Liputan Khusus

Ujung Senja Kala Tembakau Deli, Pernah Menghasilkan Triliunan Rupiah Kini Dianggap Tak Menguntungkan

Pada tahun kejayaannnya, penjualan tembakau deli mencapai 50 juta gulden atau kira-kira sama dengan Rp 43 triliun sekarang.

Tribun Medan/Risky Cahyadi
Cerutu dengan pembungkus menggunakan daun tembakau deli. 

MEDAN, TRIBUN-Sebuah bangunan tua bercat putih kelihatan kusam. Kaca-kaca jendelanya yang berbingkai besar sebagian telah pecah. Gentengnya berlubang dan sejumlah kayu penyangganya keropos. Pintu depannya tertutup rapat.

Dari luar, barangkali tidak ada yang mengira bangunan ini bukanlah sebangsa bangunan terbengkalai. Didirikan tahun 1920, bangunan ini masih digunakan sebagai gudang tembakau. Atapnya tinggi. Sejumlah peralatan kerja seperti mesin pres untuk mengemas tembakau masih ada. Masih sama sejak zaman Belanda.

Hari itu, pertengahan pekan kedua Februari, tujuh orang pekerja sedang memilah-milah daun tembakau yang akan digunakan sebagai pembungkus cerutu. Ketujuhnya perempuan. Setengah baya. Antara 45-60 tahunan.

"Kasar halus digethok. Aduh, pusing aku," ujar seorang pekerja dalam bahasa Jawa. Kata- katanya disambut tawa pekerja lain.

Perempuan ini tak memberitahukan namanya. Namun kepada Tribun ia bercerita sudah 35 tahun bekerja di Perkebunan Tembakau Deli.

"Dari remaja saya sudah di sini. Dulu gudang ini isinya tembakau semua. Penuh ini. Sekarang, ya, seperti ini. Tembakaunya sudah sedikit sekali. Dulu yang kerja juga banyak. Sekarang sudah banyak yang berhenti. Ada yang pensiun. Ada yang berhenti karena memang pekerjaan enggak banyak lagi," katanya.

Selain pekerja gudang tetap juga ada pekerja tidak tetap. Jumlahnya tidak kalah banyak. Pernah mencapai 300 orang.

"Sekarang kami di sini tinggal tujuh. Karyawan lepasnya pun tinggal empat orang. Itu mereka sedang ngerowek (merobek daun tembakau). Sudah banyak yang berhenti juga. Kalau dulu perlu ratusan orang.

Pekerja di gudang tembakau milik PTPN II di Buluhcina, Deliserdang, merobek daun tembakau.
Pekerja di gudang tembakau milik PTPN II di Buluhcina, Deliserdang, merobek daun tembakau. (Tribun Medan/Risky Cahyadi)

Sekarang karena enggak banyak kerjaan lagi, orang itu saja sudah cukup," ujarnya seraya menambahkan, di antara karyawan lepas ini masih ada yang dipertahankan. Mereka dipindahkan ke komoditas lain.

Perempuan setengah baya berpotongan rambut pendek ini menyebut penyusutan lahan tanam tembakau milik PTPN II ini berlangsung cepat.

Ia ingat sebelumnya ada lebih dari 300 ladang tembakau. Khususnya untuk menanam varian tembakau deli (Nicotiana tobacco). Kemudian, lahan-lahan ini berangsur beralih fungsi menjadi lahan tanam untuk komoditas lain seperti tebu dan sawit.

Dari tahun ke tahun, lahan tanam tembakau terus menyusut. Dari 300-an menjadi seratusan. Berkurang lagi menjadi 50-an. Sekarang tinggal lima. Jika ditotal luasnya tak lebih dari empat hektare.

Satu dari lima yang tersisa tersebut adalah perkebunan ini. Perkebunan Buluh Cina, Hamparan Perak, Deliserdang. Di kebun ini pula terdapat satu-satunya gudang tembakau tersisa. Di area kebun lain, yakni Klumpang, Klambir Lima, dan Helvetia, tidak ada.

"Kalau gudang ini tutup, kalau tembakau tutup, ya terpaksa, lah, cari kerja lain. Tahun 2018 itu kita paling susah di sini. Beberapa kali gaji harus ditunda karena produksi menurun. Sekarang sudah sedikit lebih baik. Enggak ditunda lagi. Namun, ya, belum ada kemajuannya. Dengar-dengar tembakau-tembakau ini belum ada yang diekspor lagi," ucapnya seraya mengatakan, dari sisi kualitas, tidak ada yang berubah dari produksi. Tetap berkualitas tinggi standar Eropa.

Sejarah Panjang Tembakau Deli, Lebih Tua Dibandingkan Pemerintahan Kolonialis

Tembakau Deli Masih Favorit, Harus Mencari Pasar Baru

"Ini yang kami kerjakan panen bulan Maret tahun lalu. Memang panjang prosesnya untuk menghasilkan produk berkualitas. Jadi (kualitas) enggak berubah. Produksinya saja yang berubah. Kayaknya mereka enggak mau nanam banyak-banyak."

Kondisi yang serba tak pasti ini membuat para pekerja ini bekerja dalam kewaswasan. Sebab setiap saat mereka bisa saja dipindahkan ke tempat lain. Atau dipensiunkan.

"Kalau ingat dulu rasa-rasanya seperti enggak percaya saja. Sekarang tinggal kami-kami saja, lah, di sini. Tembakau enggak banyak lagi. Padahal dulu pernah kami ekspor tembakau seribu bal. Sekarang sepersepuluhnya saja enggak ada lagi," kata perempuan pekerja yang lain. Seperti perempuan sebelumnya, ia juga menolak menyebutkan nama.

"Enggak usahlah (disebut nama). Untuk apa. Pastinya sampai sekarang kami masih bekerja di sini. Entah sampai kapan. Saya sudah 30 tahun bekerja. Rata-rata kami di sini sejak masih muda sekali."

Ditanya harapannya, perempuan ini dan rekan-rekannya cuma mengangkat bahu.

"Sejujurnya kalau dari hati, ya, sedih. Pastinya kecewa juga. Tembakau Deli ini kelas dunia. Tembakau diimpor ke luar negeri. Ke Jerman yang bagus. Kalau yang kualitas sedang sampai rendah ke Amerika. Kenapa bisa seperti ini sekarang? Cuma kami mau bilang apa? Kami cuma pekerja. Semua, kan, tergantung sama direksi," katanya.

Tidak Menguntungkan

Humas PTPN II Sutan Panjaitan membenarkan lahan tanam tembakau deli memang tinggal lima.

Menurutnya, penyusutan disesuaikan dengan kebutuhan. Saat ini tembakau deli memang sudah tidak lagi menjadi komoditas yang menguntungkan perusahaan.

"Faktor umumnya karena ongkos produksi yang tinggi. Tembakau ini sangat sensitif. Prosesnya untuk jadi bahan jadi pembungkus cerutu sangat panjang dan semua harus dilakukan secara teliti. Sebab untuk diekspor mesti benar-benar sempurna. Bukan kualitas kita menurun. Cuma kadangkala ada beberapa faktor yang membuat standar sulit tercapai. Misalnya, cuaca," katanya menjelaskan.

Ditanya mengenai jumlah produksi saat ini, Sutan bilang dirinya tidak memegang data. Selain itu, data akan terkoreksi karena akan masuk musim tanam baru.

"Saya koordinasikan lebih lanjut ini sama Kabag Tanaman. Nanti bisa kita bicarakan lebih lanjut. Karena, kan, ini mau masa tanam dulu. Pasti berubah datanya. Jadi nanti lebih enak ceritanya," ujar Sutan.

Namun begitu, Sutan memberi gambaran bahwa dari tembakau deli PTPN II memang tidak lagi dapat meraup laba sebagaimana sebelumnya.

Tembakau deli pertama kali diekspor ke Rotterdam, Belanda, tahun 1864.

Pekerja di gudang tembakau milik PTPN II di Buluhcina, Deliserdang.
Pekerja di gudang tembakau milik PTPN II di Buluhcina, Deliserdang. (Tribun Medan/Risky Cahyadi)

Lima tahun berselang dibentuk firma Deli Maatchappij NV. Saat itu luas lahannya mencapai 171.235 ha. Tiga tahun setelahnya didirikan pula firma Senembah Maatchappij NV.

Tahun 1913 menjadi tahun dengan pendapatan ekspor tertinggi dalam sejarah tembakau deli. Angkanya sampai 50 juta gulden atau kira-kira sama dengan Rp 43 triliun sekarang.

Ketua Umum Kadin Sumut Khairul Mahalli mengatakan perlu kerja yang sangat keras apabila PTPN II memang masih ingin mempertahankan tembakau deli.

"Kalau saya lihat memang sudah sulit. Mungkin pihak PTPN juga berpikir begitu. Makanya yang terjadi adalah penurunan produksi," katanya pada Tribun.

Menurut Mahalli, ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penyusutan lahan. Termasuk faktor-faktor yang sifatnya nonteknis. Paling mencolok adalah penyerobotan lahan.

Saya ingat dulu banyak kebun tembakau di Batangkuis, Helvetia, juga di Marelan. Sekarang sudah hilang semua. Sudah jadi perumahan. Ini bukan proses serta-merta. Menanam tembakau itu, kan, memang tidak mudah. Syarat tiga tahun harus dihutankan. Begitu panen harus dihutankan lagi lahannya. Nah, pada proses inilah sering terjadi penyerobotan. PTPN sering bersengketa dengan penyerobot-penyerobot ini," katanya. (yui/sep)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved