Opini Online
PERTEMUAN DI RABU MALAM
Kata David Runciman, profesor politik dari Cambridge University, Inggris yang membedakan satu negara dengan negara lain
Kata Cicero, politik itu mahkluk hidup. Bahkan dapat dikatakan mahkluk paling hidup yang pernah ada di dunia ini, dengan beribu-ribu otak, kaki, tangan, mata, pikiran, hasrat, nafsu, dan keinginan. Dengan semua itu, ia (binatang politik) akan menggeliat, berputar, berlari, mencengkeram, menerkam, menggigit, dan kalau perlu menelan mentah-mentah semua lawannya. Arah gerakannya pun kadang tak terduga. Terkadang—tetapi ini kerap terjadi—tindakannya semata-mata demi memuaskan diri sendiri.
“Praktik seperti yang terjadi di Probolinggo, banyak terjadi. Itu lho, tarif untuk mendapatkan jabatan,” kata kawan ngobrol malam itu.
Lalu kawan itu mengatakan, “Bahkan untuk menjadi satpam pun, harus mbayar. Istilahnya mbayar seragam. Tidak tanggung-tanggung, ‘harga’ seragam satpam itu, Rp 80 juta! Kan edan itu. Seumur-umur menjadi satpam, nggak mungkin ngumpulin uang untuk balik modal.” Istilah “balik modal” itulah yang menjadi salah salah satu kata kuncinya mengapa orang korupsi.
Kami yang mendengar itu hanya bisa komentar pendek, “wow….” Sebelum kami memuaskan rasa heran, kawan itu sudah menambahkan, “Untuk jadi bayan tarifnya Rp 200 juta, jadi lurah Rp 100 juta, jadi carik Rp 500….” Dan, kami pun semakin heran, sekaligus nggak bisa paham.
Mengapa mereka mau mengeluarkan uang sebegitu banyak? Hidup memang sebuah pilihan. Ketika menjatuhkan pilihan akan berhadapan dengan dua pertanyaan sekurang-kurangnya: Quid prodest homini? Apa yang bermanfaat bagi manusia? Dan, Quid delectat homini? Apa yang menyenangkan bagi manusia.
Yang pertama mengacu pada hidup yang efisien, tepat guna, bersahaja, dan berguna bagi sesama. Sedangkan yang kedua, mengacu pada pemujaan hidup hedonis yang serba wah, gemerlap, terpandang, dihormati dan sebagainya sehingga mencari segala cara untuk mewujudkannya.
Kata kawan itu, “Menjadi pejabat, sekalipun tingkat desa kan terhormat. Yah, demi praja, gengsi….” Itu baru tingkat desa!
“Benar, kekuasaan memang memesona,” komentar pendek sahabat dekat yang saya hormati.
***
Penulis: Trias Kuncahyono, Wartawan Senior/Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas
Catatan: Kolom Opini Online terbuka untuk penulis lainnya
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/pertemuan-di-rabu-malam-di-kedai-kopi.jpg)