Kalau kalah, ia merasa malu dan hal itu bisa menurunkan motivasinya untuk berprestasi kembali.
Sikap dan pola pikir seperti ini yang konsisten dijalankan Rudy, bahkan ketika sudah menjadi pemain profesional. Ia misalnya pernah menjalani masa harus berlatih “sendirian” di Surabaya, karena merasa harus pulang dari Pelatnas akibat kekalahannya di final kejuaraan nasional tahun 1967.
Program latihan disusunnya menjadi: pagi latihan pukulan, siang berlari di bawah terik matahari untuk melatih fisik, dan sore berlatih permainan di klub Rajawali tempatnya bernaung.
Keras? Bagi Rudy, semua itu adalah kesungguhan yang dapat menjadi elemen untuk mempercepat keberhasilan. "Kalau sudah memilih suatu hal, kejarlah sampai bisa. Jangan sekadar coba-coba." Dari sinilah Rudy meyakini akan muncul sebuah ketekunan.
Menjelang All England 1968, pengurus PBSI sebenarnya nyaris tidak mengirimkan pemain ke turnamen karena buntut peristiwa Thomas Cup 1967. Peristiwa itu makin membulatkan tekad Rudy untuk membuktikan diri, sekaligus mewujudkan janji kepada ayahnya untuk menjadi juara di All England pertamanya.
Ingin mengukir sejarah
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/rudy-hartono-semasa-jaya-sebagai-pemain_all-england-open-2021.jpg)