Berita Viral

TERNYATA Ini Penyebab Minimnya Dokter Spesialis di Indonesia: Perundungan Berkedok Pendidikan Mental

Kesaksian calon dokter spesialis yang sempat berusaha bunuh diri karena perundungan dijustifikasi atas nama pendidikan mental.

|
Editor: AbdiTumanggor
Ilustrasi
Penyebab Minimnya Dokter Spesialis di Indonesia: Kesaksian calon dokter spesialis yang sempat berusaha bunuh diri – Perundungan dijustifikasi atas nama pendidikan mental. (Ilustrasi dokter) 

David dan kawan-kawan pun kerap diminta membelikan berbagai kebutuhan pribadi senior, termasuk makanan dan tiket pesawat.

"Mereka kadang menganggap kita benar-benar kayak personal assistant mereka. Jadi apa pun yang mereka minta, mau sekonyol apa pun, ya itu kita kerjain," kata David.

Menurutnya, masa-masa perundungan paling parah oleh senior adalah di semester pertama, saat anak-anak baru masih dianggap sebagai "keset".

"Pokoknya semua kotoran orang disikat di kita. Terus nanti kalau sudah mulai naik semester, ya mulailah agak sedikit-sedikit manusiawi," ujarnya.

"Terus kalau sudah semester atas, ya sudah suka-suka kita aja. Mau kita yang salah juga biasanya enggak disalahin ke kita, dilempar aja ke yang bawah."

Namun, itu tak berarti kehidupannya baik-baik saja setelah melewati semester 1.

David bilang, meski beban perundungan berkurang—tidak benar-benar hilang, beban pendidikan dan pelayanan sebagai calon dokter spesialis justru bertambah.

Misal, di semester 3 dan 4 biasanya mahasiswa PPDS sibuk mempersiapkan pasien untuk operasi, sementara di semester-semester selanjutnya mereka mulai mengoperasi sendiri.

Pada saat yang sama, para senior disebut selalu siap "meneror" para junior.

Sedikit kesalahan saja, katanya, bisa berujung ke bentakan dan makian.

"Itu hal yang lumrah. Dan akhirnya kita berusaha untuk berbuat sempurna bukan karena dorongan untuk melayani, tapi dorongan teror dari senior," kata David.

"Pokoknya cara paling gampang buat menggambarkan keadaan pendidikan kedokteran itu, anggap saja kami itu tentara tapi enggak pakai seragam."

Beban kerja dan ekspektasi yang tinggi, ditambah lingkungan yang tak nyaman karena tekanan bertubi-tubi dari para senior, lantas membuat David kerap mempertanyakan dirinya sendiri.

Ia merasa "tidak pantas", tidak cukup baik menjalani pekerjaannya.

Pada satu titik, ia kalut. Ia tak tahan lagi, dan berusaha bunuh diri.

Sumber: bbc
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved