Viral Medsos

Meski Dicibir oleh Luhut, OTT KPK Masih Sangat Diperlukan

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto, tidak sepakat dengan pandangan Luhut yang menilai OTT membuat citra negara buruk.

Editor: AbdiTumanggor
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/YU
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan. 

ICW Tak sepakat dengan Pernyataan Luhut 

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto, tidak sepakat dengan pandangan Luhut yang menilai OTT membuat citra negara buruk.

"Ini paradigmanya lama. Kesannya penegakan hukum dalam konteks OTT membuat citra Indonesia buruk," kata Agus saat dihubungi Kompas.com, Rabu (21/12/2022).

Agus menilai OTT memang bukan satu-satunya tugas KPK dalam memberantas korupsi.

Namun, kata dia, OTT dilakukan sebagai bentuk penindakan yang dilakukan KPK sebagai aparat penegak hukum terhadap potensi perbuatan rasuah.

"Padahal, OTT kan salah satu strategi penindakan. Ketika ada bukti kuat akan ada transaksi korupsi, masa terus mau didiamkan? Sedangkan kejahatan ada di depan mata," ucap Agus.

Tanggapan Novel Baswedan

Eks Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan merespons Luhut  yang menyebut tindakan KPK yang sering melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), akan membuat citra negara Indonesia jelek di mancanegara.  

“Kalau dikatakan OTT membuat nama negara jelek, saya kira tidak ya,” kata Novel Baswedan, Selasa (20/12/2022).

“Apakah masih belum bisa memahami dampak dari korupsi yang begitu besar,” sambung dia.

Novel justru menilai bahwa KPK saat ini cenderung kurang maksimal dalam memberantas rasuah di dalam negeri. Hal itu pula yang membuat citra Indonesia di kancah internasional kurang positif.

Berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, sehingga masyarakat internasional dapat dengan mudah mencari kabar terkait tingkat korupsi di suatu negara.

“Saya mengetahui hal tersebut karena ketika Ketua IM57 diundang hadir pada acara anti korupsi di Malaysia yg dihadiri lebih dari 14 negara, mereka menyayangkan kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia yang melemah,” tuturnya.

Lebih jauh Novel mengatakan bahwa pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan tiga pola secara bersamaan. Yaitu penindakan, pencegahan dan pendidikan. Jika fase penindakan tidak dilakukan, pencegahan dan pendidikan tidak akan berdampak efektif. “Contoh soal e-katalog, ternyata banyak modus korupsi dilakukan dgn “mengakali” sistem e-katalog,” ujarnya.

 

Hal serupa juga terjadi pada digitalisasi pada sistem pengawasan. Faktanya, kata Novel, upaya yang dilakukan dalam sistem pengawasan hanya meliputi elektronifikasi, bukan digitalisasi.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved