Berita Medan

Luka yang Menyalakan Panggung, Kisah Desy Qobra Guru, Jadikan Teater sebagai Rumah

Sebagian besar waktu ia ditemani pengasuh. Dari sanalah, ia justru lebih sering belajar tentang rasa sakit.

Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Ayu Prasandi
DOKUMENTASI
Desy Ariani 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN- Masa kecil Desy Ariani tidak pernah benar-benar sederhana. Perempuan kelahiran Padangsidimpuan, 20 Desember 1994, itu menghabiskan hari-harinya dengan pola yang nyaris sama sekolah, pulang, masuk kamar, lalu menunggu pagi berikutnya.

Sebagian besar waktu ia ditemani pengasuh. Dari sanalah, ia justru lebih sering belajar tentang rasa sakit.

Hal-hal kecil yang wajar bagi anak seusianya baju putih terkena noda, makan terlalu lambat, tidak tidur siang bisa berubah menjadi alasan untuk dimarahi, bahkan dipukul. Saat itu, Desy kecil tidak pandai bercerita. Tidak di rumah, tidak di sekolah. Semua ia simpan sendiri.

Suatu hari, ia disuapi sambil pengasuhnya menonton televisi. Desy hanya menatap ke layar.

Di tengah sunyi, dalam hati kecilnya tumbuh satu kalimat yang tak pernah hilang sampai hari ini, “Suatu saat nanti, aku juga akan ada di televisi. Aku akan punya panggungku sendiri.”

Kalimat itu menempel bertahun-tahun. Mungkin itulah sebabnya, setiap ada acara perpisahan kakak kelas, ia selalu maju tanpa menunggu dipanggil menari, menyanyi, apa saja yang memberinya sedikit ruang untuk bernapas dan merasa hidup.

Hari ini, ketika ia menengok ke belakang, Desy menyadari satu hal justru dari masa kecil yang penuh batasan itu, ia belajar berani tampil. Berani berkarya. Berani bersuara. Luka masa kecil itu tidak mematahkannya, justru membentuknya.

Desy tumbuh di antara dua sikap keluarga terhadap dunia seni sebagian pintu terbuka, sebagian lagi tertutup.

Sejak SMP hingga Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Padangsidimpuan, ia rutin mengikuti fashion show tingkat kabupaten. Panggung kecil itu menjadi tempat ia merasa hidup. Namun di saat yang sama, sang ibu mulai menunjukkan ketidaksetujuan.

Ucapan itu masih diingat Desy dengan jelas.

“Halah… kalau cuma sebatas kabupaten kota, paling begitu-begitu saja,” ujar Desy mengingat.

Bagi ibunya, dunia fashion show hanya menghabiskan biaya. Menang pun belum tentu sanggup menutup pengeluaran. Dari sudut pandang orang tua, mungkin itu ada benarnya. Namun bagi seorang remaja yang jatuh cinta pada panggung, kata-kata itu mengguncang.

Kesempatan besar datang ketika ia ikut ajang Pemilihan Putri Tabagsel (Tapanuli Bagian Selatan). Untuk yang satu ini, ibunya tidak mendukung, tapi juga tidak melarang. Diam. Diam yang terasa seperti izin setengah hati.

Agar tidak membebani siapa pun, Desy memilih berjuang sendiri. Sepulang sekolah, ia dan sahabatnya, Rahmadani Harahap, berjualan rokok dan pembalut di sekolah. Ia juga mengerjakan tugas teman-teman sekelas. Upah kecil dari sana ia kumpulkan sedikit demi sedikit. Uang itu dipakai untuk biaya makeup dan kostum tiketnya menuju panggung impian.

Ajang itu berlangsung selama satu bulan. Panjang, melelahkan, dan penuh keraguan. Malam final tiba, untuk pertama kalinya keluarganya duduk lengkap di kursi penonton: ibu, ayah, adik, dan sahabatnya.

Ketika namanya dipanggil sebagai pemenang, Desy berdiri di panggung dengan perasaan yang sulit digambarkan. Bukan sekadar bahagia atau bangga. Di dalam hati, ada bisikan “Lihat… aku bisa. Aku benar-benar bisa.”

Tak ada pelukan dramatis atau air mata di barisan keluarga. Namun bagi Desy, malam itu menandai satu hal penting bahwa mimpi bukan untuk diminta restunya, mimpi diperjuangkan sampai dunia mau memberi ruang.

Desy adalah putri pasangan Ilham dan Rohima. Dari orang tuanya, ia belajar dua hal besar yakni kemandirian dan keteguhan.

Dari ibunya, ia belajar bahwa jika benar-benar menginginkan sesuatu, ia harus berjuang sendiri tanpa menunggu orang lain membuka jalan.

Dari ayah dan keluarga, ia belajar bertahan sampai akhir, karena dukungan sering baru datang ketika seseorang tidak berhenti melangkah.

Ia tidak menyimpan dendam pada pilihan atau sikap orang tuanya di masa lalu. Desy memaknainya sebagai bentuk kasih sayang dengan cara yang mereka pahami. Justru dari situ ia tumbuh menjadi pribadi yang berani memperjuangkan mimpi meski langkah pertama harus diambil sendirian.

//Merantau ke Medan Menemukan Rumah Bernama Teater

Keinginan kuliah di luar kota tidak pernah berjalan mulus. Sejak kelas 3 Aliyah, orang tua berkali-kali menekankan agar ia kuliah di kampung halaman. Desy memilih diam. Bukan karena setuju, tetapi karena tidak ingin perdebatan itu berubah menjadi luka baru.

Akhirnya, ia memilih Program Studi PGSD Universitas Negeri Medan (UNIMED). Bukan karena sejak awal ingin menggabungkan pendidikan dan seni, tetapi karena ia punya satu tujuan sederhana, ia harus lulus agar bisa meraih kebebasan.

Jurusan apa pun tidak terlalu penting baginya saat itu. Orang tua ikut menentukan pilihan, terutama ibu yang berpikir bahwa menjadi guru SD berarti bisa lebih cepat pulang.

Bagi Desy, bukan soal cepat pulang. Ia ingin meraih kebebasan yang selama ini dirasa tidak pernah benar-benar ia punya kebebasan untuk tampil, berkarya, dan menjadi diri sendiri. Di UNIMED, ia menemukan ruang itu.

Pertemuan pertama Desy dengan teater terjadi pada 2013, saat mengikuti PAMB di UNIMED. Ia duduk di tribun lantai dua Gedung Serbaguna, menyaksikan para senior tampil dengan kostum megah dan peran yang mereka hidupi sepenuh jiwa.

Dari kursi jauh di atas, ada suara dalam diri yang berteriak.

“Suatu hari, aku yang akan berdiri di sana. Aku yang akan ditonton ribuan pasang mata itu,” ungkapnya.

Tak lama kemudian, ia mendaftar ke Teater LKK UNIMED. Di sana, ia justru langsung dipercayakan menjadi pemeran utama kabaret di hadapan ribuan mahasiswa baru tahun 2014–2015.

Momen itulah yang ia sebut sebagai detik ketika ia benar-benar jatuh cinta pada teater pada cahaya lampu, energi penonton, dan napas pertunjukan yang bergerak serempak dengan jantungnya.

Sejak saat itu, panggung bukan lagi sekadar tempat tampil. Panggung menjadi rumah.

Lingkungan UNIMED ia sebut sebagai salah satu ruang yang paling membentuk dirinya sebagai seniman panggung. Dosen-dosen yang tegas, disiplin, dan menghargai waktu tanpa sadar menanamkan karakter penting dalam dirinya tepat waktu latihan, tepat waktu menghafal naskah, tepat waktu memahami proses.

Teater LKK UNIMED memberi ruang bagi Desy untuk belajar, jatuh, bangkit, dan bereksperimen. Dari panggung kampus hingga panggung luar kampus, setiap kesempatan tampil menambah lapisan baru dalam prosesnya.

Bukan hanya latihan formal, pengalaman-pengalaman kecil ia rekam dalam kepala mahasiswa yang berlari di lorong karena takut terlambat, penari yang mengulang gerak di open stage, calon anggota baru yang dibentuk seniornya, dosen dengan peluit memantau ujian praktik. Semua itu ia rangkai diam-diam menjadi potongan naskah, blocking, hingga bayangan panggung.

Tanpa disadari, kebiasaan ini melatih kepekaannya membaca tokoh, ritme adegan, hingga gerak halus aktor. Dari situlah ia belajar membaca naskah lebih dalam dan menyutradarai dengan lebih jernih.

Desy pernah menekuni berbagai bidang seni menari, membaca, dan berbagai lomba. Namun teater selalu menjadi rumah yang paling ia pilih.

Dalam tari, ia belajar disiplin gerak. Dalam membaca, ia belajar mencintai kata. Di teater, semuanya menyatu tubuh, suara, dan hati ikut menafsirkan hidup.

Sebagai aktor monolog, Desy merasakan langsung beratnya berdiri sendirian di panggung tanpa partner dialog, tanpa lawan main, tanpa siapa pun yang bisa menolong jika tiba-tiba pikiran kosong.

Dalam monolog, ia harus menjadi sumber energi itu sendiri. Menjadi pemeran, narator, penggerak konflik, dan penopang ritme sekaligus. Ia harus membuat penonton percaya pada dunia yang diciptakannya: bahwa ada tokoh lain meski tak terlihat, ada rumah meski tak dibangun, ada percakapan meski ia hanya berbicara seorang diri.

Tantangan lain datang dari dalam diri. Menjelang naik panggung, ia kerap memutar ulang adegan dalam kepala, bahkan mengalami “mencret dadakan” saking tegangnya. Namun justru di situlah monolog membuatnya paling jujur tak ada tempat bersembunyi, tapi juga tak ada yang menahan.

Setiap monolog menjadi kemenangan kecil ketika ia berhasil membuat satu tubuh di panggung terasa cukup untuk menciptakan dunia.

Menjaga Api Teater Medan

Tentang perkembangan teater di Medan, Desy melihatnya berada di fase yang menarik. Komunitas teater bermunculan, panggung alternatif mulai dibuka, dan generasi muda berani mengeksplorasi berbagai bentuk dari teater tradisi, realis, hingga yang memadukan multimedia.

Ia menyadari tantangan masih besar penyegaran naskah, regenerasi aktor, keterbatasan ruang latihan, hingga dukungan dana. Namun bagi Desy, justru di situlah keindahannya. Teater di Medan tumbuh bukan karena fasilitas, melainkan ketekunan dan cinta para pelakunya.

“Selama masih ada anak muda yang mau menghafal naskah di trotoar kampus, latihan sampai malam di ruang sempit, dan tampil tanpa dibayar demi seni, saya yakin teater di Medan tidak akan padam,” tukasnya.

Di luar dunia teater, Desy adalah seorang guru lulusan S1 PGSD dan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan UNIMED. Kini ia mengajar sambil membawa seluruh pengalaman panggungnya ke dalam kelas.

Teater membantunya mengolah emosi, mengontrol situasi, dan memimpin kelas tanpa harus meninggikan suara. Pengalaman tampil membuatnya terbiasa mengatur intonasi.

“Saya jadi paham kapan harus tegas, kapan harus lembut, kapan memberi tekanan, dan kapan meredakan,” ungkap Desy.

Keberaniannya berdiri sendirian di panggung menjadikan depan kelas bukan lagi tempat yang menegangkan, melainkan panggung lain yang menghidupkan.

Teater juga mengasah kepekaannya membaca suasana kapan murid mulai bosan, ketika ada yang sedang bermasalah, atau ketika strategi belajar harus diubah. Kemampuan improvisasi membuatnya lebih fleksibel menghadapi keadaan tak terduga.

Tanpa ia sadari, metode berbasis teater kerap ia terapkan di kelas. Salah satu contohnya adalah saat mengajar materi benua-benua di dunia. Ia menyiapkan media “koper benua” lengkap dengan gambar dan simbol-simbol kecil dari berbagai benua.

Kelas ia ubah menjadi “bandara”. Anak-anak memiliki paspor imajinasi, setiap perpindahan tempat duduk menjadi penerbangan baru. Ada yang berperan sebagai pemandu wisata, ada yang jadi pilot dadakan, ada yang semula pendiam justru memberanikan diri bertanya.

Pelajaran tidak lagi sekadar hafalan, tetapi pengalaman. Ruang kelas pun berubah menjadi panggung yang penuh kehidupan.

Selain aktif di teater, Desy pernah tampil di TVRI dan menjadi juri tari serta baca puisi di berbagai ajang seni dan budaya. Ia juga tercatat sebagai Pembawa Acara Nasional Jambore GTK Hebat Hari Guru Nasional 2024 di Jakarta, dan kini menjabat Bendahara Umum Asosiasi PPG Prajabatan Indonesia.

Murid-murid yang mengetahui gurunya adalah aktor dan sutradara teater merasakan perpaduan kagum, bangga, dan hormat. Cara Desy berbicara, bergerak, dan membangun suasana kelas terasa berbeda. Mereka lebih mudah fokus dan tertarik mengikuti arahan.

Bagi anak-anak itu, sosok gurunya menjadi bukti nyata bahwa seseorang dari latar sederhana bisa naik ke panggung besar.

//Filosofi sebagai Sutradara

Sebagai sutradara yang pernah mengantarkan tiga aktor monolog menjadi juara, Desy memegang satu filosofi sederhana.

“Tugas sutradara bukan membuat aktor menjadi seperti yang ia inginkan, tetapi membantu mereka menemukan versi terbaik dari dirinya sendiri di atas panggung,” katanya.

Ia melihat setiap aktor membawa “api” sendiri. Perannya sebagai sutradara adalah menjaga bara itu agar tidak padam, meniupnya sampai menyala dengan caranya sendiri.

Latihan-latihannya bersifat personal menggali emosi terdalam, mengajak aktor berdialog dengan rasa sakit dan kegembiraan mereka, lalu memasukkan semuanya ke dalam karakter.

Baginya, panggung bukan tempat menghafal, melainkan tempat menghadirkan kejujuran.

Desy juga percaya bahwa aktor juara bukan dibentuk oleh sutradara yang keras, tetapi oleh sutradara yang percaya. Itulah yang terus ia pegang dalam setiap proses.

Dari seluruh perjalanan, Desy melihat hidupnya bergerak menuju dua cita-cita besar yang saling melengkapi.

Sebagai seniman, ia bermimpi berdiri di panggung yang lebih luas, bukan sekadar untuk tampil, tetapi untuk menunjukkan bahwa seseorang yang dulu sering diremehkan dan dibungkam bisa bersinar dengan caranya sendiri.

Sebagai guru, mimpinya lebih dalam ia ingin anak-anak merasakan rasa aman untuk mencoba, kepercayaan diri untuk bersuara, dan keberanian bermimpi besar.

Saya ingin mendirikan Taman Baca Qubro, agar anak-anak dapat menjadikan buku sebagai jendela dunia. Mendirikan panti asuhan yang penuh kasih dan perlindungan dan merintis sekolah gratis bagi anak-anak yang membutuhkan, agar masa depan mereka ditentukan oleh harapan, bukan keadaan,” jelasnya.

Di dunia teater Sumatera Utara, Desy tidak hanya ingin dikenang sebagai seseorang yang pernah juara atau pernah tampil di TV. Ia ingin dikenang sebagai sosok yang membuktikan bahwa ketulusan, kerja keras, dan keberanian melampaui batas diri mampu mengubah hidup seseorang.

Ia ingin dikenal sebagai aktris yang bermain dengan hati, sutradara yang menghidupkan naskah, dan pekerja teater yang menjunjung tinggi integritas.

Lebih dari itu, ia ingin jejaknya menjadi jalan bagi generasi setelahnya perempuan muda yang takut tampil, anak daerah yang merasa kecil, dan para seniman yang hampir menyerah.

“Jika suatu hari nama saya disebut di dunia teater Sumatera Utara, saya berharap orang mengingatnya sebagai seseorang yang bukan hanya bermain teater, tetapi menghidupkannya dan bukan hanya berdiri di panggung, tetapi ikut membuka panggung bagi orang lain,” pungkasnya.

(cr26/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved