TRIBUN WIKI
Isi TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 yang di Dalamnya Ada Nama Soeharto, dan Kini Dicabut
TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 berisi tentang perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari KKN. Memuat nama Soeharto
TRIBUN-MEDAN.COM,- Pemcabutan nama Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 atau TAP Nomor XI/MPR/1998 tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat dan kalangan elite politik.
Muncul pro kontra di masyarakat mengenai hal itu.
Namun yang perlu diketahui, apa sebenarnya isi TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 atau TAP Nomor XI/MPR/1998 tersebut?
Kenapa kemudian menjadi polemik.
Adapun TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 memuat perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Ketentuan tersebut secara eksplisit mencantumkan nama mendiang presiden kedua RI, Soeharto.
Dalam Pasal 4 Tap MPR yang diteken Ketua MPR Harmoko pada 13 November 1998 itu secara khusus menyebutkan, upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat.
Termasuk, terhadap mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Pencabutan Nama Soeharto
Nama Soeharto kemudian dicabut setelah MPR RI mengadakan rapat gabungan pada 23 September 2024 lalu.
Pencabutan itu berdasarkan permintaan Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), yang disampaikan melalui surat tanggal 18 September 2024.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, meski nama Soeharto dicabut, Tap MPR masih berlaku secara yuridis.
"Status hukum TAP MPR Nomor XI tahun 1998 tersebut dinyatakan masih berlaku oleh TAP MPR Nomor I/R 2003," kata dia, dikutip dari Kompas.com.
Hanya saja, proses hukum terhadap Soeharto sesuai Pasal 4 TAP MPR XI/MPR/1998 dianggap selesai karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.
"Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tersebut, secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” ujar Bamsoet.
Komentar Yusril Ihza Mahendra
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pencabutan nama Presiden ke-2 Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998, yang berisi perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), merupakan keputusan yang sangat penting.
Yusril menekankan pentingnya menghargai pemimpin di masa lalu.
"Memang ini suatu keputusan penting untuk bangsa dan negara kita. Sebab kita ini menghargai para pemimpin kita di masa lalu. Karena pemimpin itu harus kita tempatkan pada konteks zamannya. Kita tidak bisa menilai masa yang lalu dengan masa kini," ujarnya di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat (27/9/2024) malam.
Yusril juga menjelaskan bahwa pada hari ini, Sabtu (28/9/2024), pimpinan MPR akan bersilaturahmi dengan keluarga Soeharto.
Ia mengaku diundang untuk menghadiri silaturahmi tersebut sebagai sosok yang pernah membantu Soeharto.
Namun, Yusril menyatakan permohonan maaf karena tidak dapat hadir.
"Karena saya ada kegiatan yang sudah dijadwalkan. Tapi saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan MPR," ungkapnya.
Menurut Yusril, keputusan ini membuka peluang bagi Presiden untuk memberikan anugerah gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Ia juga menyarankan agar gelar serupa diberikan kepada Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang namanya juga dicabut dari TAP MPR.
"MPR itu hanya menyatakan bahwa TAP terkait dengan Gus Dur itu sudah selesai. TAP terkait dengan Pak Harto malah sudah dilaksanakan. Bahkan disebutkan secara tegas Pak Harto kan, dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, disebutkan itu mengambil suatu langkah hukum terhadap Pak Harto, keluarga, dan kroni-kroninya itu yang disebut. Terhadap Pak Harto-nya sendiri itu sudah selesai," jelas Yusril.
"Dan saya merupakan saksi sejarah tentang hal itu. Karena pada waktu saya jadi Menteri Kehakiman, hakim-hakim itu masih di bawah saya pada waktu itu. Pak Harto tapi tidak bisa diadili. Dan ketika saya jadi Mensesneg saya bertemu Pak Harto di RS Pertamina pada waktu itu. Dan Pak Harto berbicara pribadi dengan saya, mengenai status beliau yang sampai saat itu masih terdakwa," sambungnya.
Mensesneg di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia menyebut keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Soeharto juga sudah disetujui SBY.
"Pemerintah ambil keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Pak Harto karena beliau memang tidak bisa diadili," kata Yusril.
"Jadi sebenarnya TAP MPR itu sendiri memang betul sudah dilaksanakan. Apalagi beliau sudah berpulang, sudah tidak ada lagi. Secara pidana kan tidak mungkin menuntut orang yang sudah meninggal," imbuhnya.(tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
| Profil Prof Yohanes Surya, Fisikawan yang Pilih Mundur dari Jabatan Komisaris Independen PT Telkom |
|
|---|
| Profil Petrus Fatlolon, Eks Bupati Tanimbar yang Dulunya Dosen, Kini Masuk Penjara |
|
|---|
| Profil dan Agama Aisha Retno, Penyanyi Keturunan Indonesia yang Sebut Batik dari Malaysia |
|
|---|
| Profil Andi Syaqirah Jainal atau Syaqirah Sidrap, Pedangdut dengan Julukan Ratu Penghayatan |
|
|---|
| Profil Gabriel Han Willhoft, Pesepak Bola Berdarah Indonesia Gantung Sepatu di Usia Muda |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Soeharto-masa-tua.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.