Berita Nasional
PPN 12 Persen Berlaku 2025, Tertinggi di Asia Tenggara, Menkeu Sebut Sesuai UU dan Demi APBN Sehat
Dengan tarif baru PPN 12 persen, Indonesia menempati peringkat pertama bersama Filipina, sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara
TRIBUN-MEDAN.com - Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Rencana ini kembali menjadi sorotan di tengah penurunan daya beli masyarakat.
Meski banyak yang keberatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani berdalih tarif PPN 12 persen merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut dia, pemerintah perlu menambah pos-pos penerimaan agar APBN bisa tetap sehat.
Diketahui, PPN merupakan salah satu pajak yang wajib dibayarkan masyarakat saat melakukan transaksi jual beli yang masuk dalam ketegori objek BKP (Barang Kena Pajak) atau Jasa Kena Pajak (JKP).
Sebelum tahun 2022, PPN di Indonesia awalnya adalah 10 persen. Di era pemerintahan Presiden Jokowi, tarif PPN kemudian naik menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Berikutnya mulai 1 Januari 2025, PPN akan kembali naik menjadi 12 persen.
Dengan tarif baru pajak PPN 12 persen, Indonesia menempati peringkat pertama bersama dengan Filipina, sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di regional Asia Tenggara.
Di negara lain, PPN dikenal dengan value-added tax (VAT) atau nama lainnya, goods and services tax (GST).
Mengutip data Worldwide Tax Summaries yang dirilis konsultan keuangan dunia, PricewaterhouseCoopers (PwC), berikut tarif PPN atau VAT negara-negara Asia Tenggara:
Kamboja: 10 persen
Indonesia: 11 persen (jadi 12 persen pada 2025)
Laos: 10 persen Malaysia: Sales tax 10 persen dan service tax 8 persen
Filipina: 12 persen
Singapura: 7 persen
Thailand: 7 persen
Brunei: 0 persen
Vietnam: 5 persen dan 10 persen (two tier system)
Myanmar: 5 persen (bisa naik sampai 100 persen untuk beberapa barang/jasa)
Timor Leste: PPN dalam negeri 0 persen, PPN barang/jasa impor 2,5 persen.
Sebagai pembanding lain di kawasan Asia, Jepang menerapkan VAT sebesar 10 persen, Korea Selatan 10 persen, dan Australia 10 persen.
Sementara China dan India menerapkan VAT yang bervariasi tergantung jenis barang/jasa.
China misalnya menerapkan VAT dalam tiga kategori 6 persen, 9 persen, dan 13 persen. Sementara India tarif VAT antara 5 persen sampai tertinggi 28 persen.
Di Indonesia, PPN juga merupakan penerimaan pajak terbesar di urutan kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh). Data Kementerian Keuangan, PPN bersama dengan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) menyumbang penerimaan negara sebesar Rp 764,3 triliun sepanjang tahun 2023.
Anggota Komisi XI DPR RI Muhammad Kholid meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk meninjau ulang rencana kenaikan tarif PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang.
Kholid melihat pertumbuhan ekonomi nasional saat ini sedang melambat dan daya beli masyarakat cenderung melemah. Kenaikan PPN jadi 12 persen dinilai bukan kebijakan yang tepat. "Hal itu akan semakin memukul daya beli masyarakat," ujar Kholid di Jakarta, Jumat (15/11/2024).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen year on year (yoy). Konsumsi rumah tangga juga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.
Di samping itu, Indonesia juga mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei sampai bulan September 2024.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Oktober yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ada di angka 121,1, turun dari IKK September sebesar 123,5. "Artinya, ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan," tuturnya.
Data Kemenaker, per Oktober 2024, ada sebanyak 59.796 orang di-PHK, naik 31,13 persen dari tahun lalu. Data BPS, per Agustus 2024, proporsi pekerja penuh waktu (yang bekerja sedikitnya 35 jam seminggu) turun dari 68,92 persen ke 68,06 persen, sementara setengah pengangguran (yang bekerja di bawah 35 jam seminggu) naik dari 6,68 persen ke 8 persen.
Tidak hanya itu, jumlah kelas menengah juga menyusut tajam. Ini merupakan pertanda bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. “Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Jadi, rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan," kata Kholid.
Kholid menambahkan bahwa untuk meningkatkan rasio pajak, menaikkan tarif seperti PPN bukan satu-satunya pilihan. Pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan dari sektor-sektor tertentu.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada kuartal III-2024, penerimaan pajak dari sektor Industri Pengolahan tumbuh negatif sebesar 6,3 persen secara netto dan 0,4 persen secara bruto dari tahun ke tahun. Sementara penerimaan pajak sektor pertambangan turun signifikan, sebesar 41,4 persen secara netto dan 28,3 persen secara bruto.
Pemerintah juga bisa memperluas basis pajak dengan mengkaji potensi penerimaan baru dari shadow economy dan menekan kebocoran dari perilaku penghindaran dan penggelapan pajak, termasuk transfer pricing.
Pemerintah dengan persetujuan DPR RI memiliki kewenangan untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12 persen karena ada ruang manuver kebijakan, di mana rentang penurunan dan kenaikan PPN ada di angka 5 persen sampai 15 persen.
"Jika pemerintah dan DPR sepakat, kita bisa menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen di awal tahun 2025 mendatang," terang Kholid.
Dampak Kenaikan PPN
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai rencana pemerintah menetapkan PPN 12 persen akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut dia, jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN tentunya akan menambah biaya produksi.
"Ketika biaya produksi dibebankan pada produk akhir dan terjadi kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen, maka otomatis akan terjadi secara masif konsumen akan mengurangi pengeluaran belanja yang lain,” ujar Tauhid dalam keterangannya, Rabu (13/11/2024).
Karena kenaikan satu produk ke produk yang lain akan memiliki implikasi terhadap double counting dalam perhitungan PPN. Di mana ketika barang tersebut berada pada satu tangan ke tangan yang terakhir dikhawatirkan akan menjadi beban.
“Kenaikan PPN tentunya akan memiliki konsekuensi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi. Di antaranya tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, kemudian memberi efek negatif bagi perusahaan atau industri yang sangat sensitif terhadap kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen. Dan dikhawatirkan juga akan menurunkan lapangan pekerjaan,” beber Tauhid.
Lebih lanjut Tauhid mengatakan, jika dipelajari dari kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10 persen ke 11 persen, ada tambahan penerimaan negara di atas Rp 100 triliun.
Akan tetapi mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi terutama konsumsi masyarakat di tahun 2024, dan ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya.
Terkait dengan hal itu, INDEF merekomendasikan agar pemerintah menunda kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi.
Sebab, di banyak negara, PPN tidak juga harus sebesar 12 persen. Bahkan sejumlah negara masih mengenakan tarif PPN hanya 10 persen.
Ekonom Center of Economic and Law Studies Nailul Huda mengatakan, penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 membuat masyarakat makin terbebani karena terjadi pelemahan daya beli masyarakat.
Ia menjelaskan, pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan III 2024 dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen secara year on year.
Selain itu, data dari PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga menunjukkan, pelaku UMKM mengalami penurunan omzet hingga 60 persen pada tahun ini.
“Sedangkan secara quarter-to-quarter, konsumsi rumah tangga turun -0,48 persen. Kita mengalami deflasi lima bulan secara berturut-turut (Mei-September),” jelasnya Nailul kepada Kompas.com, Sabtu (16/11/2024).
Harga Tiket Pesawat Naik
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra, mengatakan maskapai penerbangan tentunya akan menyesuaikan harga tiket pesawat bila memang ada kenaikan PPN.
"Siap-siap ada PPN naik jadi 12 persen sudah pasti bikin naik harga tiket pesawat," ujar Irfan di Cengkarang Tangerang dikutip pada Jumat (15/11/2024).
Irfan menyebut PPN merupakan salah satu komponen penambah harga tiket pesawat, di luar tarif yang sudah ditetapkan maskapai.
Dengan kenaikan PPN dari awalnya 10 persen, lalu naik jadi 11 persen, dan kembali naik jadi 12 persen, tentu akan memaksa maskapai menaikkan harga tiket pesawat.
"Yah pasti naik memang, kalau itu semua naik yang mau nanggung biaya kenaikannya siapa coba? Yah pasti ke orang yang mau terbang itu juga kan," tegas Irfan. (*)
| RESMI Daftar Mobil dan Motor Dilarang Isi Pertalite di SPBU, Berikut Kendaraan yang Diperbolehkan |
|
|---|
| Fakta-fakta Konflik PBNU, Gus Yahya Pernah Bertemu Netanyahu, Mengaku Datang Demi Palestina |
|
|---|
| Profil Gus Yahya, Juru Bicara Gusdur yang Mulai Didesak Mundur dari Jabatan Ketua PBNU |
|
|---|
| Fakta Seputar Polemik Lift Kaca Pantai Kelingking Senilai Rp 60 M yang Bakal Dibongkar Gubernur Bali |
|
|---|
| Hasan Nasbi Bela Jokowi Kasus Ijazah, Pidanakan Roy Suryo cs Demi Jaga Nama Baik: Yakin Bisa Menang |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Kenaikan-Gaji-TNI-Polri-sri-mulyani.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.