UMKM Kontributor Besar PDB Indonesia yang Masih Berkutat dengan Masalah Pemasaran

Perekonomian Indonesia cukup sering mendapat sorotan positif dari banyak negara lain, khususnya pada saat krisis ekonomi.

|
HO
Suherman Widjaja. 

Penulis: Suherman Widjaja
Dosen Universitas Prasetiya Mulya
Konsultan, Trainer, Mentor Bisnis dan Marketing
Founder Fit d Need
Ketua Asosiasi Manajemenm Indonesia – Tangerang Raya

TRIBUN-MEDAN.com - Perekonomian Indonesia cukup sering mendapat sorotan positif dari banyak negara lain, khususnya pada saat krisis ekonomi, jika dicermati UMKM mengambil peranan sangat penting dalam kancah perekonomian Indonesia.

Coba ingat beberapa fenomena ke belakang UMKM selalu bisa melewati krisis moneter yang pernah kita alami walaupun tetap ada yang kena imbasnya, pada tahun 1998 silam dan pada masa Pandemi Covid-19 selama 3 tahun.

UMKM adalah bagian perekonomian yang mandiri, serta berkontribusi besar meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ada tiga peran dari UMKM terhadap perekonomian indonesia yaitu membantu pemerataan ekonomi bagi rakyat kecil, membantu pementasan kemiskinan, serta dengan semakin terbukanya jalur perdagangan luar negeri aktivitas UMKM ikut mengisi pundi devisa bagi Indonesia.

Banyak UMKM yang telah berkiprah memasuki pasar luar negeri baik melalui jalur instansi pemerintah, maupun melalui komunitas. Dari data ASEAN Investment Report 2022 yang dilansir laman Katadata, Indonesia menempati urutan pertama sebagai jumlah UMKM terbanyak, yaitu sebesar 90 persen dari total UMKM ASEAN. 

Tetapi ada potensi yang belum tergarap baik, kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional cuma 15,7 persen lebih kecil dibanding Negara ASEAN lain. Singapura 41 persen , Thailand 29 persen , Myanmar 24 persen jadi potensi sangat besar bagi UMKM untuk mengambil peluang ekspor, belum lagi terhadap tujuan Negara diluar ASEAN.

Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (KUKM) mencatat jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 65,47 juta atau sebesar 99,99 persen dari jumlah pelaku usaha di Indonesia.

Daya serap tenaga kerja UMKM luar biasa besar yaitu 119,96 juta pekerja atau 97 persen dari daya serap tenaga kerja dunia usaha, jadi hampir 50 persen populasi Indonesia mendapat lapangan kerja dari UMKM. Angka ini penyumbang mayoritas perekonomian nasional (PDB) sebesar 61,1 persen, sedangkan usaha besar menyumbang sisanya yaitu 38,9 persen saja. Jumlah usaha skala besar adalah 5.550 unit usaha atau 0,01 persen dari jumlah pelaku usaha di Indonesia. UMKM tersebut didominasi oleh pelaku usaha mikro yang berjumlah 98,68 persen dengan daya serap tenaga kerja sekitar 89 persen.

Dengan dominasi peran yang sangat besar dari UMKM terhadap perekonomian nasional, perhatian yang dicurahkan seyogyanya juga sesuai porsi. Ini adalah sentra ekonomi strategis nasional, setiap peningkatan kapasitas dari UMKM otomatis menyumbang 61 persen PDB, sebaliknya jika UMKM bermasalah maka sebesar itu pula potensi masalah bagi ekonomi nasional. Yang perlu perlu dipikirkan berikutnya adalah apa yang bisa dilakukan untuk peningkatan kapasitas UMKM kita?

Kebetulan sejak 2012 saya terlibat dalam proyek tahunan di kampus dengan misi membantu pengembangan perekonomian masyarakat (Community Development / ComDev) di beberapa wilayah antara lain Cianjur, Purwakarta, Kuningan. Kemudian sejak 2022 terlibat sebagai Tenaga Ahli bersama Phibeta – Tera dalam proyek Kemenparekraf dan World Bank yaitu Indonesia Tourism Development Program (ITDP) yang bertujuan untuk meningkatkan kehadiran online dan kualitas layanan bagi UMKM di enam Destinasi Prioritas Pariwisata nasional (DPP) yaitu Borobudur – Yogya – Prambanan; Bromo – Tengger – Semeru; Lombok; Toba; Labuan Bajo; Wakatobi.

Dari pengamatan hasil interaksi secara langsung dengan UMKM sebagian berfokus ke skala mikro dan kecil ditemukan hal menarik yaitu ada kesamaan permasalahan yang dihadapi secara umum. Di setiap wilayah walau secara geografis terpisah jauh ternyata mayoritas memiliki problematika serupa berupa: kesulitan memasarkan dan menjual produk, konsistensi kualitas dan kuantitas produksi, kemasan produk, ketidak mampuan mengelola keuangan dan pencatatannya. Biasanya mereka sadar sulit menjual, tapi kurang menyadari memiliki rangkaian problem penyebab lain di belakang “meja penjualan”.

Pelaku usaha mikro banyak yang tidak paham cara menghitung harga modal demikian juga pelaku usaha skala kecil, penentuan harga jual berdasarkan harga pedagang lain. Mereka tidak jarang menjual dengan harga dibawah rata rata pasar dengan tujuan menarik pembeli, padahal biaya produksinya lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan. Bagi pelaku UMKM kelompok ini problemnya adalah melulu kekurangan modal kerja karena tergerus kerugian setiap hari yang tidak mereka sadari. Laba rugi usaha menjadi bias selain karena tidak melakukan pencatatan keuangan usaha, ditambah lagi kebiasaan campur aduk keuangan rumah tangga dan usaha.

Banyak UMKM mampu membuat produk tapi kesulitan dalam mempertahankan kualitasnya karena terbiasa memproduksi tanpa SOP (Standard Operating Procedure), semua proses dilakukan berdasarkan ingatan dan perasaan para pembuat sesuai kapasitas sendiri yang tidak standar. Kondisi ini berpotensi semakin kompleks sejalan dengan banyaknya jumlah tim produksi . Menjaga konsistensi kualitas produk (dan layanan) menjadi tantangan bagi mereka untuk keluar dari kebiasaan sebelumnya, selain karena tidak paham cara membuat SOP yang baik.

Di luar yang di atas problem berikutnya yang banyak dimiliki UMKM adalah kemasan produk yang lemah. Cukup banyak mereka mengemas produk seadanya tanpa memikirkan aspek aspek penting yang perlu ada dalam kemasan. Ada yang karena tidak tahu fungsi kemasan akan mempengaruhi kualitas produk di dalamnya serta mempengaruhi minat orang untuk membeli, ada juga yang tidak memiliki pengetahuan dalam melakukannya. Banyak yang tidak tahu bahwa kemasan sangat ampuh dalam mengangkat kelas suatu produk, seringkali seseorang membeli produk karena kemasan tanpa tahu persis isi produk di dalamnya.

Berikutnya problem terbesar yang sangat dirasakan UMKM adalah kesulitan menjual atau memasarkan produk. Kemampuan membuat produk yang baik dan kemasan menarik tidak cukup, walaupun harga murah belum menjamin akan laku. Jika publik tidak tahu bahwa produk kita eksis dan tidak bisa mengaksesnya, maka sulit untuk membuatnya terjual alih alih produk akan tetap di gudang hingga kadaluarsa.

Dibutuhkan kampanye pemasaran yang tepat sesuai kategori produk dan sasaran pasar yang dituju, akan baik juga jika ditambah dengan taktik promosi penjualan. Kemudian perlu dilakukan juga distribusi produk yang baik agar calon konsumen mudah dalam mendapatkan produk yang mau dijual. Tahapan selanjutnya yang bisa dipikirkan adalah membangun merek/brand.

Jika beberapa problem diatas bisa ditanggulangi, niscaya kapasitas akan bertambah. (*)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved