Jelang 16 Besar Euro 2020
Rekor, Kecemasan, Rivalitas Abadi
Rekor Ronaldo makin mengkilap, kini sejajar Ali Daei. Bagaimana Spanyol? Apakah sudah benar-benar bangkit? Bagaimana rivalitas Inggris dan Jerman?
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
APA lagi yang belum didapat Cristiano Ronaldo di dunia sepak bola? "Hanya" satu, tropi Piala Dunia. Sekiranya dapat, tentu, tidak ada lagi alasan meragukannya untuk disejajarkan dengan Pele dan Diego Maradona. Namun jika menilik lebih dalam menggunakan kaca pandang objektif, sekarang pun sesungguhnya tidak perlu lagi ada keragu-raguan itu. Zaman sudah bergeser jauh. Era pemain super telah lama berlalu. Jika Pele atau Maradona hidup di era sekarang, misalnya, belum tentu mereka bisa mengulang pencapaian di tahun 1958, 1962, 1970 dan 1986.
"Makanya Zlatan Ibrahimovic pernah bilang, kalok dia hidup di masa Pele; enggak ada VAR, aturan offside masih tak jelas, dia yakin bisa cetak gol dua kali lebih banyak," kata Mak Idam.
"Si Ibra ini mulutnya memang jabir kelewatan. Macam dia kali yang paling paten," ucap Leman Dogol menyambung. "Tapi kalok dipikir-pikir ada benarnya jugak yang dibilangnya itu. Pele jadi anak ajaib di Piala Dunia tahun 1958. Waktu itu, belum ada pemain yang bisa melewatkan bola dari kolong kaki atau dari atas kepala lawan. Di Meksiko 86, Maradona boleh dikata sendirian membawa Argentina juara. Menonjol kali dia. Tengoklah waktu main lawan Inggris. Separuh pemain Inggris bisa dilewatinya."
Sepak bola modern yang kian kolektif mempersempit pergerakan pemain-pemain bertalenta macam ini. Bahkan belakangan, tidak banyak lagi pelatih yang masih berani menempatkan pemain tertipikal nomor 10 (playmaker) di dalam line up-nya. Sekarang zaman gelandang box to box: Paul Pogba, Leon Goretzka, Luka Modric, atau Kevin DeBruyne. Di lapangan, mereka dibantu oleh gelandang bertahan dan gelandang menyerang, membentuk komposisi triangle yang padu dan solid untuk menopang para penyerang.
"Lionel Messi persis seperti Maradona. Enggak ada buang-buangnya. Andai Messi dan Maradona bertukar tempat, maksudnya Messi ke tahun 1980-an dan Maradona ke 2000-an, Messi pasti akan jadi legenda juga. Bahkan mungkin bukan cumak sekali Argentina juara di tahun 1986 itu. Tahun 1982 dan 1990 pun kurasa bisa juara itu," kata Jek Buntal.
Pertimbangannya, imbuh Jek, Messi di masa muda lebih sabar dan kalem dari Maradona. Pun di masa emasnya. “Messi tetap selo. Kehidupannya jauh dari sensasi. Tak pernah kedengaran dia pake narkoba. Bahkan cumak joget-joget di diskotek pun enggak. Hari-harinya cumak habis untuk kerja, kerja..., eh, latihan, latihan, latihan. Sama kayak Ronaldo."
Namun masa tidak dapat dipertukarkan. Takdir sudah digariskan. Diego Maradona hidup ketika sepak bola masih memungkinkan menjadi panggung show off seorang pemain super. Messi tidak. Dia butuh bantuan. Di Barcelona, bantuan Xavi Hernandez, Andreas Iniesta, dan Sergio Busquets menjelmakan Messi sebagai sosok alien. Kolaborasi mereka berempat, plus andil pemain-pemain lain, memungkinkan Barcelona meraih semua gelar yang tersedia.
Di Tim Nasional Argentina, setidaknya sampai sejauh ini, dia tidak mendapatkan "kemewahan" serupa. Pelayanan kepada Messi tak penuh, dan tidak semua pemain tunduk dan patuh kepadanya.
"Maka dari itu Argentina selalu nanggung. Dibilang betul-betul kuat enggak, dibilang sedang-sedang aja pun enggak. Tetap jadi favorit orang itu. Cumak kalo udah bicara peluang juara, sikit kali yang berani tarok Argentina di posisi paling atas. Cumak pecinta matinya yang berani. Portugal jugak hampir sama. Ronaldo sentris kali. Semua serangan muaranya selalu ke dia," kata Jontra Polta. Selain untuk Piala Eropa, Jon juga membuka bursa pilihan untuk Copa America. Dia menempatkan Brasil di peringkat pertama, disusul Argentina.
"Orang-orang kayaknya berharap tahun ini ada final ideal antara dua rival abadi. Brasil lawan Argentina. Neymar ketemu Messi. Dan kalo kutengok statistiknya sejauh ini, agak-agaknya lebih banyak orang yang kepengin nengok Argentina juga. Mungkin supaya enggak dibanding-bandingkan lagi sama Ronaldo," ucapnya pula.
Dalam hal kontribusi untuk tim nasional, Ronaldo memang sedikit lebih baik dari Messi. Walau belum pernah mengangkat tropi Piala Dunia, paling tidak Ronaldo pernah mempersembahkan Piala Eropa untuk negaranya. Juga tropi UEFA Nation League, kejuaraan regional Eropa lain bikinan UEFA. Ronaldo juga baru saja menorehkan rekor-rekor baru.
Dia menjadi pemain Eropa pertama yang bermain di lima putaran final Piala Eropa (2004, 2008, 2012, 2016, 2020). Ia melewati catatan Lothar Matthaus yang merumput di Piala Eropa 1980, 1984, 1988, dan 2000. Torehan Ronaldo makin mentereng lantaran pada keikursertaan di lima edisi ini dia selalu mencetak gol, dan lima golnya sejauh ini di Euro 2021, membuatnya makin menjauh dari Michael Platini sebagai pencetak gol terbanyak di putaran final kejuaraan. Platini mencetak sembilan gol, sedangkan Ronaldo melesakkan lima gol lebih banyak. Portugal lolos ke babak 16 besar, dan dengan begitu, ia potensial mempertajam rekor.
Bukan cuma rekor di Euro, Ronaldo juga berpeluang mengukir nama sebagai pencetak gol terbanyak tingkat negara di ajang internasional. Sekarang, jumlah gol Ronaldo sudah 109, menyamai torehan Ali Daei, pemain Iran.
"Iya, memang, sama, lah, kalok ditengok jumlahnya. Tapi kalok saya ditanya, saya sama sekali nggak ragu bilang Ronaldo lebih baik dari Ali Daei," kata Zainuddin.
"Kenapa begitu, Pak Guru?” tanya Sudung tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Mabarnya bersama Sangkot dan Ane Selwa sedang seru-serunya. Tim mereka terdesak.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/ronaldo-rekore.jpg)