Kedai Tok Awang

Setelah Lebih Setengah Abad Menanti

Terlepas dari kontraversi yang menyertainya, ini final paling ideal di Euro 2020. Selain nama besar, pertarungannya adalah juga di filosofinya.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
AFP PHOTO/ALESSANDRO GAROFALO, ANDREW MEDICHINI, ETTORE FERRARI, FRANK AUGSTEIN
(Foto Atas) Kombinasi foto tim dari Tim Nasional Italia (kiri) dan Tim Nasional Inggris. (Foto Bawah Kiri) Kombinasi foto Pelatih Tim Nasional Inggris Gareth Southgate (kiri) dan Pelatih Tim Nasional Italia Roberto Mancini. (Foto Bawah Kanan) Kombinasi foto suporter Tim Nasional Inggris (kiri) dan suporter Tim Nasional Italia. Kedua tim akan berhadapan pada final Euro 2020 yang akan digelar di Stadion Wembley, London, Senin (12/7/2021) dinihari. 

  • Euro 2020
  • Italia vs Inggris

YEAH, siapa pun di antara Italia atau Inggris yang memenangkan tropi, laga final Euro 2020 yang digelar dinihari nanti di Stadion Wembley, London, akan jadi sejarah. Jika Inggris menang, mereka akan mewujudkan mimpi besar membawa pulang sepak bola ke rumah –Football Coming Home– sekaligus memutus penantian panjang selama 55 tahun.

Italia tak jauh beda. Gli Azzuri –julukan Tim Nasional Italia– terakhir kali menjadi kampiun di kejuaraan ini pada tahun 1968; 53 tahun lalu, saat mereka menjadi tuan rumah. Ketika itu, Italia masih diperkuat nama-nama seperti Gianni Rivera, Sandro Mazzola, dan Giacinto Facchetti. Juga dua pemain yang di belakang hari menjelma legenda-legenda besar sepak bola mereka, Luigi Riva dan Dino Zoff.

Riva, pemegang rekor pencetak gol paling subur bagi Tim Nasional Italia sepanjang masa, masih berstatus new comer. Pelatih Italia, Ferruccio Valcareggi, terpesona pada performa gemilangnya di Cagliari dan memberinya kesempatan untuk mengenakan seragam tim nasional. Riva memulai debut di babak kualifikasi Euro 1968 itu, bermain di enam laga dan mencetak enam gol. Riva mencetak satu gol lagi di laga final kontra Yugoslavia.

Adapun Zoff, meski sudah berusia 26, belum mendapat kepercayaan penuh sebagai kiper utama. Namun di putaran final, Zoff yang dipilih untuk menjaga gawang. Kelak ia bermain 112 kali untuk Italia, pencapaian terbanyak pemain di sektor penjaga gawang sebelum dilewati Gianluigi Buffon.

"Sempat sikit ku-searching-searching, pas Italia juara ini, ternyata di semi final mereka cumak menang tos-tosan. Kalok dibanding sekarang rasanya agak lucu aja," kata Sudung sembari tertawa.

"Eh, tos-tosan pakai duit benggol maksudmu, Dung?" tanya Leman Dogol menimpali. "Kayak orang main tuwok gitu? Serius dulu kau?"

Sudung mengangguk. "Serius, lah. Waktu itu memang belum kayak sekarang aturan sepak bola. Belum ada adu tendangan penalti. Pilihannya dua, mau tanding ulang atau pake cara lebih cepat, tos-tosan. Nah, waktu itu, yang kubaca, Italia dan Soviet sepakat main tos-tosan aja. Karena banyak yang cedera dan kondisi cuaca buruk. Malas kurasa orang itu tanding ulang. Tebakan kapten Italia betul. Dia pilih ekor kalok tak silap."

Foto file saat pemain Tim Nasional Italia Giacinto Fachetti (paling kiri) melakukan penjagaan terhadap seorang pemain Tim Nasional Uni Soviet (tengah) pada laga Piala Dunia 1966. Kedua tim berhadapan kembali di babak Semi Final Euro 1968 dan Italia memenangkan laga lewat tos-tosan atau undian koin.
Foto file saat pemain Tim Nasional Italia Giacinto Fachetti (paling kiri) melakukan penjagaan terhadap seorang pemain Tim Nasional Uni Soviet (tengah) pada laga Piala Dunia 1966. Kedua tim berhadapan kembali di babak Semi Final Euro 1968 dan Italia memenangkan laga lewat tos-tosan atau undian koin. (UEFA.COM)

Paparan Sudung membuat Leman Dogol tertawa ngakak. Pun Mak Idam, Zainuddin, Jek Buntal, Jontra Polta, dan Lek Tuman yang sedang bermain catur dengan koleganya Tamsil Kalimaya. Sejak pagi keduanya berkoordinasi memberikan sosialisasi pada warga terkait aturan baru penanganan Covid-19. Lek Tuman memberikan surat kepada Tok Awang dan Ocik Nensi untuk membatasi jam operasional kedai sampai pukul 20.00.

"Sebenarnya sudah tak pala ramai-ramai kali lagi kedai awak ini, Pak Kep," kata Ocik Nensi saat menerima surat tadi. "Enggak pernah awak buka 24 jam kayak dulu. Sekitar jam sepuluh atau paling lama jam sebelas udah tutup. Tapi kalok gitunya kata Pak Kep, ya, begitu, lah. Awak ini apa, lah. Kalok awak membandal, dibalek-balekkan Satpol PP pulak nanti steling awak ini. Apa tak makin rusak jadinya. Rugi dobel, untung tak dapat modal termakan."

Repetan Ocik Nensi sempat membuat suasana kedai jadi tegang. Obrolan berubah jadi bisik-bisik. Untunglah datang Jontra Polta mencairkan suasana. Pesanan nasi goreng kampung dan sanger dingin segera menyeret langkah Ocik Nensi ke balik steling.

"Waktu Italia juara, Roberto Mancini baru empat tahun. Masih main sopir-sopiran pakai tutup panci dia," sebut Jon, yang langsung disambung Mak Idam. "Gareth Southgate bahkan belum lahir, Ketua. Emak bapaknya pun mungkin belum jumpa."

Setengah abad memang waktu yang panjang untuk sebuah penantian. Terlebih-lebih jika satu di antara kaitan tolok ukurnya adalah nama besar. Inggris kerap mengaku-ngaku sebagai nenek moyang sepak bola. Tempat olah raga populer ini dilahirkan. Walau klaim ini kerap pula disanggah (dengan berbagai teori dan fakta literatur), dan lantaran itu makin sering diledek, tiada siapa pun berani memungkiri perihal kebesaran sepak bola Inggris. Setidak-tidaknya, kompetisinya, yang setelah direvolusi pada tahun 1992 berubah total dari kompetisi brutal dan kampungan menjadi rujukan kompetisi modern dan profesional.

Italia tak kalah besarnya. Sebelum Inggris bertengger di puncak, kompetisi Serie A merupakan kompetisi nomor satu di Eropa (sekaligus di dunia). Hampir semua pemain besar merumput di sana. Setelah sempat redup akibat kasus suap, kini, pelan-pelan Serie A mulai bangkit lagi. Di kompetisi internasional? Italia memang sering kurang beruntung di Euro. Sejak digelar kali pertama tahun 1960, mereka baru satu kali juara dan dua kali runner up (Euro 2000 dan Euro 2012). Namun di Piala Dunia, mereka berbagi tempat dengan Jerman sebagai negara dengan jumlah tropi terbanyak kedua di belakang Brasil.

"Terlepas dari kontraversi yang menyertainya, ini final yang paling ideal dan layak," kata Zainuddin. "Selain nama besar, pertarungannya adalah juga di filosofinya. Cattenaccio versus Kick and Rush. Sepak bola bertahan kontra sepak bola menyerang."

Meski sama-sama telah berupaya menguburnya, filosofi-filosofi ini "secara alami" ternyata tetap bersemayam dalam jiwa pemain-pemain Italia dan Inggris. Tidak pernah benar-benar mati. Artinya, kapan pun "dipancing keluar", kapan pun diperlukan, pemain Italia bisa menerapkan Cattenaccio sebagaimana pemain Inggris juga dengan riang merayakan gaya bola-bola panjang.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved