Tribun Wiki
6 Kesultanan di Sumatera Beserta Raja Pertama yang Berkuasa
Di wilayah Sumatera, tercatat ada tujuh kesultanan yang pernah berdiri dan jaya di masanya. Apa saja kesultanan itu, simak ulasannya
TRIBUN-MEDAN.COM,- Di wilayah Sumatera Utara hingga ke Aceh, terdapat beragam kesultanan yang pernah jaya di masanya.
Dari rangkuman Tribun-medan.com, setidaknya ada tujuh kesultanan yang berada di wilayah Sumatera.
Beberapa diantaranya sempat ditaklukkan oleh penjajah dari Belanda.
Lantas, apa saja Kesultanan di Suamatera itu, berikut rinciannya.
Kesultanan Asahan
Kesultanan Asahan berada di Sumatra Utara.
Adapun penguasa pertama di Kesultanan Asahan yakni Raja Abdul Jalil.
Ia adalah putra Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh.
Kesultanan Asahan awalnya merupakan bawahan Kesultanan Aceh hingga awal abad ke-19.
Pemerintahan kesultanan Asahan dimulai sejak tahun 1630 dengan dilantiknya Sultan Asahan I.
Kesultanan Asahan juga meliputi wilayah Batubara, dan kemungkinan ada juga kerajaan-kerajaan kecil lainnya di daerah tersebut.
Dilansir dari wikipedia, pada tanggal 22 September 1865, kesultanan Asahan jatuh ke tangan Belanda.
Sejak itu, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Belanda.
Wilayah pemerintahan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Onder Afdeling Batubara, Onder Afdeling Asahan, dan Onder Afdeling Labuhanbatu.
Namun, sebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebudayaan Islam, di Asahan juga berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik.
Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang lahir dari Asahan, yaitu Syekh Abdul Hamid.
Ia lahir tahun 1880 (1298 H), dan wafat pada 18 Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H).
Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu, Minangkabau.
Syekh Abdul Hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh para ulama zaman itu.
Kesultanan Deli
Dalam laman wikipedia yang dinukil dari Hihayat Deli, bahwa pendiri Kesultanan Deli adalah Muhammad Dalik.
Ia adalah laksamana di Kesultanan Aceh.
Muhammad Dalik, yang kemudiannya juga dikenali sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan (ada pula sumber yang mengeja Laksamana Kuda Bintan), adalah keturunan daripada Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang mengahwini Putri Chandra Dewi, puteri Sultan Samudera Pasai.
Dia mendapat kepercayaan dari Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah Sungai Lalang-Percut.
Dalik mendirikan Kesultanan Deli yang masih di bawah Kesultanan Aceh pada tahun 1630.
Setelah Dalik meninggal pada tahun 1653, puteranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan pada tahun 1669 mengisytiharkan kemerdekan daripada kerajaan Aceh.
Ibu kotanya terletak di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Satu pertikaian dalam pergantian tampuk kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan Deli terpecah dan terbentuknya Kesultanan Serdang.
Setelah itu, Kesultanan Deli menjadi rebutan Kesultanan Siak Sri Indrapura dan Aceh.
Pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui sebagai kesultanan independen setelah lepas dari kekuasaan Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak.
Pada masa kolonial, Kesultanan Deli berkembang pesat melalui usaha perkebunan, terutama perkebunan tembakau.
Beberapa peninggalan bersejarah Kesultanan Deli yang terkenal adalah Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.
Pada tahun 1946, Kesultanan Deli secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan negara ini.
Namun, warisan sejarah dan budaya Kesultanan Deli tetap dijaga dan dihormati hingga saat ini.
Kesultanan Langkat
Kesultanan ini didirikan oleh Dewa Syahdan pada tahun 1568 masehi.
Dewa Syahdan diketahui berasal dari wilayah Hamparan Perak.
Menurut catatan dari wikipedia, Dewa Syahdan ini mendirikan kerajaan setelah lolos dari serangan Kerajaan Aceh.
Ia merupakan satu diantara petinggi Kerajaan Haru.
Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat.
Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku.
Rasanya pahit dan kelat.
Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura.
Hanya saja, pohon itu kini sudah punah.
Pengganti Dewa Shahdan, Dewa Sakti, tewas dalam penyerangan yang kembali dilakukan oleh Kesultanan Aceh pada tahun 1612.
Pada masa kepemimpinan Raja Kejuruan Hitam (1750-1818), serangan terhadap Langkat berasal dari Kerajaan Belanda.
Langkat sebelumnya merupakan bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19.
[butuh rujukan] Pada saat itu raja-raja Langkat meminta perlindungan Kesultanan Siak.
Tahun 1850 Aceh mendekati Raja Langkat agar kembali ke bawah pengaruhnya, namun pada 1869 Langkat menandatangani perjanjian dengan Belanda, dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877.
Kesultanan Serdang
Kesultanan Serdang adalah sebuah kesultanan yang berdiri pada tahun 1723, setelah adanya sengketa takhta Kerajaan Deli pada tahun 1720.
Setelah resmi berdiri, Kesultanan Serdang bergabung di bawah kedaulatan Kedatukan Sunggal.
Kesultanan ini memiliki wilayah kekuasaan yang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu, dan Ramunia.
Wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan .
Seperti kerajaan-kerajaan lain di Sumatra Timur, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865.
Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain.
Dalam Revolusi Sosial Sumatra Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.
Namun, berbeda dengan yang terjadi di beberapa kesultanan Sumatra Timur, karena Sultan dan pejabat kesultanan ketika itu merupakan pendukung Republik, maka tidak terjadi kerusuhan yang mengakibatkan korban jiwa di Serdang, dan istana Kesultanan Serdang tidak menjadi sasaran penjarahan massa.
Institusi Kesultanan Serdang masih berdiri sampai sekarang, serta masih melestarikan adat istiadatnya secara turun temurun, meski sudah tidak memiliki kekuasaan dalam politik dan pemerintahan.
Namun, dalam hal-hal tertentu, pemerintah juga mengambil keputusan bersama dengan pihak kesultanan, khususnya mengenai masalah sosial dan kebudayaan.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang saat ini mencakup Kabupaten Serdangbedagai, Kota Tebingtinggi, serta sebagian Kabupaten Deliserdang di Provinsi Sumatra Utara.
Kesultanan Barus
Kesultanan Barus ini berada di KabupatenTapanuli Tengah, Sumatra Utara.
Menurut kronik Barus yang berjudul Sejarah Tuanku Badan, Kesultanan Barus bermula dari berpindahnya anggota keluarga Kesultanan Indrapura ke Tarusan, Pesisir Selatan.
Dari sini kemudian mereka pergi ke utara hingga tiba di Barus.
Menurut kronik itu, Kesultanan Barus didirikan oleh Sultan Ibrahimsyah bin Tuanku Sultan Muhammadsyah dari Tarusan, Pesisir Selatan, tanah Minangkabau.
Kepergian Sultan Ibrahimsyah (Ibrahim) ke Barus setelah ia berseteru dengan keluarganya di Tarusan.
Ia pergi menyusuri pantai barat Sumatra hingga tiba di Batang Toru.
Dari sini ia terus ke pedalaman menuju Silindung.
Di pedalaman, masyarakat Silindung mengangkatnya sebagai raja Toba-Silindung.
Di Silindung, Ibrahim juga membentuk institusi empat penghulu seperti halnya di Minangkabau.
Penghulu ini berfungsi sebagai wakilnya di Silindung.
Selanjutnya ia menuju Bakara dan menikah dengan putri pimpinan setempat.
Dari putri Batak itulah, Sultan Ibrahim memiliki putra yang bernama Sisingamangaraja.
Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya ke Pasaribu.
Disana masyarakat setempat menanyakan dari mana asalnya dan bertujuan untuk apa datang kesana.
Untuk menyenangkan hati raja, Ibrahim menjawab bahwa ia datang dari Bakara dan bermarga Pasaribu.
Mendengar kesamaan marganya dengan Ibrahim, Raja Pasaribu sangatlah senang.
Ia kemudian meminta Ibrahim untuk tinggal di Pasaribu.
Namun Ibrahim merasa bahwa tempat ini tidaklah cocok untuknya.
Maka bersama raja dari Empat Pusaran (empat suku) ia pergi hingga tiba di tepi laut.
Tempat ini kemudian dinamainya Barus, serupa dengan nama kampung kecilnya di Tarusan, Pesisir Selatan.
Disini ia diangkat sebagai raja dengan gelar Tuanku Sultan Ibrahimsyah.
Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496.
Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukkan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Haru atau Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537.
Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam.
Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama.
Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.
Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu.
Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.(tribun-medan.com)
| Profil Karim Adeyemi, Pemain Dortmund yang Jadi Incaran Juventus |
|
|---|
| Profil Bambang Pujo Sumantri, Eks Pelatih Malang United Kini Nakhodai Persiku Kudus |
|
|---|
| Profil Moisés Caicedo, Pemain Muda Chelsea dengan Masa Depan Gemilang |
|
|---|
| SOSOK Letjen TNI Bobby Rinal Makmun, Asops Panglima Akmil 92 Penyandang Beragam Brevet Luar Negeri |
|
|---|
| Biodata dan Harta Kekayaan Hellyana, Wakil Gubernur Bangka Belitung Tersandung Dugaan Ijazah Palsu |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/masjid-azizi-tanjung-pura.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.