Rumah Yang Diseret ke Ruang Sidang akibat Konflik Keluarga

Hari ini bukan sekadar seremoni, tapi momentum untuk kembali mengingat bahwa keluarga adalah fondasi utama dalam membangun berbangsa.

Editor: Afif Pratama
Tribun Medan/HO
Rumah Yang Diseret ke Ruang Sidang 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Setiap tanggal 29 Mei kita memperingati Hari Keluarga Nasional. Hari ini bukan sekadar seremoni, tapi momentum untuk kembali mengingat bahwa keluarga adalah fondasi utama dalam membangun berbangsa. Namun ironisnya, di era modren seperti saat ini, keluarga sangat rentan terhadap konflik dan perpecahan yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Bayangkan ini: seorang ibu menangis di kantor polisi, dilaporkan oleh anaknya sendiri. Ia hanya menegur karena anaknya main ponsel terus-menerus. Tapi suaranya direkam, dipotong, dan dijadikan alat bukti. Di kota lain, seorang ayah ditahan karena membanting gelas saat marah di tengah pertengkaran keluarga. Tidak ada yang terluka, tapi hukum tetap berjalan. Ia jadi tersangka karena melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Hari ini di era digital, keluarga bisa pecah hanya karena satu rekaman, satu status, satu laporan. Perselisihan karena masalah sepele justru berakhir pada proses hukum. Ayah harus menjalani hukuman dalam jeruji besi, keluarga menjadi terlantar karena tidak ada lagi tulang punggung yang menafkahi. Apakah hukum masih melindungi keluarga, atau malah memisahkannya?

Konflik dalam keluarga disebabkan oleh beberapa faktor, seperti masalah sosial dan ekonomi, perbedaan prinsip, hingga perselingkuhan. Data Kementerian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Republik Indonesia menyebutkan di tahun 2023 tercatat 18.466 kasus kekerasan, dimana 16.351 orang (88,5 persen) adalah korban perempuan. Selain itu, sebanyak 5.174 kasus perceraian di Indonesia tahun 2023 juga disebabkan karena faktor KDRT.

Tinggginya angka KDRT menunjukkan bahwa kehidupan rumah tangga keluarga Indonesia masih sangat rentan, terutama dalam hal kesejahteraan. Masalah finansial mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan rumah tangga sehari-hari yang dapat memicu stres dan konflik dalam keluarga. Istri yang bergantung secara ekonomi pada suami, terutama jika suami tidak memiliki pekerjaan tetap (serabutan), lebih rentan mengalami kekerasan baik secara verbal maupun non verbal. 

 

Hukum Humanis dan Teori PENA

Masalah rumah tangga yang viral melalui sosial media merupakan fenomena sosial masyarakat dan hukum normatif harus dapat membedakan mana yang kejahatan dan mana yang konflik internal keluarga. Satjipto Rahardjo menyatakan "Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum." Artinya hukum harus berfungsi untuk melayani kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Hukum harus bertindak humanis, dengan mengetahui apa yang menjadi masalah utama, bukan sekedar memberikan sanksi seberat-beratnya.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur secara detail tentang bentuk-bentuk kekerasan yang bukan hanya sebatas fisik, namun juga psikis. Pasal 6-9, kekerasan dibedakan menjadi: 

Kekerasan fisik : perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis: perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang atau salah seorang yang menetap dalam lingkup rumah tangga untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Penelantaran: tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan atau perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Sebagai seorang Ibu rumah tangga, penulis mengecam dan mengutuk keras pelaku KDRT, namun sangat tidak adil jika kita harus menghukum orang tua yang emosi sesaat dengan membentak atau bersuara keras, karena kenakalan anaknya, justru berakhir balik jeruji. Berdasarkan defenisi kekerasan diatas, Hukum saat ini telah mempersamakan ekspresi kasih sayang dan kepedulian orang tua (melalui kemarahan) sebagai bentuk kekerasan (psikis) yang dapat dipidana. Sungguh ironi.

Mengatasi ketimpangan dalam penegakan hukum ini, diperlukan solusi efektif, diantaranya implementasi Teori PENA sebagai cara pandang yang membawa hukum kembali punya hati. Teori ini lahir dari pemikiran dan keprihatinan Penulis melihat banyak keluarga hancur karena salah penerapan hukum. PENA merupakan singkatan dari:

1.   Preventif: Hukum sebaiknya hadir sebelum masalah menjadi besar (mengantisipasi). Edukasi dan bimbingan lebih penting dari hukuman;

2.   Empatik: Hukum harus mendengar cerita di balik laporan, tidak semua orang yang melapor atau dilaporkan adalah penjahat. Hukum harus mampu bertindak bijak dengan menggali faktor penyebab (berkaitan dengan kebenaran materil);

3.   Nalar: Gunakan akal sehat, jangan samaratakan setiap konflik dibawa ke pengadilan;

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    Komentar

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved