Opini Online
JOKOWI, PETRUK, DAN PINOKIO
Presiden Jokowi memang kerap diidentikkan dengan sosok Petruk, salah satu dari empat punakawan.
Maka itu namanya pun “Petruk Kantong Bolong,” kata Herjaka, seorang pelukis wayang. “Kantong bolong”, artinya rezeki tidak dikantongi sendiri, untuk kepentingan diri, kepentingan keluarganya, kepentingan kelompoknya sendiri, tetapi untuk orang lain, mengalir ke rakyat. Ia, Petruk, hanya menjadi sarana mengalirnya rahmat Allah dilambangkan dengan “kantong bolong” itu.
Seorang Petruk—sesuai dengan namanya “Petruk Kantong Bolong”—sekalipun rakyat jelata, apalagi kalau berkuasa akan selalu membela dan memperjuangkan kaumnya, yakni kaum miskin.
Ia memperjuangkan keadilan: tidak membiarkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Karena bagi Petruk, ubi ergo iustitia vera non est, nec ius potest esse, di mana tidak ada keadilan sejati, hukum pun tidak tepat guna. Karena itu, keadilan sejati harus ditegakkan sekalipun langit runtuh.
Kisah “Petruk Dadi Ratu”, misalnya, sebenarnya merupakan sindiran. Kisah satire terhadap keadaan yang tidak semestinya, misalnya, di mana ulama bicara politik, pebisnis jadi politisi, pelawak jadi wakil rakyat, politisi malah menjadi pelawak, yang tahu diam saja tetapi yang tidak tahu berteriak-teriak seakan tahu semuanya.
III
Petruk, yang adalah rakyat, meskipun hidungnya panjang tentu bukan Pinokio, boneka kayu bikinan Kakek Gepeto yang setiap kali berbohong hidungnya bertambah panjang. Piniko boneka kayu itu adalah lambang kebohongan. Kebohongan menjadi bagian dari Pinokio.
Tidak demikian dengan Petruk. Sebagai rakyat biasa, wong cilik, Petruk akan selalu bicara apa adanya, terus terang, karena dunia wong cilik adalah dunia terang bukan dunia kegelapan. Mereka tahu, seorang pembohong tidak akan dipercaya bahkan ketika berbicara tentang kebenaran.
Kata orang pandai, sebuah kebohongan tidak akan cocok dengan apapun, kecuali dengan kebohongan lainnya. Pikiran wong cilik tidak rumit, karena tidak memikirkan bagaimana caranya berbohong. Wong cilik hanya punya pikiran sederhana saja, bagaimana dapat melanjutkan hidup ini dengan tenang dan kecukupan.
Untuk bisa hidup, mereka bekerja keras. Itu mereka lakukan, meski tidak memahami filosofi homo faber, manusia adalah mahkluk yang bekerja. Tetapi, mereka tetap bekerja demi hidup. Mereka terbiasa menghadapi kekurangan, namun selalu punya mekanisme jalan keluarnya. Itulah kearifan lokal itu.
Tugas wong gedhe adalah memberikan kebebasan, kemandirian, dan ketenangan hidup wong cilik. Syukur bisa memberi kemudahan bagi wong cilik dan tidak korupsi serta berebut kursi. Korupsi tidak hanya masalah hukum, melainkan sudah menyentuh sendi-sendi tanggung jawab sebagai warga negara dalam hidup bernegara. Korupsi menghancurkan pola kehidupan politik yang bertanggung jawab dan digantikan dengan kerakusan.
Lalu siapa yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat, wong cilik, kalau wong gedhe mementingkan dirinya sendiri dengan korupsi? Maka Petruk di Padepokan Bagong Kussudiarja mengingatkan bahwa pemimpin itu sepenuhnya harus mengabdi kepada kepentingan rakyat. ***
Penulis: Trias Kuncahyono, Wartawan Senior/Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas
Sumber Tulisan: https://triaskun.id/2021/03/19/jokowi-petruk-dan-pinokio/
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/jokowi-baca-komik.jpg)