Catatan Olimpiade

Emas-emas Itu, Setelah 32 Tahun

Rizki menangis di South Paris Arena. Para pelatihnya, juga suporter Indonesia yang menempati satu sektor tribun, ikut menangis.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Randy P.F Hutagaol
AFP LUIS TATO/FABRICE COFFRINI/MIGUEL MEDINA
Foto Gregoria Mariska Tunjung, Veddriq Leonardo, dan Rizki Juniansyah, saat menerima medali di Olimpiade Paris 2024. 

LAMPU yang menunjukkan tanda panah ke bawah, penanda barbel dapat diturunkan, telah menyala hijau. Bel berbunyi nyaring. Waktu tersisa 0,22 detik. Rizki Juniansyah menghempaskan barbel seberat 199 kilogram itu, lalu menelungkup di lantai, menangis.

Rizki menangis di South Paris Arena. Para pelatihnya, juga suporter Indonesia yang menempati satu sektor tribun, ikut menangis. Namun rasa-rasanya memang bukan hanya mereka. Pada momentum puncak pertandingan cabang angkat besi Olimpiade kelas 73 kilogram itu, yang berlangsung Kamis malam, 8 Agustus 2024 waktu Paris, Prancis, atau Jumat dinihari waktu Indonesia (sekitar 03.00 WIB), tiap orang yang masih terjaga di negeri ini pasti ikut menangis juga. Haru yang menyergap membuat bulu kuduk meremang.

Total Rizki mengangkat 354 kilogram. Perinciannya, 155 kilogram untuk angkatan snatch dan 199 kilogram untuk clean and jerk. Angka-angka pada angkatan ini turun jika dibandingkan torehan Rizki di kejuaraan dunia angkat besi (IWF World Cup) 2024 di Phuket, Thailand, 4 April. Kala itu, total angkatan Rizki mencapai 365 kilogram: 164 kilogram snatch dan 201 kilogram pada angkatan clean and jerk.

Namun siapa yang peduli? Menurun atau tidak, menyentuh atau memecahkan rekor dunia atau tidak, bagi kita rakyat Indonesia, sejujurnya memang tak terlalu penting. Kemenangan ini saja sudah lebih dari cukup. Medali emas Rizki sangat berharga, bukan saja karena melejitkan Indonesia ke posisi 30 besar klasemen sementara Olimpiade Paris 2024 (dari total 80 negara yang telah mendapatkan medali, update Sabtu, 10/8). Lebih jauh, sekeping medali ini, membuat Indonesia menyamai pencapaian 32 tahun lalu.

Barcelona 1992, Indonesia membawa pulang medali emas lewat Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma. Kala itu, bulu tangkis perdana dipertandingkan secara resmi di Olimpiade (sebelumnya jadi cabang eksebisi di Munich 1972 dan Seoul 1988). Bukan hanya emas dari nomor tunggal putri dan tunggal putra itu, Indonesia juga menambah dua perak dan satu perunggu (Ardy B Wiranata, Eddy Hartono/Rudy Gunawan, dan Hermawan Susanto).

Bulu tangkis terus jadi andalan di olimpiade-olimpiade selanjutnya. Kecuali pada London 2012.
Maka memang Paris 2024 akan dicatat sebagai sejarah tersendiri. Untuk pertama kalinya, sejak Indonesia ikut olimpiade dan mampu meraih medali, emas datang  dari cabang di luar bulu tangkis.

Bukan satu, tapi sekaligus dua. Sebelum Rizki, berjarak kurang lebih delapan jam, Veddriq Leonardo melambungkan kebanggaan kita. Medali emas Sport Climbing, panjat tebing, nomor kecepatan. Nomor paling anyar dari cabang yang boleh dikata sebagai pendatang baru di Olimpiade. Veddriq, 27 tahun, menaklukkan dinding panjat yang menjulang kokoh setinggi 15 meter itu dengan catatan waktu menakjubkan, 4,75 detik. Dengan kata lain, jika dirata-ratakan, dalam tiap satu detik Veddriq mampu memapas jarak 3,18 meter.

Begitu cepat, begitu ringan ia bergerak, meniti pin, naik semeter demi semeter, dan tiba di puncak dalam tak genap satu tarikan napas. Veddriq seolah Spider-Man yang melesat keluar dari panel-panel lembaran komik. Sekiranya Sam Raimi berencana membuat 'Spider-Man 4', barangkali dia boleh mempertimbangkan Veddriq untuk memerankan Peter Parker --seperti W.S Van Dyke memilih Johnny Weissmuller sebagai Tarzan usai memenangkan medali emas renang 100 meter gaya bebas di Olimpiade Amsterdam 1928.

Apalagi, Veddriq juga punya modal lain. Sebelum betul-betul serius menekuni panjat tebing, dia pernah rutin mengikuti berbagai event ketangkasan Ninja Warrior, dan menjuarainya (tingkat nasional) di tahun 2017. Jadi untuk sekadar meniti atau bahkan melompat antar dinding, tak akan jadi masalah baginya. Veddriq jelas lebih piawai dari Tobey Maguire, Tom Holland, atau Andrew Garfield.

Di luar pengandai-andaian yang barangkali ngawur ini, kemenangan Veddriq terang membanggakan, sekaligus [sesungguhnya] melegakan. Bagaimana tidak. Medali emas Veddriq diperoleh hanya tiga hari menjelang Olimpiade Paris ditutup, dan sampai 4,75 detik sebelum tangan Veddriq menyentuh panel elektronik di puncak dinding panjat, Indonesia baru memiliki satu perunggu lewat pebulutangkis tunggal putri, Gregoria Mariska Tunjung. Indonesia tercecer di posisi 69. Situasi yang amat mengkhawatirkan. Indonesia terancam pulang dengan membawa rekor terburuk.

Pemerintah, lewat National Olympic Committee (NOC) menargetkan dua medali emas dari Paris. Satu dari bulu tangkis dan satu lagi dari cabang lain, panjat tebing atau angkat besi, atau panahan.

Kenapa bulu tangkis tentu tak perlu panjang lebar lagi dibahas. Terlepas dari "tradisi", walau secara umum tidak bisa dikatakan dominan, pebulutangkis-pebulutangkis Indonesia masih mampu menunjukkan performa gemilang. Tahun ini, di All England, misalnya, Jonatan Christie dan Anthony Sinisuka Ginting berhadapan di laga final. Pun ganda putra Fajar Alfian dan Muhammad Rian Ardianto, beberapa kali naik podium tertinggi di turnamen kelas atas BWF.

Bagaimana dengan panjat tebing, angkat besi, dan panahan? NOC tak salah mengusung target tinggi. Pasalnya, atlet-atlet dari ketiga cabang ini mencatat personal best di atas limit minimal untuk potensi meraih medali perunggu. Di panjat tebing, selain Veddriq, dua pemanjat putri Indonesia, Rajiah Sallsabillah dan Desak Made Rita Kusuma Dewi, juga menoreh pencapaian-pencapaian bagus dalam dua tahun belakangan.

Pula demikian angkat besi. Rizki Juniansyah adalah juara dunia dan veteran Eko Yuli Irawan masih "berbahaya". Rekor angkatan Eko di kelas 61 kilogram masih memungkinkan baginya untuk --paling tidak-- mengulang raihan di empat olimpiade sebelumnya.

Panahan? Boleh dikata sedikit berbeda. Boleh dikata, ketimbang hitung-hitungan di atas kertas, penargetan medali untuk panahan lebih didorong rasa penasaran. Sejak perak di Olimpiade Seoul 1988, panahan tidak pernah lagi mempersembahkan medali. Padahal, dari Barcelona 1992 sampai Tokyo 2020, pemanah-pemanah Indonesia tetap menunjukkan greget. Mereka rata-rata gagal di fase-fase tengah, selangkah dua langkah sebelum sampai pada duel memperebutkan medali. Dan kecenderungan ini, ternyata, terulang di Paris. Diananda Choirunisa, terhenti di perempat final nomor individual recurve dalam pertandingan dramatis melawan pemanah tuan rumah, Lisa Barbelin. Sama kuat dalam lima set, Diananda akhirnya kalah (8-10) di babak shoot-off.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved