Delegasi Sumut Sambangi Tiongkok

Mendialogkan Moderasi Beragama di Tiongkok

Adapun tujaun dari kunjungan tersebut adalah dalam rangka melihat kehidupan umat beragama di Tiongkok

Editor: iin sholihin
ISTIMEWA
KUNJUNGAN - Delegasi akademisi, tokoh agama dan media Sumut saat berkunjung ke Xinjiang Islamic Institute di Kota Urumqi, Provinsi Xinjiang, Republik Rakyat Tiongkok, Senin (02/06/2025) 

Oleh : Rektor UINSU Prof Dr Nurhayati dan Wakil Rektor Bidang Akademik UINSU Medan Prof Dr Azhari Akmal Tarigan
 
REKTOR UINSU Medan Prof Dr Nurhayati bersama Prof Dr Azhari Akmal Tarigan, Dr M Daud Faza beserta Prof Dr Syukri Albani Nasution mendapat undangan dari Konsulat Jenderal Tiongkok di Medan untuk mengikuti kunjungan ke Tiga Kota di Tiongkok, Zhengzhou, Xinjiang dan Beijing.

Adapun tujaun dari kunjungan tersebut adalah dalam rangka melihat kehidupan umat beragama di Tiongkok sekaligus memperkuat silaturrahim antar kedua negara khususnya antara lembaga-lembaga keagamaan di Tiongkok dan Lembaga Pendidikan Tinggi Islam di Sumatera Utara.

Turun hadir Bersama rombongan tersebut adalah Rektor UNIVA Prof Dr M Jamil MA, Wakil Rektor I UMSU, Dr Rudianto dan Sekretaris Yayasan Universitas Panca Budi dan Pesantren pimpinan Buya Amiruddin dan Sekretaris Ikatan Pelajar Al-Washliyah Irham Najhi.

Tidak ketinggalan perwakilan media massa nasional, Pemimpin Redaksi Tribun Medan Iin Sholihin SH. Sebagai pendamping sekaligus pemandu kegiatan adalah dari INTI bapak Indra Wahidin dan beberapa pengurus INTI lainnya.

Baca juga: Rektor UINSU Prof Nurhayati: Muslim Hui di Zhengzhou Tiongkok Luar Biasa

​Pertemuan tersebut menjadi menarik karena rektor dan rombongan tidak saja mendengar informasi perkembangan Islam di Tiongkok, kehdiupan keberagamaan khususnya di Xinjiang, tetapi juga Rektor UINSU berkesempatan untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang moderasi beragama di Indonesia sekaligus berbagi pengalaman dengan tokoh-tokoh agama Islam Tiongkok.

Ini adalah bukti nyata, bagaimana UINSU Medan ikut berkontribusi dalam menyemai keberagamaan yang moderat di dunia khususnya di Tiongkok.

FOTO BERSAMA - Wakil Ketua Majelis Ulama Tiongkok, Yang Wan Li, berfoto bersama delegasi Islam Sumut saat berkunjung ke Masjid Beida Zhengzhou di kawasan Distrik Guancheng Hui, Kota Zhengzhou, Provinsi Henan, Tiongkok pada Jumat (30/05/2025).
FOTO BERSAMA - Wakil Ketua Majelis Ulama Tiongkok, Yang Wan Li, berfoto bersama delegasi Islam Sumut saat berkunjung ke Masjid Beida Zhengzhou di kawasan Distrik Guancheng Hui, Kota Zhengzhou, Provinsi Henan, Tiongkok pada Jumat (30/05/2025). (TRIBUN MEDAN)

​Tentu yang menggembirakan adalah, informasi yang diberikan oleh tokoh-tokoh agama di Zengzhou dan Xinjiang yang menunjukkan kehidupan keberagamaan yang semakin harmonis di Tiongkok.

Paling tidak dua Lokasi yang dikunjungi yaitu, Henan dan Xinjiang menunjukkan betapa Masyarakat Tiongkok yang plural dari sisi suku dan agama dapat hidup berdampingan dan bersaudara sebagai sebangsa.

Setiap umat beragama memiliki hak yang sama untuk beribadah dan mengekspresikan keberagamaannya sepanjang tidak bertentangann dengan undang-undang yang berlaku. Pada saat yang sama mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga keutuhan negaranya.

​Secara sederhana, moderasi beragama adalah sebuah konsep hidup rukun dan damai di sebuah Masyarakat yang plural baik dari sisi suku dan tentu saja agama. Moderat yang bermakna Tengah dan seimbang,  adalah sebuah sikap beragama – bukan agama yang memang intinya moderat- yang tidak ekstrim kanan dan juga tidak ekstrim kiri.

Biasanya kanan menjadi konservatifisme, fundamentalisme bahkan cenderung radikal. Adapun ke kiri menjadi sangat liberal.

Keduanya sama-sama menjauh dari titik keseimbangan (tawasuth, tawazun) yang ada di dalam ajaran agama itu sendiri.  Moderat bukan saja menyangkut pada keberagamaan atau sikap beragama tetapi juga pemikiran dalam beragama itu sendiri. Dalam Bahasa yang berbeda kerap disebut seimbang dan adil sejak di dalam pikiran.

​Istilah lain yang juga digunakan adalah washat yang kemudian di formulasikan menjadi washatiyyah Islam. Memang ada kesulitan menterjemahkan kata itu. Apakah moderasi berislam, moderasi Islam atau Islam moderat.

Kementerian Agama tidak menggunakan istilah ini karena problem semantiknya. Akan tetapi MUI cenderung menggunakan istilah washatiyyah Islam. Menariknya kata washat itu disebut di dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 143, di dalamnya ada kata Washata.

Dari sinilah disebut-sebut bahwa washat yang kemudian menjadi wasit berasal dari Bahasa Arab yang bermakna berada di tenga. Wasit orang yang berada di Tengah. Tidak memihak kubu kanan dan kiri dan selalu adil dalam memberi Keputusan. Dan tidak kalah pentingnya adalah wasit harus melihat dari arah yang sama.

​Terlepas dari kata moderasi atau washatiyyah yang digunakan, pastiknya kedua kata ini tidak untuk dibenturkan. Keduanya adalah turunan konsep Islam rahmatan li al-‘Alamin, Islam yang hadir sebagai Rahmat bagi seluruh alam.

Segala hal yang tidak sesuai dan bertentangan dengan Rahmat, kasih-sayang, persaudaraan dan perdamaian (salam) maka itu bukanlah Islam. Justru Islam akan berada pada garda depan berhadapan dengan segala ketidakadilan, penindasan dan kekerasan.

​Merujuk kepada pengalaman Indonesia, di mana Islam menjadi agama mayoritas di Tengah Masyarakat agama lainnya seperti Kristen Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu, keberhasilan Indonesia menjaga kedamaian dan keharmonisan antar pemeluk agama adalah disebabkan konsep kerukunan dan kedamaian yang tumbuh sejak lama dan kemudian diformulasikan belakangan menjadi konsep moderasi beragama.

Umat beragama di Indonesia menyadari tidak ada formula yang tepat untuk menata dan menjaga kehidupan yang plural itu kecuali mengembangkan sikap yang moderat.

Sikap moderat membuat pemeluk agama menyadari dua level kehidupan keberagamaannya, internum dan eksternum. Tentu saja pada level internum, ke dalam dirinya, ia memang harus mengakui agamanya yang paling benar.

Karena tidak mungkin orang bisa beragama dengan baik tidak dibarengi keyakinan yang kokoh. Bagaimanapun juga ia harus meyakini Tuhannya sebagai yang hak dengan haqq al-yakin.

Namun pada wilayah eksternum, di mana pemeluk agama hidup dalam ruang-ruang sosial yang sama, di mana kebebasan masing-masing pemeluk agama akan bertemu pada ruang dan waktu yang sama pula, pada titik itulah ia tidak lagi memiliki kebebesan sepenuhnya untuk mengekspresikan keberagamaannya secara mutlak. Ia harus mempertimbangkan pemeluk agama lain.

​Di daerah Batak sekitar Balige ada peristiwa yang penulis kenang dan menjadi pengalaman yang sangat bergharga penulis. Saat itu hari Jum’at dan kebetulan salah satu warga Kristen yang hidup berdampingan dengan Masyarakat muslim, ada yang meninggal dunia.

Mereka tentu saja menyelenggarakan ritus keagamaannya juga tradisi budayanya. Nyanyian-nyanyian ruhani dan do’a dilantunkan dengn syahdu dan khusu’ sedemikian rupa sampai  menjelang azan Jum’at.

Ketika azan  mereka berhenti dan dari masjid berkumandang suara azan yang menandakan waktu shalat Jum’at sudah masuk. Suara azan masih terdengar di sekitar rumah penduduk. Pada saat khutbah Jum’at, semua pihak menahan diri.

Khutbah tidak menggunakan pengeras suara ke luar masjid dan mereka juga beribadah tidak menggunakan pengeras suara sampai shalat benar-benar selesai. Selesai shalat kita Kembali mendengar lagu-lagu ruhani yang penuh kesyahduan.

Bagi penulis, ini adalah contoh yang sangat penting tentang praktik moderasi beragama.
​Indonesia bukan tidak punya pengalaman buruk tentang kerukunan hidup beragama.

Sejarah mencatat peristiwa yang memilukan anak bangsa ketika kerukunan dan kedamaian terusik. Sebut saja misalnya kasus Ambon dan Poso. Tanpa melupakan kasus-kasus intoleransi lainnya baik antar kelompok Masyarakat yang mengatasnamakan agama, diskriminasi terhadap kepercayaan minoritas ataupun bentuk kekerasan lainnya.

Pengalaman buruk itu bukan saja menimbulkan trauma dan sakit yang mendalam bagi Masyarakat tetapi juga menimbulkan banyak  korban, baik itu harta benda terlebih lagi jiwa yang melayang tanpa alas yang hak.

Sungguh tidak ada yang diuntungkan kala itu. Tidak ada yang menang. Persis kata pepatah arang habis besi binasa. Kita sepenuhnya sadar, bukan agama sesungguhnya yang menjadi faktor latinnya.

Namun suka tidak suka, agama di bawa, dikomodifikasi, diseret untuk masuk sehingga yang tanpil ke permukaan -oleh oknomo tertentu- wajah-wajah agama yang tidak ramah. 

Pendek kata, dampak kekerasan abik karena perilaku agama ataupun atas nama agama, merugikan semua pihak, apakah negara terlebih lagi Masyarakat yang dilanda konflik.

​Indonesia belajar dari kasus-kasus intoleransi, kekerasan atas nama agama dan bentuk diskriminasi lainnya, untuk selanjutnya bertekad untuk tidak akan kembali ke peristiwa kelam itu.

Sebagai bangsa yang plural, tidak ada pilihan bagi bangsa Indonesia kecuali mengembangkan sikap-sikap keberagamaan yang tolerasn, rukun, saling memahami dan menghormati dan mengedepankan kepentingan Bersama sebagai anak bangsa. Kesadaran pluralitas itulah Kementerian Agama dan seluruh jajarannya merasa sangat perlu untuk mengembangkan sikap beragama yang moderat.

Bahkan hari ini, moderasi beragama tersebut akan terus dikembangkan dan diberi sentuhan baru ke dunia Pendidikan yang kemudian disebut dengan kurikulum cinta.

Kehidupan keberagamaan yang akan dikembangkan di Indonesia pada masa mendatang adalah cinta kepada Tuhan, cinta kepada orangtua, cinta kepada sesama, cinta kepada tanah air dan cinta kepada alam atau lingkungan.

Cinta akan menjadi titik pertemuan anak bangsa untuk menjaga negaranya dan memajukannya untuk mewujudkan kesejahteraan.

​Dalam konteks moderasi beragama di Tiongkok, kendatipun kata ini tidak menjadi kosa kata, sebenarnya apa yang dilakukan Tiongkok dalam dua sampai tiga decade belakangan ini juga cukup menggembirakan.

Informasi yang diterima dari tokoh-tokoh agama dan pemerintah lewat diskusi yang berkembang baik di Zingzho ataupun di Xinjiang menunjukkan kehidupan keberagamaan yang signifikan, yang kerap mereka sebut, kehidupan keberagamaan yang penuh toleransi dan damai di antara sesama warga bangsa.

Bahkan yang menarik dari perjalanan di Tiongkok, mereka para penganut umat beragama terutama yang muslim, sangat menyadari bahwa keberagamaan dan kebangsaan berada dalam satu tarikan nafas.

Seolah-olah mereka ingin mengatakan, menjadi warga negara yang taat dan patuh itu menyatu dengan komitmen menjadi umat beragama yang taat. Sebagai pemeluk agama dan warga bangsa tidak dapat dipisahkan.

​Tidak kalah menariknya, pemerintah Tiongkok sangat menyadari bangsa yang ingin melesat menjadi bangsa yang  termaju di dunia, maka kebersatupaduan dengan rakyat menjadi mutlak.

Sampai di sini, pemerintah Tiongkok hadir untuk memfasilitasi pemeluk agama apapun yang hidup di Tiongkok, apakah Islam, Kristen, Buddha, Katolik, dan lainnya.

Mereka memfasilitasi pemeluk agama untuk mendirikan rumah ibadah, menyediakan tempat pemakaman, fasilitas Pendidikan keagamaan dan lainnya. Semuanya dilakukan untuk menegaskan bahwa pemerintah hadir di tengah-tengah rakyatnya untuk memastikan kenyamanan, keamanaan, kesejahteraan dan tentu saja pengakuan akan keberadaan mereka sebagai warga negara.  

​Sebagaimana Indonesia, Tiongkok juga menyadari bahwa tantangan terbesar yang dihadapi terutama dua dekade lalu adalah masih adanya separatism dan para teroris yang mengganggu kedaulatan dan kedamaian yang selama ini telah terbangun di Tiongkok.

Kendatipun pendekatan keamanan tetap dilakukan, namun pendekatan kesejahteraan menjadi prioroitas.

Pemerintah bekerja keras membangun kemandirian ekonomi rakyatnya. Tidak kalah menariknya adalah, Tiongkok Kembali merajut “jiwa anak bangsa” melalui pendekatan budaya, tradisi atau nilai-nilai luhur yang sangat kaya dan menjadi Khazanah termahal sebagai sebuah bangsa. 

​Untuk yang disebut terakhir, penulis menyaksikan langsung di Museum di ZingZhou, museum itu dipadati oleh rakyat Tiongkok sehingga Lorong-lorong museum yang luas itu penuh sesak.

Penulis terhenyak betapa antusiasnya mereka ingin mengetahui akar Sejarah bangsa dan nenek moyangnya, Tentu mereka tidak bermaksud untuk Kembali ke masa lalu.

Tapi dari akar yang kuat kesadaran sebagai bangsa inilah yang menjadi modal utama bagi Tiongkok untuk terus maju dan maju sampai saat ini. (*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved