Tribunwiki

Sosok Sitor Situmorang, Sastrawan dan Wartawan dari Tanah Batak yang Patut Dicontoh

Sitor Situmorang merupakan seorang sastrawan dan juga wartawan asal Tanah Batak yang namanya cukup melegenda

Penulis: Maurits Pardosi | Editor: Array A Argus
HO
Sitor Situmorang, sastrawan yang juga seorang wartawan 

TRIBUN-MEDAN.COM,BALIGE - Sosok Sitor Situmorang dikenal sebagai seorang sastrawan.

Tidak hanya itu, Sitor Situmorang juga dikenal sebagai wartawan asli Tanah Batak, Balige.

Semasa hidupnya, Sitor Situmorang dengan nama asli Raja Usu Situmorang ini sudah melahirkan banyak karya.

Ketertarikannya pada sastra bermula saat lelaki kelahiran 2 Oktober 1924 itu membaca buku Max Havelaar karya Multatuli.

Buku tersebut ditemukan Sitor Situmorang di rumah sang kakak yang ada di Kota Sibolga.

Kala itu, Sitor masih duduk di bangku kelas dua SMP.

Meski begitu, ia bisa membaca buku berbahasa Belanda tersebut hanya dalam waktu tiga hari hingga selesai.

Sejak membaca buku Max Havelaar, kecintaan Sitor terhadap sastra makin menguat.

Ia kemudian menerjemahkan buku berbahasa Belanda dimaksud ke dalam bahasa Batak untuk disebarluaskan.

Sosok Sitor Situmorang

Menurut Leo Bumbunan Situmorang, anak dari Sitor Situmorang, semasa hidup ayahnya sempat menempuh pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Batavia (kini Jakarta).

Pada tahun 1950 -1952, Sitor sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris.

Selanjutnya, ia memperdalam ilmu sinematografi di Universitas California pada tahun 1956-1957.

Informasi yang diperoleh Tribun-medan.com, A Teeuw menyebutkan bahwa Sitor Situmorang menjadi penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar.

Sitor menjadi semakin terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, sebagai pengagum Presiden Soekarno. 

Ia juga pernah menetap di Singapura (1943), Amsterdam (1950-1951), Paris (1951-1952), dan pernah mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden, Belanda (1982-1990) dan bermukim di Islamabad, Pakistan (1991) dan Paris.

Pada 21 Desember 2014, Sitor meninggal dunia pada usia 91 tahun di Apeldoorn, Belanda.

Sitor memulai kariernya sebagai wartawan Harian Suara Nasional di Tarutung sejak tahun 1945 -1946.

Ia juga menjadi wartawan di Harian Waspada di Medan pada tahun 1947.

Selanjutnya, ia menjadi koresponden di Yogyakarta sejak tahun 1947 hingga 1948.

Lalu ia berkecimpung pada bidang yang sama di Berita Indonesia dan Warta Dunia saat ia berada di Jakarta pada 1957.

Disebutkan juga, ia pernah menjadi pegawai Jawatan Kebudayaan Departemen P & K, dosen Akademi Teater Nasional Indonesia (Jakarta), anggota Dewan Nasional (1958), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili kalangan seniman, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (1961-1962), dan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959-1965).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, Sitor dipenjara sebagai tahanan politik di Jakarta mulai dari tahun 1967-1974. 

Kumpulan cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955/1956.

Kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta  pada tahun 1976.

Ia juga  dianugerahi SEA Write Award (Penghargaan Penulis Asia Tenggara) pada tahun 2006.

Dalam perhelatan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2010, Sitor Situmorang mendapat Lifetime Achievement Award.(cr3/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter    

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved