Breaking News

Semi Final AFF Cup 2022

Indonesia tak Takut Vietnam, tapi Tidak Ada Gol, Makin Berat di Leg Kedua

Indonesia bermain lepas. Aliran bola begitu lancar, dan pemain tidak kelihatan terbebani. Namun persoalan mendasar Indonesia tetap belum terperbaiki.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUNNEWS/HERUDIN
IMBANG - Pemain Tim Nasional Indonesia Marselino Ferdinan berebut bola dengan pemain Vietnam pada pertandingan semi final putaran I Piala AFF 2022 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Jumat (6/1/2023). Indonesia bermain imbang 0-0 dengan Vietnam dan akan berlaga di putaran kedua di Vietnam, 9 Januari 2023. 

Sebelum melawan Vietnam, Tim Nasional Indonesia telah menyelesaikan empat laga di AFF Cup 2022 dan tidak satu pun yang berakhir memuaskan.

Memang, Indonesia tidak pernah kalah. Tiga laga dimenangkan sedangkan satu lainnya, versus Thailand, berkesudahan imbang 1-1. Namun harap digarisbawahi, bahwa menang dan memuaskan adalah dua perkara berbeda.

Sebastiao Lazaroni, Pelatih Tim Nasional Brasil di Piala Dunia 1990, mengusung filosofi ini: tidak masalah bermain tak memuaskan, yang penting menang. Kelak, 14 tahun berselang, kalimat yang kurang lebih sama dilontarkan Jose Mourinho usai membawa FC Porto menjadi kampiun Liga Champions.

Sepak bola pragmatis. Benar bahwa tujuan akhir tiap-tiap laga adalah kemenangan, adalah tiga poin dan seterusnya tropi kejuaraan. Percuma saja memang jika mengutamakan berindah-indah tetapi kalah. Dengan kata lain, yang menyeruak bukan kepuasan, melainkan rasa kesal, bahkan marah.

Maka sampai di sini, filosofi Larazoni dan Maurinho boleh dibenarkan. Iya, tentu, tapi di lain sisi ada sering dilupakan. Ada ujung yang lain. Bahwa kemenangan bisa diperoleh sekaligus dengan bermain indah. Tengok tim-tim yang dibesut Josep Guardiola. Barcelona, Bayern Munchen, dan sekarang Manchester City.

Lalu pertanyaannya, di posisi mana Tim Nasional Indonesia berada? Tidak kedua-duanya. Bermain indah jelas tidak. Namun pragmatis juga tidak. Di akhir pertandingan-pertandingan itu, di tiap sesi konferensi pers, Pelatih Kepala Tim Nasional Indonesia Shin Tae-yong kerap berkeluh-kesah. Ia berterima kasih kepada para pemain atas kemenangan yang diraih, tapi sangat tidak puas dengan permainan yang ditampilkan.

Menurut Shin Tae-yong, pemain-pemain Indonesia tidak menjalankan secara penuh instruksi yang ia berikan. Pemain kerap kehilangan konsentrasi dan bingung dalam melakukan build up serangan dan pertahanan. Pemain bahkan masih sering melakukan kesalahan-kesalahan elementer semisal keeping ball dan passing.

Dari sini satu kesimpulan bisa langsung diambil: Shin Tae-yong tidak menerapkan pragmatisme ala Lazaroni atau Mourinho di laga-laga itu. Sebaliknya ia ingin pemain-pemainnya menguasai tempo, menguasai lapangan, ingin menyerang dengan tajam, ingin mencetak gol, ingin bertahan solid tanpa dibarengi keteledoran-keteledoran konyol. Overall, ia ingin melihat proses yang ciamik dalam meraih kemenangan.

Terlepas dari kekecewaan Shin Tae-yong, dan –sudah barang tentu– kekecewaan sebagian besar suporter Tim Nasional Indonesia, Pasukan Garuda sampai juga ke semi final, dan lawan di fase empat besar ini adalah Vietnam.
Jelas ini satu masalah besar. Dari semua kontestan AFF Cup, Vietnam merupakan yang terkuat. Mereka juga menempati peringkat tertinggi FIFA untuk negara-negara Asia Tenggara. Satu-satunya yang mampu menembus jajaran 100 besar.

Dilihat dari tolok ukur konsistensi juga terbilang bagus. Mereka memuncaki di fase grup (klasemen Grup B) tanpa pernah satu kali pun kebobolan. Menggasak Malaysia dan Myanmar tiga gol tanpa balas, Laos enam gol, dan hanya sekali ditahan imbang Singapura dalam laga away yang berat sebelah.

Performa Vietnam inilah yang sepertinya menghadirkan kekhawatiran, kepesimistisan, bahkan ketakutan di kubu Indonesia. Belum lagi jika bicara head to head. Lupakan laga-laga dari era yang jauh. Sepuluh terakhir, Indonesia hanya menang satu kali pada 3 Desember 2016. Selebihnya enam kali seri dan tiga kalah. Satu dari dua kekalahan teranyar terjadi di era kepelatihan Shin Tae-yong (0-4, Kualifikasi Piala Dunia 2022, 7 Juni 2021).

Apa boleh buat, data memang tidak memihak Indonesia. Namun bukan berarti sikap khawatir, pesimistis, apalagi takut, boleh dimaklumkan. Sama sekali tidak boleh. Sepak bola bukan pertarungan di atas kertas. Sepak bola adalah duel di lapangan, dengan bola yang bundar. Meminjam frase, ‘play the ball not the man’, bola akan bergerak tergantung ke mana pemain menyepaknya. Dengan kata lain, nasib bola ada pada pemain.

Pertanyaannya, mampukah pemain-pemain Indonesia menjadikan bola bernasib baik? Semestinya tidak ada masalah. Secara teknis, pemain Indonesia tidak kalah dari Vietnam. Perbandingannya sebelas dua belas. Sangat tipis. Tidak ada pemain yang sangat menonjol, yang datang “dari planet lain” seperti Lionel Messi, misalnya.

Bahkan Indonesia boleh dibilang lebih unggul. Di skuat Indonesia terdapat enam pemain yang merumput di luar negeri. Ada Witan Sulaeman dan Egy Maulana Vikri yang berlaga di Liga Slovakia. Witan untuk AS Trencin dan Egy di Zlate Moravce. Kemudian Pratama Arhan di Tokyo Verdy Jepang, Asnawi Mangkualam di Ansan Greeners Korea Selatan, serta Saddil Ramdani dan Jordi Amat yang mengenakan seragam klub Liga Super Malaysia.

Sebelum menyeberang ke Malaysia dan bergabung dengan klub “sultan”, Johor Darul Takzim, Jordi Amat telah kenyang pengalaman di dua liga top Eropa. Ia menjadi bagian dari skuat Espanyol, Rayo Vallecano, dan Real Betis di La Liga serta Swansea City di English Premier League (EPL). Selama dua tahun ia juga menjadi pemain K.A.S. Eupen, klub liga utama Belgia (Belgian Pro League).

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved