Ironi Kaldera Toba: Pembangunan demi Status Geopark UNESCO

Kaldera Toba lemah dalam community-based development. Padahal, itu adalah inti dari konsep geopark UNESCO. 

Editor: iin sholihin
TRIBUN MEDAN/M ANIL
KEINDAHAN Danau Toba dari Bukit Singgolom di Desa Nihuta, Kabupaten Toba Samosir, Kamis (19/3/2020). 

Oleh: Jannus TH Siahaan
Dosen Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Darma Agung

KALDERA Toba, yang terletak di sisi barat Indonesia, tengah “merengek” memohon pengesahan status keanggotaannya di UNESCO. 

Hingga hari ini, Kaldera Toba masih memegang kartu kuning, peringatan resmi dari UNESCO yang menandakan bahwa kawasan ini terancam segera didepak dari daftar Global Geopark.

Alasannya jelas. Pemerintah Indonesia, khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), dinilai telah gagal merawat, mengelola, dan mempromosikan kekayaan Kaldera Toba secara komprehensif mulai dari budaya, keanekaragaman hayati, hingga warisan geologi yang seharusnya menjadi fondasi utama.

Dr Jannus TH Siahaan
Dr Jannus TH Siahaan (ISTIMEWA)

UNESCO Global Geopark bukan sekadar label prestise global. Ia merupakan pengakuan atas pengelolaan lanskap geologi dengan prinsip konservasi, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat secara terpadu dan berkelanjutan. 

Tapi prinsip-prinsip ini, sayangnya, dikorbankan demi proyek kosmetik, pameran seremonial, dan narasi pembangunan semu.

Dalam laporan resmi UNESCO tahun 2019, Kaldera Toba dinilai gagal memenuhi tiga pilar utama geopark global: geo-konservasi, geo-edukasi, dan geo-pariwisata. 

Baca juga: Kadisbudparekraf Sumut Sebut Hasil Penilaian Danau Toba dari UNESCO Diumumkan September 2025

Baca juga: Hari Kedua Revalidasi, Assesor UNESCO Geopark Kaldera Toba Kunjungi Sejumlah Geosite di Samosir

Dalam aspek geo-edukasi, misalnya, situs seperti Batu Gantung dan Bukit Holbung Samosir hanya dipresentasikan dari aspek geologi akademik, tanpa menyentuh legenda dan nilai-nilai lokal yang hidup di tengah masyarakat Batak.

Akibatnya, generasi muda justru asing terhadap geopark mereka sendiri. Dalam aspek geo-pariwisata, promosi wisata masih berfokus pada event besar dan tamu luar, bukan pada penguatan ekonomi lokal. 

Kaldera Toba lemah dalam community-based development. Padahal, itu adalah inti dari konsep geopark UNESCO. 

Semua kegagalan ini dirangkum dalam status “Yellow Card” peringatan yang menandakan bahwa dalam siklus evaluasi ulang, status keanggotaan Kaldera Toba dapat dicabut secara permanen.

Pada 2025 ini menjadi titik krusial. Kaldera Toba memasuki masa revalidasi. Jika tidak ada perubahan mendasar, bukan hanya status geopark global yang hilang, tetapi juga legitimasi moral negara dalam mengelola ruang hidup rakyatnya sendiri. 

Sayangnya, yang tampak adalah sebaliknya. Negara lebih sibuk merancang narasi pembangunan ketimbang menyentuh akar ketimpangan struktural.

Alih-alih membangun tata kelola yang deliberatif dan partisipatif, pemerintah malah menciptakan entitas birokratis seperti BPODT yang gagal menyatu dengan komunitas lokal. 

Event seremonial seperti F1 Powerboat di Balige hanya menampilkan kemewahan artifisial, memperlebar jarak antara masyarakat dan ruang hidupnya.

Pemerintah provinsi merasa tersingkir dari skema strategis nasional. Pemerintah kabupaten lebih fokus menyerap anggaran lewat proyek-proyek asal jadi, tanpa visi jangka panjang. 

Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak diberdayakan untuk membangun nilai budaya terhadap geodiversity. Akibatnya adalah keterputusan antara rakyat dan kawasan. 

Kaldera Toba dikelola bukan oleh komunitas yang hidup dari dan bersama lanskap itu, tapi oleh birokrat yang menjadikannya proyek, bukan rumah.

Masyarakat Kaldera Toba tidak diberdayakan, hanya dijadikan tontonan turis dan objek kebijakan. Mereka bukan mitra pembangunan, melainkan pelengkap laporan kegiatan. 

Tidak ada satu pun program besar yang melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan. Narasi pembangunan dirancang dari atas, penuh dengan retorika dan visualisasi teknologi, tanpa meninggalkan jejak keberlanjutan.

Kondisi ini kontras dengan pendekatan Geopark Steirische Eisenwurzen di Austria. Di sana, keterlibatan komunitas lokal dimulai sejak perencanaan. 

Studi UNESCO menyebut bahwa keberhasilan geopark terletak pada mutual trust-building antara aktor ilmiah dan masyarakat lokal melalui tata kelola bersama. 

Di Indonesia, prinsip ini diabaikan. Negara masih melihat geopark sebagai trofi, bukan sebagai lanskap hidup yang perlu negosiasi dan adaptasi berkelanjutan.

Derajat politik dan bisnis di Kaldera Toba lebih tinggi dari nilai kemanusiaan. Pemerintah menjadi alat elite proyek, bukan pelindung rakyat. Jabatan strategis diberikan kepada mereka yang dekat kekuasaan, bukan yang memahami konteks budaya Toba. 

Proyek-proyek tidak lahir dari kebutuhan masyarakat, melainkan dari kalkulasi politik dan logika rente. Proposal masyarakat lokal sering ditolak karena tidak cocok dengan selera para perancang proyek di Jakarta.

Situasi di Kaldera Toba bukan satu-satunya. Taman Nasional Komodo yang juga situs UNESCO saat ini menghadapi risiko pencabutan status akibat proyek wisata elit yang mengabaikan keberlanjutan. 
Pada Agustus 2025, UNESCO mengecam konsesi besar kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar. Mereka mendesak penghentian proyek hingga evaluasi AMDAL diselesaikan dan ruang partisipasi masyarakat dibuka. 

Kasus Komodo mempertegas bahwa Indonesia gagal menjadikan masyarakat sebagai subjek kebijakan konservasi dan wisata, dan ini bukan kasus terpencil.

Di Kaldera Toba, proyek food estate yang dicanangkan pada 2021 menjadi simbol kehancuran ekologis. Janji ketahanan pangan berubah menjadi bencana banjir, longsor, konflik lahan dan frustrasi orang lokal akan masa depan mereka. 

Penebangan massif dilakukan tanpa transparansi publik. Tidak ada catatan keuangan dari hasil penjualan kayu. Yang ada hanya luka sosial dan ekologis. 

Negara bukan saja absen dalam perlindungan, tapi aktif menciptakan kerusakan dan menyuburkan konflik agraria. Masyarakat hanya dianggap penghambat proyek, bukan penjaga lanskap.

Pemerintah pusat dan daerah hanya fokus pada pembangunan fisik, bukan pembangunan jiwa kolektif dan masa depan yang sesungguhnya dari orang lokal. 

Pelatihan berhenti di pelatihan. Tidak ada dukungan pasca program. Negara tidak pernah hadir dalam proses pemasaran hasil pertanian organik warga. Semua program berakhir pada laporan administrasi, bukan pada perubahan struktural. 

Masyarakat diposisikan sebagai pemohon anggaran, bukan sebagai pemilik wilayah. Negara tampil seolah raja penyelamat, padahal itu tugasnya sebagai penyelenggara keadilan publik.

Pemerintah tidak menggandeng lembaga yang bekerja langsung dengan masyarakat. Salah satu contoh saja, Lembaga seperti Yayasan Lentera Pertiwi Sumatera yang punya pengalaman dalam mendampingi warga Toba sering kali dipinggirkan. 

Padahal, hanya melalui pendekatan akar rumput dan kesabaran dialogis, pembangunan bisa mengakar kuat dan inklusif. Namun dalam logika pembangunan negara, proyek tetap lebih penting daripada proses.

Untuk mengatasi semua kegagalan struktural ini, pendekatan Pentahelix layak diajukan. Kolaborasi antara akademisi, pelaku usaha, komunitas, pemerintah, dan media (ABCGM) bukan sekadar jargon. 

Ia adalah kerangka praktis yang memungkinkan fragmentasi birokrasi dan sosial bisa dijembatani. Model ini menekankan bahwa semua pihak harus duduk setara, bukan bertumpu pada dominasi negara atau investor besar. 

Hanya dengan cara inilah Kaldera Toba bisa dikelola sebagai ruang hidup bersama, bukan objek eksploitasi semata.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Kaldera Toba bisa mempertahankan status geopark dunia. Pertanyaannya adalah untuk siapa status itu dikejar? 

Jika jawaban jujurnya adalah demi pengakuan elite politik dan pencitraan negara, maka yang sedang kita perjuangkan bukanlah keberlanjutan, melainkan ilusi.

Kaldera Toba tidak membutuhkan pengakuan global jika pengakuan itu dibangun di atas ketimpangan, pengkhianatan, dan pengabaian nilai lokal. 

Yang dibutuhkan adalah keadilan ekologis, keadilan sosial, dan partisipasi otentik dari masyarakat sebagai pemilik sejarah dan penjaga lanskap. 

Tanpa itu, status UNESCO tak lebih dari bedak tipis yang menutupi wajah pembangunan yang penuh borok, timpang, eksploitatif, dan tidak demokratis. (*)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved