Kedai Tok Awang

Thierry Henry tak Nasionalis

Multikulturalisme sudah lama jadi isu yang mengiringi perjalanan tim nasional Perancis dan Belgia.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
AFP PHOTO/ODD ANDERSEN
THIERRY Henry, mantan pemain tim nasional Perancis yang saat ini menjadi asisten pelatih tim nasional Belgia. Perancis dan Belgia akan berhadapan pada laga semifinal Piala Dunia 2018, dini hari nanti. 

Dalam kampanyenya yang rasis, mereka mengubah sebutan untuk bendera Perancis, 'white, blue and red', menjadi 'black, blanc, and beur'. Blanc adalah sebutan untuk kulit putih asli Perancis, sedangkan beur merupakan sebutan bagi warga keturunan Arab dan Afrika bagian utara.

Pemimpin National Front's, Marine Le Pen, kerap mencibir. Bilangnya, "tiap kali aku melihat pertandingan Perancis, aku tidak bisa mengenali mereka."

Akhirnya bagaimana sudah sama-sama diketahui. Para politisi itu tersudut dan bungkam, karena pasukan multikultur Perancis berhasil memenangkan Piala Dunia. Aime Jacquet mampu membangun skuat yang solid, mempersatukan keturunan-keturunan imigran yang para buyutnya rata-rata masuk Perancis pada awal abad 19.

PEMAIN tim nasional Perancis, Paul Pogba
PEMAIN tim nasional Perancis, Paul Pogba (AFP PHOTO/JOHANNES EISELE)

"Sekarang yang ngelatih orang tu Si Deschamps. Tahun 1998, dia kapten. Jadi kurasa memang enggak ada masalah sama Perancis. Mereka udah biasa kali menghadapi isu kayak gini," ucap Lek Tuman. "Entah kalok Belgia."

Piala Dunia 1986 menjadi pencapaian tertinggi Belgia di Piala Dunia. Di EURO, mereka pernah sampai di posisi tiga, tahun 1972. Ketika itu, Belgia adalah "pasukan putih". Sangat Eropa. Tahun 1986, pelatih tim nasional Belgia, Guy Thys, memilih seluruh pemain berkulit putih, dan asli Belgia, untuk skuatnya.

Berselang 32 tahun, tim nasional Belgia berubah lebih berwarna. Keturunan-keturunan generasi ketiga kaum imigran, menaikkan kasta Belgia, dari sekadar tim Eropa kelas tiga menjadi calon kuat juara dunia.

"Bahkan pelatih orang tu pun sekarang dari Spanyol. Asistennya dari Perancis. Jadi keknya, kalok soal nasionalisme, juga enggak pala jadi soal di sini," kata Pak Ko.

"Setuju aku," timpal Ane Selwa. "Si Martinez ini lebih pande memenej tim. Pande dia lihat potensi pemain dibanding pelatih yang lama. Siapa itu namanya, lupa aku."

"Wilmots," ujar Lek Tuman.

"Iya, ya, Wilmots."

"Tapi sa kira ini Martinez juga beruntung, Kaka Ane," ucap Pace Pae menimpali. "Dia dapat pemain-pemain su jadi punya. Su jadi emas."

PEMAIN tim nasional Belgia, Eden Hazard
PEMAIN tim nasional Belgia, Eden Hazard (AFP PHOTO/JEWEL SAMAD)

"Itu juga betul. Tapi jangan lupa kelen, enggak gampang jugak jadi pelatih untuk pemain-pemain yang semuanya super star. Apalagi kalok pelatihnya itu enggak lejen-lejen kali. Si Martinez waktu masih main enggak pernah jadi bintang kayak Lukaku atau Hazard. Pemain kelas-kelas kaleng susu tak besusu nya dia tu. Paling lama dia main di Wigan dan di Swansea. Itu pun bukan Wigan dan Swansea sekarang. Tahun-tahun 1990-an, dua klub itu masih  danga-danga. Dia bahkan enggak pernah jadi pemain timnas Spanyol."

"Pelatih hebat, kan, tak mesti kalinya pernah jadi pemain hebat, Ne. Jangan lupa Ane itu. Tengoklah Sir Alex Ferguson dan Jose Mourinho," sergah Jontra Polta yang tiba-tiba ikut nimbrung. Percakapan soal nasionalisme, pengkhianatan, dan potensi pembunuhan di meja sebelah rupanya telah berakhir.

"Itu dia maksud aku. Martinez ini bertangan dingin. Sama kayak Deschamps. Bisa disatukannya bintang-bintang itu. Bisa nurut betul sama dia. Bisa dibikinnya orang tu enggak bahas soal nasionalisme."

Tok Awang yang sejak tadi duduk menonton televisi sembari mengiris bawang, menceletuk. "Orang tu tak bahas, kelen pulak yang pande-pandean bahas. Macam betul aja kelen kutengok. Tinggi kurang tinggi cakap kelen."

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved