Samosir Terkini

Luka Mendalam pada Anak-Anak yang Terperangkap dalam Ketakutan, Pengerukan Rumah di Tepi Danau Toba

Kejadian yang mengerikan pada Senin (21/1/2025) di Desa Unjur, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Penulis: Arjuna Bakkara | Editor: Abdan Syakuro

TRIBUN-MEDAN.com, SAMOSIR - Kejadian yang mengerikan pada Senin (21/1/2025) di Desa Unjur, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, telah meninggalkan dampak yang mengerikan bagi keluarga Darma Sari Ambarita.

Bukan hanya rumah mereka yang dikelilingi parit besar hasil pengerukan tanah, tetapi lebih dari itu, anak-anak kecil mereka terperangkap dalam ketakutan yang menggerogoti jiwa mereka setiap hari.

Ketika Rettina Sihotang, istri korban, menceritakan kejadian ini, matanya dipenuhi rasa cemas.

Namun, yang paling menyentuh adalah kisah tentang kedua putri kecilnya, yang kini hanya bisa merasakan ketakutan yang mendalam akibat kejadian tersebut.

Rumah mereka yang sebelumnya aman dan nyaman kini bagaikan sebuah pulau kecil yang terkurung dalam parit, seperti sebuah penjara yang tak terlihat, tapi sangat nyata bagi hati anak-anaknya yang rapuh.

"Setiap kali anak-anak saya mendengar suara keras, mereka langsung menangis ketakutan. Mereka tak bisa lagi tidur dengan tenang, seolah-olah setiap suara yang datang adalah ancaman," cerita Rettina, suaranya pecah.

"Dulu mereka bisa bermain dengan riang di halaman, tapi sekarang mereka hanya duduk di dalam rumah, menatap keluar dengan ketakutan, seperti ada sesuatu yang mengintai di balik parit itu."

Bagi anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil penuh kebahagiaan, peristiwa ini mengubah segalanya.

Sekarang, setiap inci tanah di sekitar rumah mereka adalah sesuatu yang menakutkan, sebuah jurang yang mengintimidasi, memisahkan mereka dari dunia luar.

Parit yang mengelilingi rumah, hasil pengerukan tanah yang dilakukan dengan terburu-buru, telah menciptakan ruang yang mengekang kebebasan mereka.

Anak-anak yang dulunya berlari dan tertawa di halaman rumah kini hanya bisa menatap dengan penuh kecemasan ke jurang yang mengelilingi mereka, seakan setiap detik membawa ancaman yang tak terduga.

Rettina dengan sedih menggambarkan bagaimana kedua anaknya, yang masih sangat muda, tak lagi bermain seperti sebelumnya.

"Mereka takut keluar. Tak ada lagi keceriaan di mata mereka. Mereka takut rumah mereka akan runtuh, atau parit itu akan semakin dalam, membawa mereka pergi," ujarnya dengan lirih.

"Saya tidak bisa lagi mendengar tawa mereka tanpa merasa cemas."

Ketakutan yang menguasai hati anak-anak itu bukan hanya ketakutan terhadap suara keras, tetapi juga ketakutan terhadap ketidakpastian yang datang dengan setiap hujan, setiap guncangan tanah yang bisa membuat parit semakin lebar.

Bagi mereka, rumah yang dulunya menjadi tempat perlindungan kini menjadi pulau yang terkurung, tempat yang tidak lagi memberikan rasa aman, melainkan rasa terisolasi dan terjebak.

Rettina dan anak-anaknya hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang tidak pernah surut.

Bagi mereka, rumah yang seharusnya menjadi simbol kehangatan kini menjadi tempat yang menakutkan.

Setiap suara yang menggetarkan tanah, setiap gerakan di luar, membuat jantung mereka berdegup kencang.

Tidak hanya mereka yang merasakan dampaknya, tetapi masyarakat sekitar pun merasa tergerak untuk memberikan perhatian lebih pada kondisi psikologis keluarga ini, yang terperangkap dalam trauma mendalam.

Ketika Rettina mengungkapkan perasaan sakitnya melihat anak-anaknya tertekan oleh ketakutan ini, ia berharap ada harapan.

"Saya hanya ingin mereka kembali bisa bermain, tertawa, merasa aman di rumah mereka sendiri," katanya, menahan air mata yang hampir tumpah.

Kehidupan yang seharusnya ceria bagi anak-anak itu kini terhenti. Masa depan mereka yang penuh potensi menjadi terancam oleh bayang-bayang trauma yang menggerogoti setiap detik mereka.

Pemerintah dan masyarakat kini harus lebih peka terhadap dampak jangka panjang yang dialami anak-anak kecil ini.

Tidak hanya rumah mereka yang perlu diperbaiki, tetapi juga jiwa-jiwa kecil yang terperangkap dalam trauma yang sulit disembuhkan.

Kisah ini menjadi pengingat tentang betapa pentingnya untuk menjaga rasa aman dan kedamaian bagi anak-anak.

Masa kecil mereka seharusnya diisi dengan tawa dan kebahagiaan, bukan dengan ketakutan yang merusak masa depan mereka.

(jun/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved