Breaking News

Citizen Reporter

PILGUBSU 2024: Pemilih Cerdas, Pemimpin Berkualitas

Tinggal hitungan hari, tepatnya 27 November, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 digelar.

Editor: AbdiTumanggor
TRIBUN MEDAN/M DANIEL EFFENDI SIREGAR
DEBAT PUBLIK PILGUB - Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut nomor urut dua Edy Rahmayadi dan Hasan Basri (dua kanan) serta pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut nomor urut satu Bobby Nasution (kiri) dan Surya mengikuti debat publik ketiga Pilgub Sumut di Hotel Tiara Convention, Medan, Rabu (13/11/2024). 

Oleh Jadid Darari Lubis, S.Sos.

TINGGAL HITUNGAN HARI, tepatnya 27 November, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 digelar. Sebagaimana di daerah-daerah lain, masyarakat Sumut juga akan memilih pasangan Gubenur dan Wakil Gubernur yang akan memimpin provinsi ini lima tahun ke depan. Pemilihan ini menjadi sarana kedaulatan rakyat untuk menentukan masa depan Sumatera Utara. 

Selain proses penjaringan bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang berkualitas dan demokratis, birokrasi yang netral, penyelenggara yang independen, partisipasi dan kecerdasan pemilih menjadi faktor utama dalam melahirkan kepala daerah yang mumpuni dan teruji. Kecerdasan memilih menuntun pilihan pada pemimpin yang berkualitas.

Tidak sedikit kucuran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Sumut untuk memberikan sarana bagi kedaulatan rakyat ini. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut telah mengalokasikan dana dalam bentuk hibah kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp705 miliar, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebesar Rp223 miliar, Polri Rp49 miliar, dan TNI sebesar Rp22 miliar. Besarnya anggaran itu mencerminkan besarnya harapan Pilgubsu 2024 bisa melahirkan pemimpin berkualitas, pemimpin yang lahir dari pilihan cerdas para pemilih.  

Sebagai salah satu lembaga penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut harus bekerja keras melaksanakan pemilihan ini secara demokrasi berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Komisioner juga mesti konsisten menjaga agar penyelenggaraan pemilihan setia berpegang pada prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.  

Satu per satu tahapan pemilihan pun dilalui. Perencanaan program dan anggaran telah tersusun, sebanyak 455 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang terdiri 2.275 anggota, 6.110 Panitia Pemungutan Suara yang terdiri dari 18.330 anggota, dan 25.223 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dilengkapi dengan 176.561 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) telah dibentuk. Selain itu, KPU Sumut juga telah menyusun, memutakhirkan, dan menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilgubsu 2024, yakni sebanyak 10.771.496. 

Komisi Pemilihan Umum Sumut juga telah menerima pendaftaran, meneliti, dan menetapkan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara, yakni Muhammad Bobby Afif Nasution, S.E., M.M. & H. Surya, B.Sc nomor urut 1 dan H. Edy Rahmayadi & Hasan Basri Sagala, M.Si nomor urut 2. Dalam masa kampanye yang berlangsung 25 September sampai dengan 23 November 2024, KPU Sumut juga berhasil menggelar Debat Publik antarpasangan calon sebanyak tiga kali, yakni pada 30 Oktober, 6 November, dan 13 November.

Melalui debat publik ini, KPU Sumut memberi ruang kepada masing-masing pasangan calon menyebarkanluaskan profil, visi, misi, dan program kerjanya. Debat publik ini juga bertujuan untuk memberikan informasi sekaligus menggali lebih dalam dan luas visi, misi, serta program kerja pasangan calon. Kegiatan ini sekaligus menjadi salah satu bahan pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihannya. 

Setelah masa kampanye yang dilanjutkan tiga hari masa tenang, tibalah hari yang menentukan: 27 November 2024, hari pemungutan suara! Hari itu hak suara dinyatakan melalui pilihan di surat suara. Dari bilik suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), rakyat menegakkan kedaulatannya, mengevaluasi sekaligus memilih pemimpinnya secara cerdas.  

Setidaknya ada dua musuh utama pemilih cerdas, yakni hoaks dan politik uang. Keduanya kejahatan yang merusak demokrasi, lahir dari ambisi berlebihan meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Para pelakunya tidak peduli bahwa pilkada juga sarana pembelajaran demokrasi bagi rakyat. Demokrasi pun jadi basa-basi pemanis orasi politik. Semangat kedaulatan rakyat pun jadi cacat.

Hoaks

Sebagai sebuah istilah, hoaks telah populer. Masyarakat Indonesia, termasuk di Sumut, mengartikan hoaks sebagai kabar bohong, berita palsu, informasi yang penuh rekayasa, berisi hasutan, juga fitnah. 

Robert Nares, filsuf yang hidup pada kurun waktu 1753-1829, memperkenalkan istilah hoaks melalui bukunya, A Glossary: Or, Collection of Words, Phrases, Names and Allusions to Customs. Dalam buku yang terbit 1822 di London itu, Nares mengatakan, hoaks berasal dari hocus, sebuah kata Latin yang mengacu pada mantra para penyihir, hocus pocus. Nares mengartikan hocus sebagai to cheat atau menipu. Namun pengertian “menipu” ini dalam tujuan menghibur. Kabar bohong itu sengaja dibuat untuk melucu. Motifnya canda atau kelakar. Salah satu contoh yang paling jelas, menurut Robert Nares,  April Fool Day atau April Mop. Pada hari yang jatuh pada tanggal 1 April itu, orang boleh membuat orang terkecoh dengan kabar palsu. 

Politik telah merampas kelakar dari  hoaks. Tak ada lagi canda, tak ada lagi kelucuan. Yang ada hanya hasutan, fitnah, dan informasi membingungkan, bahkan menyesatkan. Hoaks  berisikan informasi tidak berdasar, bisa pula informasi yang dipelintir sesuai dengan kepentingan pelakunya. Dalam persaingan politik yang tidak sehat, hoaks digunakan untuk membunuh karakter atau menjatuhkan reputasi lawan. 

Biang hoaks juga jeli memanfaatkan internet untuk menyebarkan kebohongan yang dikemas dengan teks maupun gambar serta video tersebut. Hoaks pun beredar melalui media sosial, termasuk aplikasi mengobrol (chatting).

Mengacu kepada hasil penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024, dari 278 juta lebih populasi penduduk Indonesia sebesar 79,50 persen atau 221,56 juta pengguna internet. Penelitian itu menunjukkan, internet paling banyak  digunakan untuk mengakses media sosial, lalu disusul informasi dan berita, serta layanan publik.

Data penelitian juga menunjukkan media sosial yang paling sering diakses oleh warga Indonesia ialah Facebook dengan persentase 64,35 persen, Youtube 50,84 persen, Tiktok 34,36 persen, dan Instagram 29,68 persen. Sedangkan media obrolan (chat) yang paling sering digunakan ialah Whatsapp dengan persentase 97,86 persen, disusul oleh Facebook Messenger 45,66 persen, Instagram Direct Messenger 11,31 persen, dan Telegram 8,70 persen.

Penelitian ini juga menemukan media sosial Facebook, Youtube, Tiktok, Instagram, Twitter paling sering terpapar hoaks dengan persentase 83,11 persen, disusul media obrolan Whatsapp, Facebook Messenger, Instagram Direct Messenger, Telegram 40,45 persen, dan situs berita 15,48 persen. Sedangkan kategori informasi hoaks yang sering ditemui ialah informasi politik sebesar 49,51 persen, disusul infotaiment 30,58 persen, kejahatan 23,01 persen, ekonomi/keuangan 21,06 persen, dan pemerintahan 20,75 persen. 

Menyandingkan hasil kedua survey ini, tampak jelas para penyebar hoaks begitu memahami perilaku warganet (netizen). Saat warganet senang beraksi di media sosial, di media sosial pula mereka beraksi. Saat warganet senang bermain di ruang-ruang mengobrol, ke sana pula mereka bermain. Mereka tidak hanya mengemas hoaks dalam bentuk tulisan, tetapi juga gambar/foto dan video, karena mereka tahu warganet selain suka mengobrol dan berkutat di media sosial, juga gemar melihat gambar/foto dan video. 

Alhasil, rasionalitas dalam memilih pun hilang. Kehebohan pilkada bukan lagi akibat perdebatan visi-misi maupun program para kandidat, melainkan sensasi semu yang dangkal dan niretika. Hoaks menjadi provokasi yang menyuburkan perasaan sektarian, menjadi bensin memarakkan api kebencian. 

Kondisi mencemaskan ini makin diperparah oleh kebiasaan sebagian warganet membagikan informasi yang diterima tanpa lebih dahulu memeriksa kebenarannya. Jangankan memeriksa kebenarannya, tidak sedikit pula warganet belum membaca tuntas informasi yang dibagikannya. 

Kerawanan ini tentu harus disikapi. Dan pemilih yang cerdas sudah tentu memiliki kecakapan digital dan nalar kritis sehingga hoaks tidak berdaya menyebarkan hasut dan provokasi. 

Politik Uang

Sama dengan hoaks, praktik politik uang juga gangguan serius dan kejahatan pada demokrasi. Kejahatan ini bukan saja bisa dilakukan oleh kandidat selaku “pembeli” suara dan pemilih yang “menjual” suara. Penyelenggara (KPU maupun Bawaslu) dari berbagai tingkatan juga berpotensi terjerumus, yakni dengan memanipulasi hasil perolehan suara dan membuat keputusan yang berpihak. Tidak hanya itu, pihak partai politik juga rentan “bermain” politik uang dalam tahapan pencalonan atau yang dikenal dengan istilah “uang perahu” atau “mahar politik”.

Politik uang membuat pilkada menjadi pasar haram. Di pasar ini terjadi jual-beli suara antara pemilih dengan pihak kandidat. Ada pemilih yang menunggu datang pembeli suara. Ada juga pemilih yang proaktif mencari pembeli suara. Ini kenyataan, tidak bisa dibantah. Sebagian besar masyarakat di pedesaan, terutama dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah, berharap pihak kandidat yang membeli pilihannya. Pemilih itu akan merasa tidak beruntung jika tak ada tim kandidat membeli suaranya. 

Begitu mengerikan daya rusak politik uang. Kejahatan ini membuat pemilih tidak lagi rasional dalam memilih, tidak lagi melihat jejak rekam, kinerja, maupun program yang ditawarkan para kandidat. Pilihan tergantung kepada uang yang djanjikan atau diberikan kandidat. Partisipasi pemilih bukan lagi partisipasi yang sadar, cerdas, jujur, dan bertanggung jawab.

Bagi kandidat, politik uang membuat mereka merasa tidak perlu lagi punya gagasan, punya visi-misi maupun program yang tepat dan dapat direalisasi. Yang penting bisa bagi-bagi uang dan memegang komitmen pemilih untuk memilihnya pada hari pemungutan suara. Kandidat lebih konsentrasi memperbesar modal agar bisa melancarkan politik uang.

Selain mencederai demokrasi, praktik politik uang ini berisiko melahirkan kepala daerah yang rentan terjebak tindak pidana korupsi. Hal ini juga dinyatakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak saat peluncuran Roadshow Bus KPK 2024 di Surabaya pada 13 Juni 2024 (https://www.tempo.co/pemilu/saat-kpk-ajak-masyarakat-tolak-pemberian-uang-di-pilkada-lewat-roadshow-bus-49192). Dia mengatakan, pemberian sesuatu dari calon kepala daerah kepada rakyat saat pemilihan adalah awal dari suatu tindak pidana yang akan dilakukan di kemudian hari. Ketika terpilih, yang bersangkutan akan mengupayakan bagaimana caranya mengembalikan uang yang sudah dia keluarkan. Mengamati kasus tindak pidana korupsi yang sering terjadi, tambahnya, kepala daerah terpilih sering kali meminta kewajiban setoran kepada setiap organisasi perangkat daerah (OPD). "Kalau mau jadi Kepala OPD, tapi begini, harus bayar berapa dulu, nah…," ujarnya memberi contoh.

Hal ini juga dinyatakan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief sebagaimana dilangsir Situs Pusat Edukasi Antikorupsi aclc.kpk.go.id, 17 Februari 2023 (https://aclc.kpk.go.id/aksi-infmasi/Eksplorasi/20230217-waspadai-bahaya-politik-uang-induk-dari-korupsi).  Dia mengatakan, figur yang terpilih karena korupsi politik ini juga akan mendorong terjadi korupsi di sektor-sektor yang lain. Ini terjadi karena figur tersebut mengumpulkan uang “balik modal” yang dikeluarkannya selama kampanye. 

Pemilih cerdas tentu tidak boleh lengah dan terlena dengan godaan politik uang. Harus ada upaya untuk mencegah praktik politik uang ini tidak leluasa menganiaya demokrasi. Diam, membiarkan kejahatan ini terus berlangsung sama dengan menyuburkan korupsi dan menghancurkan kepercayaan kepada sistem demokrasi.

Solusinya...

Jelas dan tidak bisa dibantah, hoaks dan politik uang kian gencar menyerang dalam setiap pilkada. Ini bukan ketakutan tidak berdasar. Fakta dari berbagai penelitian telah membuktikannya. Tinggal bagaimana kita bertindak mengantisipasi kejahatan terhadap demokrasi ini. Tanggung jawab bukan hanya terletak di pundak KPU maupun Bawaslu, namun juga berbagai instansi terkait dan masyarakat.

Seiring dengan sosialisasi, investigasi untuk menemukan bukti dan pelaku praktik politik uang harus juga gencar dilakukan. Akses informasi perkembangan kasus politik uang juga dibuka. Transparansi penanganan kasus ini mencegah terjadi nego-nego tertentu, sekaligus menimbulkan kepercayaan masyarakat pada ketegasan aparat dalam menindak pelaku sesuai ketentuan yang diatur undang-undang.

Sosialisasi sanksi pidana diiringi tindak tegas aparat bisa dilakukan sesegera mungkin. Namun, jangan melupakan penyelesaian jangka panjang, yakni menumbuhkembangkan kesadaran politik masyarakat melalui pendidikan politik. Kesadaran politik ini akan menjadi benteng menepis serangan hoaks dan politik uang dalam setiap perhelatan demokrasi.

Ada harapan partai politik menjalankan fungsi memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Namun, sepertinya harapan itu belum terwujud dengan baik. Ironisnya, malah partai politik ikut mempolitisasi berbagai isu dalam bentuk hoaks untuk menyerang lawan politiknya. 

Pendidikan politik ini tentunya harus berkelanjutan. Tidak sementara. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menjadikan pendidikan politik sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah tingkat menengah. Kalau pun masih sulit menjadikannya mata pelajaran karena mungkin belum sesuai dengan kurikulum, pendidikan politik di sekolah ini bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. 

Materi yang dipelajari tentunya mengikuti perkembangan politik nasional dan lokal lalu menyandingkannya dengan pemahaman peran dan tanggung jawab politik setiap warga negara. Tujuannya bukan untuk menjadikan mereka politisi, melainkan kesadaran bahwa politik seyogianya bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. 

Di samping  itu perlu dikembangkan literasi digital agar masyarakat memiliki kecakapan dan kearifan dalam mengonsumsi maupun menyebarkan informasi. Dengan literasi media, masyarakat mempunyai kecerdasan saat berhadapan dengan pesan-pesan yang bertebaran di berbagai media.

Pemilih cerdas tentu akan memeriksa kebenaran segala informasi yang masuk ke media sosial dan ruang mengobrol. Mereka tahu hoaks sengaja disebar untuk menjatuhkan reputasi pasangan calon tertentu. Mereka akan berhati-hati saat menerima sebuah berita berjudul bombastis, provokatif, serta menuding pihak tertentu tanpa konfirmasi. Mereka juga memeriksa sumber dan institusi pembuat berita. Mereka tidak akan percaya jika berita itu hanya satu sumber, mereka mencari perbandingan ke situs web yang sudah teruji dan tidak latah membagikan hoaks.

Pendidikan politik yang melahirkan pemilih cerdas ini juga membuat politik uang tidak berkutik. Para pemilih paham dan menghayati kerusakan yang akan terjadi jika memilih karena uang atau iming-iming lainnya. Para pemilih cerdas ini sangat mengerti bahwa politik uang hanya akan membuat korupsi semakin merajalela dan menodai sistem demokrasi. Karena itu, pemilih cerdas tidak akan sembarangan memilih. Mereka akan mencari tahu jejak rekam pasangan calon, lengkap dengan visi, misi, dan program kerjanya. 

Dengan meningkatnya jumlah pemilih cerdas di Sumut, didukung integritas penyelenggara, kesiapan aparat kepolisian dan TNI menjaga keamanan, serta birokrasi yang netral, maka harapan melahirkan pemimpin berkualitas bukanlah mimpi. Mari!

(Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Karya Tulis Pilkada 2024 di Provinsi Sumatera Utara).

Penulis adalah Alumni FISIP USU dan Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan Medan Barat pada Pemilihan Umum 2024.

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved