Pencemaran Lingkungan

Limbah Diduga dari PT Rapala Dituding jadi Pemicu Rusaknya Puluhan Hektare Lahan Pertanian

PT Raya Padang Langkat dituding menebar limbah hingga membuat puluhan hektare lahan pertanian masyarakat rusak dan tidak bisa ditanami

|

Limbah Diduga dari PT Rapala jadi Pemicu Rusaknya Puluhan Hektare Lahan Pertanian

TRIBUN-MEDAN.COM,LANGKAT - PT Raya Padang Langkat atau PT Rapala dituding menjadi pemicu kerusakan lingkungan.

Sebab, PT Rapala disebut mencemari puluhan hektare lahan pertanian masyarakat di Dusun I, Desa Padang Langkat, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Sejak tahun 2022, limbah kelapa sawit yang diduga dari PT Rapala menyebabkan puluhan hektare lahan pertanian masyarakat rusak dan tidak bisa ditanami lagi. 

"Setelah masuknya limbah PT Rapala ke lahan persawahan, hampir dua tahun ini petani di Desa Pasiran dan Padang Langkat tidak dapat menggunakan lahannya," kata Guritno, warga Padang Langkat, Kamis (25/5/2023).

Guritno mengatakan, air yang semestinya mengalir ke lahan pertanian masyarakat sudah tercemar, dengan tingkat pencemaran cukup tinggi. 

"Kandungan air yang masuk ke persawahan warga mengandung unsur limbah yang cukup tinggi. Hal itu sesuai dengan hasil uji pada akhir tahun 2022 lalu, di laboratorim Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara," ujar Guritno. 

Guritno menambahkan, dari dua sampel air yang diambil, baik pada areal persawahan dan kolam waduk PT Rapala, menunjukkan hasil yang sama. 

Dimana menurutnya, terdapat kandungan limbah lemak dan minyak yang masuk ke areal persawahan.

Hal itulah yang diduga menjadi penyebab matinya areal persawahan di sana.

"Warga berharap, agar seluruh pihak, terutama Pemerintah Kabupaten Langkat untuk memperhatikan nasib petani di sana yang sudah sangat memprihatinkan. “Karena dampak dari limbah itu, puluhan hektar sawah kami tak bisa ditanami padi dan tak produktif,” tutup Guritno.

Sementara itu, Estate Manager Kebun PT Rapala, Bernard Hutabarat membantah tudingan.

Bernard berdalih bahwa tahun 2000-an, PT Rapala kekurangan sumber air. 

Pihak perusahaan kemudian memanfaatkan areal yang lebih rendah untuk menampung air.

Selanjutnya, areal terebut dibuat benteng, untuk menampung dan mensuplai air ke pabrik.

"Pada tahun 2010, kami membuat waduk penampung air di dekat pabrik, untuk mengantisipasi saat musim kemarau. Maka waduk yang dianggap masyarakat untuk mengalirkan limbah itu tidak kami pakai lagi. Karena itu bukan penampungan limbah," ujar Bernard. 

Bernard menambahkan, air tersebut bukanlah air limbah, tapi air bersih dari tadah hujan untuk mensuplai air ke pabrik.

Saat masih dipenuhi air, Pemerintah Desa Padang Langkat meminta perusahaan untuk mensuplai air ke kolam dari waduk tersebut.

Bernard menegaskan, kalau air yang dimaksud warga mengandung limbah, tentu pihak desa tidak akan meminta untuk mengairi kolam milik desa.

Bahkan, dulunya banyak warga sekitar yang mancing ikan di waduk.

Hingga saat ini pun, warga masih menanam padi di persawahan mereka.

"Perihal hasil uji lab, kita gak tau kemana mereka mengujinya. Tapi kalau sama-sama kita ambil dan mengujinya bersama, kita pun bersedia. Kita gak tau kapan mereka mengambil sampelnya. Keluhan mereka jelas, padahal gak ada limbah. Gak ada saluran limbah pabrik ke sana. Jaraknya pun sekira tiga kilometer ke persawahan dan limbah pabrik ada sendiri tempatnya," tutup Bernard.

(cr23/tribun-medan com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved