KONFLIK IAKN Tarutung antara Yusuf Henuk vs Bupati Taput jadi UKN Berujung Pidana UU ITE

Kasus polemik pembentukan Universitas di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) berujung pidana UU ITE.

Tribun-medan.com/IST
PROFESOR HENUK - Tangkapan Layar di akun Facebook Prof Yusuf L Henuk sedang berada di IAKN (Institut Agama Kristen Negeri) Tarutung. (Tribun-medan.com/IST) 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Kasus polemik pembentukan Universitas di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung terjadi antara Prof Yusuf L Henuk vs Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan berujung pidana UU ITE.

Kuasa Hukum Prof Yusuf L Henuk, Rinto Maha menyebutkan bahwa kasus ini bermula soal perbedaan pendapat antara kliennya dengan Bupati Tapanuli Utara soal pembentukan Universitas di IAKN.

"Ini polemik, ini masalah sebenarnya perbedaan pendapat antara Nikson Nababan selaku Bupati Taput dengan Prof YLH mewakili sivitas akademik (IAKN). Ini kan terjadi karena perbedaan pendapat yang runcing makanya saling melapor antara Nikson dan Prof YLH mengenai pembentukan universitas dari IAKN," bebernya, Rabu (30/6/2021).

Ia menyebutkan bahwa informasi dari kliennya akademisi yang ada di IAKN dan juga Prof Yusuf L Henuk meminta agar IAKN menjadi konsep Universitas Kristen Negeri (UKN). Yang ada dalam naungan Kementerian Agama (Kemenag).

"Konsep dari akademisi disana mereka ingin tetap di bawah Kemenag mereka ingin konsep nya seperti UINSU ada fakultas Humaniora tapi fakultas humaniora nya itu bersifat umum. UINSU kan ada fakultas hukum, ada fakultas sosial. Jadi civitas akademik disana informasi dari Prof YLH yang dia sampaikan ke saya, saya tidak mewakili IAKN sekarang tapi informasi dari beliau seperti itu mereka ingin tetap dibawah naungan Kemenag, mamanya jadi UKN," bebernya.

Rinto menjelaskan bahwa belum ada bentuk Universitas Kristen Negeri di Indonesia.

"Karena belum ada di Indonesia konsep Universitas Kristen Negeri, institut ada tapi universitas belum ada. Mereka kepengen konsep seperti itu, karenakan cocok juga di Taput yang mayoritas Kristen," ungkapnya.

Sementara, Rinto menyebutkan bahwa Bupati Tapanuli Utara mengusulkan untuk mengubah IAKN menjadi Universitas Negeri Tapanuli Raya (Untara). Yang di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).

"Kalau Bupati megkonsepnya Untara Universitas Negeri Tapanuli Raya seperti USU bukan konsep kayak UINSU. Dia pengen konsep seperti USU bukan humaniora umum tapi Universitas Negeri Umum. Dia pengennya ke Dikti (Kemendikbud-Ristek) yang satu pengennya Kemenag," bebernya.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa Prof Yusuf L Henuk diperbantukan sebagai dosen di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) dari USU.

Ia menjelaskan bahwa Prof Yusuf hendak membantu Rektor IAKN Prof Lince Sihombing menjadikan UKN.

"Dia (Prof YLH) ditarik sebagai dosen untuk membantu IAKN makanya dia kesal. Dia dari USU mau bantu IAKN menjadi UINSU versinya di Tarutung ada UKN. Makanya dia mau membantu Prof Lince. Ternyata ada perbedaan pendapat," jelasnya.

Rinto menyebutkan akibat perbedaan pandangan tersebut akhirnya kedua belah pihak terjadi cekcok di media sosial Facebook.

Hingga akhirnya, ia menerangkan terjadi saling lapor antara Bupati Taput Nikson Nababan mewakili Martua Situmorang dan Alfredo Sihombing.

"Ribut berantam di medsos, Tapi yang lain enggak berani, yang punya nyali cuma Prof YLH. Pelapor mewakili (Bupati) Nikson, terlapor (Prof YLH) dia melapor juga," bebernya.

Baginya, postingan Facebook Prof Yusuf tidak ada mengandung unsur pidana. Namun hal tersebut dijadikan alat membungkam yang bersangkutan.

"Saya tidak ngerti, saya sudah baca postingan nya sebenarnya konsep perbedaan pandangan aja tidak ada masalah. Enggak ada pidana semua itu. Nikson ini terkesan mau membungkam si Prof YLH," beber Rinto.

Terkahir, ia menyebutkan bahwa seharusnya kedua belah pihak duduk sama untuk mendiskusikan formula terbaik dari IAKN bukan malah ajang lapor-melapor.

"Saya lihat juga ada kepentingan Bupati Taput tapi kita tetap menghargai. Jangan langsung kesitu (mempidanakan), ini kan perbedaan pendapat kok sampai begitu. Tujuan Prof YLH bagus, tujuan Bupati Taput juga bagus. Cuma jadi mengkerucut kepada lapor-melapor itu kurang pas. Yang duluan melapor Pak Nikson ya. Harus nya duduk bareng lah mereka cari formula yang benar, intinya ada Universitas di Kabupaten Taput yaudah buat itu. Jangan UU ITE jadi alat untuk membungkam," pungkasnya.

Rinto menjelaskan penetapan kliennya sebagai tersangka kasus UU ITE oleh Polres Tapanuli Utara adalah hal yang keliru.

Rinto Maha yang menjadi kuasa hukum yang bersangkutan menyebutkan bahwa kliennya ditetapkan menjadi tersangka tanpa adanya pendampingan hukum.

"Sayakan baru kuasa hukum di Polda udah lama. Kuasa hukum Polres (Taput) baru ditunjuk semalam waktu beliau jadi tersangka. Semalam ditetapkan jadi tersangka, tanpa pendampingan kami seperti itu," tuturnya.

Ia membeberkan bahwa dirinya sangat menyesalkan penetapan tersangka terhadap Prof Yusuf L Henuk tanpa adanya mediasi.

Rinto melanjutkan adanya proses yang keliru terkait penetapan seseorang menjadi tersangka sesuai Perkap (Peraturan Kapolri) yang dilakukan Polres Tapanuli Utara.

"Poin pertama, menyesalkan kenapa ditetapkan kasus itu tiba-tiba jadi tersangka tanpa proses mediasi jadi enggak sesuai Perkap. Kedua, kita minta agar Polres (Taput), teman-teman penyidik ya profesional, sesuai Perkap undang Mabes Polri dan Cyber krimsus karena terkait ini kan pasal 23 ayat 3," tuturnya.

Ia menjelaskan bahwa seharusnya, sesuai Perkap Undang-Undang ITE, seseorang dijadikan tersangka harus menjelaskan kasus tersebut dihadapan Bareskrim Polri via video conference.

"Kalau sesuai Perkap itu kan bilang harus dihadapan Bareskrim. Jadi tidak gampang sekarang buat seseorang jadi tersangka. Ketiga, setelah dua tahapan ini tidak ada. Harusnya di tahapan kedua tadi terlapor dan pelapor diundang, dihadapan penyidik di bareskrim. Ketetapan kedua ini tidak ada," bebernya.

Bagi Rinto bahwa penyidik Porles Taput terlalu terburu-buru menjadikan Prof Yusuf L Henuk sebagai tersangka tanpa adanya pemeriksaan saksi-saksi

"Kita sesalkan terlalu cepat tiba-tiba naik penyelidikan, penyidikan langsung tersangka. Enggak kayak gitu. Naik penyidikan periksa dulu saksi baru tetapkan jadi tersangka. Teman-teman di Polres Taput harus paham tentang penyidikan, yang dua masalah Perkap terbaru tentang penanganan UU ITE. Ini engga, begitu naik ada dua alat bukti permulaan cukup langsung di tes kan hakim itu tapi ini udah dibuat gitu. Jadi saya lihatnya itu tidak berimbang dan prematur," tegasnya.

Lebih lanjut, bahwa ia meminta kasus ini seharusnya bisa dilakukan mediasi dengan adanya Restorative justice.

"Yang keempat, kita lihat harusnya ada restorative justice. Jadi mediasinya ada segala macamnya ada, kita sesali disitu," ungkapnya.

Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.

(vic/tribunmedan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved