El Clasico Barcelona vs Real Madrid
Sepak Bola Politik yang Makin Ruwet
Tahun ini, diperkirakan, El Clasico ditonton antara 400-450 juta orang di seluruh dunia. Apa jadinya jika sepanjang laga senyera terus berkibar?
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Apakah El Clasico masih akan menarik? Pertanyaan semacam ini sudah mengemuka sejak tahun lalu. Penyebabnya tentu saja kepergian Cristiano Ronaldo ke Juventus. Apa boleh buat, selama satu dekade terakhir, El Clasico; duel klasik dua klub penguasa sepak bola Spanyol dari masa ke masa, Real Madrid dan Barcelona, memang seolah-olah hanya jadi panggung persaingan dua pemain paling kondang di kolong langit.
Iya, El Clasico tiada lain adalah Ronaldo versus Lionel Messi. Siapa paling hebat di antara mereka. Real Madrid menang, maka bintang Ronaldo yang bersinar cemerlang. Sebaliknya, jika Barcelona yang unggul, segenap puja-puji akan menyelimuti Messi.
Ronaldo kemudian mengakhiri petualangan di Spanyol untuk mencari tantangan baru di Italia. Namun Messi masih ada. Ia masih ada, dan mungkin akan terus beredar di Spanyol. El Clasico masih ada. Lalu, kembali ke pertanyaan awal, pascakepergian Ronaldo, apakah El Clasico masih menarik?
Siapa pun yang bukan sekali dua kali menonton El Clasico, tentu akan dengan sangat mudah menjawab pertanyaan ini. Kamis (19/12) dini hari nanti adalah El Clasico seri 179 di kancah kompetisi Liga Spanyol. Atau seri 243 jika dihitung duel-duel di ajang Copa Del Rey, Piala Liga, Piala Super Liga dan Liga Champions. Dan sejak mula pertama digelar pada 13 Mei 1902; pertandingan memperebutkan Copa de la Coronación atau Piala Federasi Sepak Bola Kerajaan Spanyol, El Clasico selalu memunculkan drama-drama. Beberapa di antaranya bahkan menjadi drama yang dikenang dalam kurun waktu lama.
Insiden pelemparan kepala babi kepala Luis Figo, misalnya. Camp Nou, 22 November 2002. Menit 27, Figo, mantan pemain Barcelona yang menyeberang ke Madrid, mengambil tendangan penjuru. Seketika, berbagai benda dilemparkan ke lapangan. Satu di antaranya kepala babi.
Figo dicap pengkhianat. Pada laga pertamanya setelah menyeberang, 21 Oktober 2000, tribun- tribun di Camp Nou penuh dengan spanduk bertuliskan 'Judas'. Figo Sang Pengkhianat. Dua tahun berselang, kemarahan ternyata tak reda. Malah makin menjadi. Berangkat dari "budaya" Eropa abad pertengahan, seperti dipapar William Golding dalam novel Lord of the Flies, kepala babi merupakan simbolis kekejaman dan kebarbaran. Satu ancaman nyata bagi Figo.
Kemudian ada cerita dari Jose Mourinho. Putaran kedua Copa Del Rey di Camp Nou, 17 Agustus 2011. Berawal dari tekel keras Marcelo terhadap Cesc Fabregas, bentrok massal pecah. Pemain di lapangan dan pemain di bangku cadangan, berikut ofisial dan pelatih, berhambur ke pinggir lapangan. Saling dorong. Saat itu, tiba-tiba, Mourinho mendatangi asisten pelatih Barcelona, Tito Vilanova, yang sedang berdebat dengan asistennya, Rui Faria. Tanpa bicara Mou mencolok mata Villanova. Situasi pun makin panas dan nyaris berujung pada duel fisik.
Ingat Hristo Stoichkov? Barcelona memiliki banyak pemain hebat. Stoichkov satu di antaranya. Bersama Romario de Souza Faria pada medio 1993 hingga 1995, Stoichkov mencatat jejak sebagai duet tukang gedor paling tajam --sekaligus paling atraktif-- di dunia.
Stoichkov, dalam How Soccer Explains The World yang ditulis Franklin Foer memberi gambaran mengapa El Clasico tumbuh menjadi peristiwa yang lebih dari sekadar pertandingan sepak bola. Lebih dari sekadar gengsi laga antar pemain "tajir melintir" yang nilai kontrak semusimnya bahkan bisa membiayai operasional kompetisi sepak bola di "negara-negara dunia ketiga" selama sepuluh musim sekaligus.
"Saya akan selalu membenci Real Madrid. Lebih baik bumi terbelah dan menelan saya, ketimbang harus bekerja dengan mereka."
Kedengaran berlebihan? Dengar dulu kalimat Sir Bobby Robson. Orang Inggris ini hanya satu musim menjadi pelatih Barcelona. Dari Mei 1996 sampai Juni 1997. Namun waktu yang singkat ini sudah cukup untuk menumbuhkan kebencian dalam dirinya.
"Catalunya adalah negara dan Barcelona adalah tentaranya. Real Madrid adalah musuh terbesar kami," ucapnya.
Begitulah, El Clasico memang kental beraroma politik. Persisnya politik yang berkenaan dengan sejarah masa lalu Kerajaan Spanyol. Catalan yang tertindas. Madrid yang borjuis. Pejuang versus antek-antek pemerintah; perpanjangan tangan Jenderal Franco.
Masa-masa itu telah lama berlalu, tapi luka sepertinya tidak pernah utuh sembuh. Liang luka tetap menganga dan akan melejitkan rasa sakit tiap kali ada yang menaburkan garam di sana. Seperti api dalam sekam. Seri 243 seyogianya dipanggungkan pada 27 Oktober 2019. Namun sepekan sebelum hari H, Catalan bergolak.
Mahkamah Agung Spanyol memutus vonis bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara kepada sembilan orang aktivis kemerdekaan Catalan. Keputusan yang disambut kemarahan. Di berbagai titik strategis di Catalan, tak terkecuali di Kota Barcelona dan seputaran Camp Nou, warga turun ke jalan untuk berunjuk rasa. Senyera, lambang perjuangan kemerdekaan Cataluna, dibentangkan di mana-mana. Bendera Estelada berkibar lantang. Logo Barcelona disematkan pita hitam.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/el-clasico3.jpg)